Wajah Islam Rahmatan lil ‘Alamin di Tangan Cak Nur

Cak Nur adalah suatu fenomena dalam dunia keilmuan negeri ini. Ia melenggang ke panggung pemikiran Islam di era 1970-an dan menjadi cendekiawan modernis kaliber yang gagasannya masih langgeng didaras hingga sekarang. Resistensi eksklusifisme pandangan keagamaan yang mengalir dalam nadi masyarakat pada umumnya, membuat Nurcholish Madjid bergerak mengetuk kemapanan tersebut dengan merumuskan inklusifisme beragama. Teologi inklusif ini menjadi alternatif jawaban atas konflik dan kekerasan yang kerap mengatasnamakan agama. Di tangan Cak Nur, Islam diracik menjadi jalan yang menawarkan produk kasih sayang universal, egaliter, dan manusiawi.

Kerangka ontologis Islam memanglah rahmatan lil ‘alamin. Maka dari itu, jati diri penebar kedamaian dan kasih menjadi sesuatu yang inheren dengan figur seorang Muslim. Jika Muslim tak diliputi cinta kasih, maka keislamannya perlu diaudit. Namun sayangnya, mandat primordial Muslim tersebut seringkali terdistorsi oleh paham keberagamaan yang kaku, eksklusif, dan alergi terhadap pluralitas. Dalam buku yang berjudul cukup provokatif, Can Asian Think’s, Qishar Mahbubani mengemukakan bahwa orang Asia begitu terobsesi akan  keharmonisan, kerukunan, dan stabilitas hingga melahirkan perasaan risih terhadap perbedaan pendapat. Sekaligus risih terhadap kritik.

Spesifiknya, di antara kegelisahan Cak Nur ialah kuatnya klaim kebenaran (claim of truth) dan klaim keselamatan (claim of salvation) agama tertentu terhadap komunitas agama lain. Pandangan eksklusif seperti ini membentuk garis demarkasi yang jelas antara Islam dan kafir, antara agama yang benar dan sesat, kemudian menjadi generator konflik horizontal yang ampuh. Ini adalah pengkhianatan terhadap pluralitas yang telah menjadi kehendak Tuhan.

Baca Juga

Pertanyaannya, adakah di antara umat beragama yang menerima tuduhan sesat atas dirinya? Tentu tidak ada. Masing-masing memiliki perspektif kebenarannya sendiri. Maka dari itu, kesadaran untuk menghargai dan tidak sinis terhadap pemeluk agama lain, minimalnya dibangun melalui perasaan sebagai manusia yang secara naluri tak akan rela dianggap sesat. Level lebih lanjut adalah pencarian titik kesepahaman yang mendiami agama-agama yang ada.

Untuk itu, gugus pemikiran Cak Nur dimulai dengan gagasan teologi inklusifnya. Yang coba ditumbuhkan melalui inklusivisme adalah sikap jiwa yang mampu melihat potensi kebenaran pada diri orang lain. Hal ini amat penting dalam Islam. Ketika teks agama mengatakan bahwa tiap manusia dilahirkan dalam kondisi fitrah (suci), maka hakikatnya potensi kebenaran pada manusia merupakan hal yang primer.

Konsep pemikiran inklusif Cak Nur diawali dari perluasan makna Islam. Islam bukan hanya agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW (organized religion), tapi juga mencakup makna generiknya berupa sikap penyerahan diri dan tunduk pada Tuhan yang Maha Esa. Dengan ini, rumpun Abrahamic religion yang lain—Yahudi dan Nasrani—mendapat legitimasi teologis.

Mereka memiliki kesempatan yang sama untuk dinyatakan benar dan selamat selagi mengamalkan makna generik Islam tadi, sekalipun secara syariat berlainan. Allah menghadirkan mata rantai kenabian bersama risalah dan kitabnya masing-masing bukankah memang tak sama secara syariat? Itu semua bukan untuk dipertentangkan. Lahir dari rahim yang sama, mereka tentu memiliki hak yang sama pula untuk selamat menuju Tuhan. Cak Nur juga mengelaborasi konsep ahl al-kitab tidak terbatas pada Yahudi dan Nasrani saja.

Nurcholish Madjid dengan rendah hati merangkul dan mencoba menyisir kesinambungan agama-agama tersebut untuk mengaktualkan gagasan Islam itu sendiri. Ia berpijak pada pendekatan humanistik-historis. Karena betapa pun tingginya suatu ajaran, tetapi yang benar-benar nyata ada dalam kehidupan umat manusia adalah kehidupan kultural dan sosial dalam konteks ruang dan waktu. Dan tali hubungan dengan Allah diterjemahkan secara nyata menjadi tali hubungan sesama manusia dalam konteks sejarah dan peradaban tadi. Dengan kata lain, teosentrisme harus dipadukan dengan antroposentrisme. Karena agama hadir untuk manusia, bukan untuk kepentingan Tuhan.

Berislam adalah menghadirkan sikap welas asih dan berbuat baik sebanyak-banyaknya terhadap manusia dan alam raya. Itu menjadi cara kita ‘membayar hutang’ kepada Allah, karena dalam kata agama (d-y-n) sendiri mengandung arti hutang. Sebagai hamba, kita sejatinya berhutang besar kepada Tuhan yang telah menyuplai karunia dan nikmat-Nya yang tak berujung.

Sikap terbuka dan ramah perbedaan akan menunjukkan wajah Islam sejati yang merupakan rumah rahmat serta kasih sayang. Gerakan Islam substansialis Cak Nur, sebagaimana istilah William A. Liddle, mengindikasikan fleksibilitas, mengajarkan kedewasaan sudut pandang, dan tidak mendeskriditkan apalagi mengancam umat beda iman. Pemikiran Cak Nur tidak sekadar lahir dari apa yang ia baca, tetapi juga hasil dari konfirmasi ulang bacaannya terhadap al-Quran. Dari sini Islam tampil benar-benar sebagai rahmatan lil ‘alamin dalam arti yang sebenarnya.

Gagasan Cak Nur didasari unsur sufistik yang kuat. Dan ini yang membuatnya berpikir terbuka, lebih mengedepankan paradigma substansialis daripada formalistik. Keterlibatan domain keimanan, ibadah, akhlak, dan amal saleh dalam konstruk pemikirannya, menjadi indikasi bahwa gagasannya dilatari semangat tasawuf. Namun bukan sufisme yang anti dunia. Tapi sebaliknya, gagasannya mengarahkan manusia untuk terlibat aktif di masyarakat dan optimis dalam memandang dunia sebagai ladang ‘eksploitasi’ amal untuk prospek vertikal-transendental.

Inklusivisme dan toleransi beragama bukanlah suatu intensi untuk mendegradasi keimanan seseorang. Bukan pula larangan menganggap benar agamanya sendiri, keyakinan atas agama yang dianut ini justru harus dipelihara untuk menjaga kepatuhan seorang yang beragama. Yang perlu diperhatikan, pengakuan kebenaran atas agama bukan untuk diekspresikan di muka umum dengan wajah sinis, intoleran, dan merendahkan yang lain hingga memicu konflik.

Tokoh aliran paham inklusivisme pluralistik, Schubert Ogden menawarkan jalan tengah dalam hal keyakinan kebenaran agama, tidak eksklusif-apriori dan tidak pula terlampau kompromistis. Menurut Ogden, suatu agama tertentu itu benar dan bisa ada agama-agama lain sama benarnya. Sebagai gambaran sederhana teori ini, seorang Muslim yakin akan kebenaran Islam sembari membuka kemungkinan kebenaran pada agama lain. Saya kira, ini adalah cara pandang minimal untuk meredam gema pertikaian atas nama agama dan sektarianisme.

Sikap inklusif Cak Nur merupakan implementasi sosiologis dari pemahaman mendalam akan makna tauhid. Satu-satunya Dzat yang absolut dan mutlak adalah Allah SWT, maka di luar Dzat ini adalah relatif, semu. Kesimpulannya, seseorang yang mengabsolutkan pikiran atau pemahaman pribadi dan menyalahkan yang lain sama halnya dengan memutlakkan diri dan pandangannya yang semu. Dengan demikian, etos terbuka dan dialog adalah tuntutan teologis. Karena pemahaman terhadap kebenaran bukanlah sesuatu yang taken for granted dan statis, melainkan proses yang berkelanjutan.

Teologi inklusif menjadi titik terang yang akan membawa kehidupan keberagamaan menjadi humanis, damai, penuh penghargaan serta toleransi terhadap keanekaragaman keyakinan dan paham di tengah kita. Warisan pemikiran Cak Nur merupakan hasil dari dialektika dan persenyawaan tiga tema besar, yakni keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan. Darinya Islam termanifes sebagai bahasa kasih. Dalam suasana hari kelahirannya ini, semoga di kemudian hari terlahir pendekar pemikiran seperti Cak Nur yang berbakti merawat keislaman dan keindonesiaan.

Related Posts

Add New Playlist