Terorisme Meneror Media Sosial

ancaman terorisme lewat media sosial juga terus  menguat. Semangat warga masyarakat untuk melawan terorisme justru bangkit. Memang pada awalnya berbagai aksi teror yang dilakukan para teorisme ini menyebabkan hilangnya sejumlah nyawa orang-orang yang tidak bersalah, dan berhasil menumbuhkan rasa ngeri serta rasa takut yang dengan cepat menyebar.

Tujuan pelaku teror, untuk sebagian, memang sebagai tindakan balas dendam dan keinginan membunuh sebanyak-banyaknya orang-orang yang dinilai merepresentasikan musuhnya. Meski demikian, tujuan sebetulnya dari pelaku teror adalah untuk menebar ketakutan, rasa waswas, dan mengonstruksi pikiran masyarakat umum agar tak lagi percaya pada peran negara.

Para warganet yang mengikuti berita tentang kasus pembantaian, bom bunuh diri di berbagai tempat, membaca beritanya, melihat foto dan videonya, kemudian tak sekadar mengonsumsinya sendiri, tetapi menyirkulasi atau meresirkulasinya kepada warganet yang lain, tanpa sadar mereka sebetulnya adalah korban sebenarnya dari aksi terorisme.

Baca Juga

Bagi pelaku teror, semakin luas ulah mereka disebarluaskan melalui media sosial, maka dari itu semakin gembiralah para pelaku teror itu karena efek psikologis yang ditimbulkan akan makin masif dan mendalam.

Di era milenial, terutama sejak 2012, para teroris tampaknya menyadari sifat media sosial yang spreadble, dapat ditularkan. Seperti dikatakan Jenkins, Ford, dan Green (2013) dalam artikel mereka berjudul, Spreadable Media, How Audiences Create Value and Meaning in a Networked Economy, mengatakan bahwa kehadiran teknologi informasi dan media sosial sangat efektif menyebarluaskan pesan-pesan yang diproduksi. Karena itu, bisa dipahami jika media sosial kemudian kerap dipakai untuk menyebarkan ideologi radikal dan aktivitas yang berhubungan dengan aksi kelompok teroris.

Media sosial sengaja dipilih sebagai instrumen untuk menyebarluaskan aksi teror karena sifatnya yang terbuka untuk umum, mudah diakses siapa pun, dan nyaris tanpa bisa dihambat. Menebar propaganda dan menawarkan bujukan kepada anak muda atau orang-orang yang potensial direkrut adalah metode baru, yang dalam lima tahun terakhir banyak dikembangkan para teroris.

Di media sosial, selama ini sudah bukan rahasia lagi jika kelompok-kelompok radikal berusaha mendapatkan simpati dari para pengikut baru dengan cara mengunggah video yang memperlihatkan tindakan penyiksaan terhadap anak-anak dari kelompok mereka, video pelatihan militer, atau video pembuatan bom secara mandiri, dan lain-lain, yang semuanya dengan mudah diakses semua orang.

Kelompok pendukung paham radikal biasanya juga membuka kesempatan melakukan obrolan virtual, berkomunikasi dengan orang-orang tertentu dengan memanfaatkan teknologi informasi untuk lebih meyakinkan. Intinya, kehadiran platform media sosial, seperti Twitter, Youtube, dan Facebook sering kali dimanfaatkan para teroris untuk melakukan propaganda dan menjaring simpati massa.

Menurut laporan @KejaksaanRI, di Indonesia paling tidak terdapat 49.000 akun Twitter yang terafiliasi dengan gerakan terorisme. Dibandingkan dengan penyebarluasan paham radikal secara offline, memanfaatkan forum-forum ceramah dalam kelompok yang terbatas, penyebarluasan paham radikal melalui medsos dinilai jauh lebih efektif.

Menebar paham radikal melalui media sosial sering terbukti efektif karena mampu menjangkau khalayak yang sangat luas. Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), misalnya, dilaporkan berhasil merekrut ribuan simpatisan baru melalui media sosial.

Jasmine Al Kuttab (2017) dalam tulisannya, Tech-Savvy Terrorists Using Social Media to Target Youngsters, menyatakan bahwa di era masyarakat digital, media sosial jadi instrumen yang efektif untuk menggalang dukungan atau simpatisan dari anak-anak muda yang termasuk dalam kategori net generation.

Media sosial yang menjadi alat berkomunikasi di antara sesama anggota komunitas dunia maya, kemudian dengan mudahnya masuk ke pikiran anak-anak muda yang pada saat mereka ada di kamarnya yang tertutup. Pengaruh paham radikal dengan mudah menyusup dan memengaruhi pikiran anak muda, terutama ketika mereka asosial atau bersikap soliter dari lingkungan sosialnya.

Selain itu, untuk menangkal pengaruh penyebaran dan tawaran paham radikal melalui media sosial, selama ini berbagai upaya telah dilakukan. Sejumlah perusahaan media sosial besar, seperti Facebook, Google, dan Twitter jauh-jauh hari telah berusaha menggalang kekuatan untuk memerangi propaganda terror yang dilakukan oleh para teroris.

Situs Web yang dinilai pro paham radikal, memuat ujaran kebencian dan menyebarluaskan konten yang berbahaya, umumnya akan ditutup. Sepanjang 2015 misalnya, Twitter dilaporkan telah menutup 125.000 akun pro-NIIS. Facebook dan berbagai perusahaan medsos lain juga melakukan hal sama. Kementerian Komunikasi dan Informatika belum lama ini juga dilaporkan mencabut 280 akun Telegram, 300 akun Facebook dan Instagram, serta 30 akun di Twitter. Kompas (16/5/).

Sementara itu, di lain sisi Pemerintah Indonesia selama ini memang tidak tinggal diam. Bersama dengan perwakilan dari sejumlah perusahaan medsos, seperti Facebook, Google, Telegram, hingga Twitter, Menkominfo menegaskan bahwa pemerintah akan bertindak tegas terhadap penyebaran konten-konten terorisme di dunia maya.

Sikap pemerintah melakukan pemblokiran terhadap ribuan akun yang terkonfirmasi menyebarkan paham radikal ini dilakukan sebagai bagian dari upaya untuk menghadang penyebarluasan paham radikal di masyarakat. Kemkominfo setiap hari juga terus memelototi akun atau situs-situs yang dinilai berbahaya untuk kemudian diblokir. Selama dua tahun terakhir, sudah puluhan ribu situs Web diblokir pemerintah untuk mencegah agar penyebarluasan paham radikal tidak makin masif.

Apakah upaya yang dilakukan pemerintah maupun perusahaan medsos telah memadai? Tentu tidak. Fakta di lapangan membuktikan, ketika ada ribuan situs radikal ditutup, di detik yang sama ribuan situs lain juga terus bermunculan. Artinya, tindakan untuk memblokir situs radikal di satu sisi memang perlu dilakukan. Namun, untuk memastikan agar penyebarluasan paham radikal tidak makin masif yang dibutuhkan sebetulnya bukan hanya pendekatan regulatif, seperti pemblokiran, melainkan yang tidak kalah penting adalah bagaimana meningkatkan kemampuan literasi kritis dari para warganet.

Tanpa didukung upaya pengembangan literasi kritis dari para warganet sendiri, peluang untuk mencegah penyebarluasan paham radikal dan terror bukan tidak mungkin akan berjalan stagnan dan terlalu menguras energi negara.

Mengajarkan arti penting literasi kritis sejak dini melalui peran guru di sekolah, dan membiasakan anak muda sejak awal selalu bersikap kritis agar tidak terpapar paham radikal, hoaks, dan ujaran kebencian adalah kunci untuk mencegah agar para pelaku terorisme berhenti menyebarkan paham radikalisme dan kemungkinan terjadinya aksi pembantaian yang terjadi di Sigi serta aksi bom lainnya tidak terus terjadi.

Related Posts

Add New Playlist