Rumah Kita Indonesia

Ada seorang berandai-andai bahwa Indonesia dihuni oleh satu agama, kebudayaan, dan ras. Dengan homogenen itu, ia berasumsi tidak akan ada pertikaian dan pertumpahan darah sedikitpun. Namun, seorang yang arif akan berfikir bahwa betapa beruntung Indonesia dikanuniai oleh Tuhan Yang Maha Esa berbagai manusia yang memiliki agama, kebudayaan dan keyakinan yang berbeda-beda. Sebab, sejatinya perbedaan adalah ujian bagi manusia untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, menebar perdamaian.

Belakangan ini, perdamaian yang susah payah dijaga dan dipelihara bangsa Indonesia dirusak. Kejadian kekerasan yang silih berganti menjadi penyebabnya. Hal sekaligus mencerminkan bahwa kelompok yang radikal dan intoleran masih “hidup” di negeri yang sangat menjunjung tinggi toleransi dan perdamaian. Ancaman perdamaian itu seringkali ditengarai oleh tindakan-tindakan kelompok yang mengatas namakan agama (fundamental-radikal).

Jujur diakui bahwa gerakan radikal di Indonesia semakin hari semakin tidak memiliki tempat di Indonesia. Meskipun demikian tidak lantas menganggap remeh. Sebab, jika benih-benih dan akar radikalisme dibiarkan begitu saja, maka ia akan tumbuh menjadi besar dan kuat. Oleh sebab itu, harus ada upaya sadar dan terencana serta secara konsisten untuk melemahkan sekaligus membungihanguskan radikalisme yang terkadang diaktualisasikan dalam aksi terorisme.

Baca Juga

Sebagai pengantar, Nurudin (2013), menjelaskan bahwa deskripsi pemaknaan radikalisme dapat dikategorikan sebagai berikut: Pertama, radikalisme masih mengendap laten dalam kesadaran teologis umat beragama yang masih laten-emanen dalam kehidupan keagamaan seseorang.

Kedua, memasuki ranah kesadaran setrategis untuk aktualisasi pesan-pesan agama. Pada level ini, seorang memliki watak kecenderungan individu umat beragama untuk mengidealisasikan ajaran agamanya sebagai instrumen penyelesaian segala sesuatu. Kalau Islam ia menganggap bahwa ajaran Islam adalah satu-satunya solusi dari segala persoalan. Maka demikian, mereka mengidolakan terbentuknya Negara Islam. Ketiga, kecenderungan bertindak yang lebih bersifat kondisional, rasional dan sedikit pragmatis.

Keempat, radikalisme yang mengarah pada perilaku keagamaan dengan segala manifestasi kekerasan, yang puncaknya adalah terror bom bunuh diri dan penyerangan terhadap kelompok yang dinilai berseberangan dengan paham keagamaannya. Padahal, Alquran melarang masing-masing kelompok agama mengklaim sebagai umat yang paling utama seraya merendahkan umat yang lain. Klaim-klaim seperti ini sama saja merampak hak Allah.

Martin E. Marty (1995:27) menggarisbawahi bahwa secara geneologi, radikalisme muncul dari pemahaman agama yang cenderung skriptural-tekstuali  s. Adalah benar bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah kelompok yang mengatasnamakan Islam ini selalu berangkat dan mempunyai argumentasi tersendiri. Mereka memahami Alquran secara taken for granted atau tektualis. Salah satu contoh mudahnya adalah memaknai jihad sebagai mengangkat senjata. Jadi, jihad yang mereka pahami adalah segala langkah termasuk perang guna menegakkan syari’at Islam.

Salah satu contoh gerakan semacam ini adalah Wahabi yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab (w.1206H/1792M) yang memiliki semboyan “ar ruju’ ila al-Qur’an wa Sunnah”. Terkait gerekan ini, menurut telaah Rumadi, ciri utama puritanisme Wahabi adalah ideologi supremasi, merasa paling unggul, superior sebagai kompensasi dari perasaan kalah, dan keterasungan. Berkembangnya ajaran dan pemahaman Wahabi hingga melahirkan peristiwa kekerasan dan teror di Masjid al-Haram Makkah pada tanggal 20 November 1979 (A. Syafi’i Mufid: 2013).

Sementara itu, Dawam Rahardjo (2011) mengungkap analisis menarik. Menurutnya, yang menjadi sebab dan sumber gejala kekerasan sebagaimana aktual di Indonesia sebagai berikut. Pertama, karena terpengaruh gerakan-gerakan islam transnasional seperti Ikhwanul Muslimin, Wahabisme, al-Qaeda, dan sejenisnya. Sebagaimana yang gencar diberitakan bahwa Ikhwanul Muslimin dalam beberapa dekade belakangan ini melebarkan sayapnya di Asia Tenggara, seperti Indonesia, Filiphina, Malaysia dan lainnya.

Kedua, karena pengaruh euphoria demokratisasi di Indonesia, yang dimaknai sebagai peluang bagi munculnya gerakan-gerakan Islam radikal yang pada masa Orde baru dipaksa tiarap oleh pemerintah saat itu. Ketiga, gagalnya penegakan negara hukum demokrasi yang pada dasarnya sekuler. Abu Bakar Ba’asyir, baik melalui buku atau dakwahnya secara tegas mengatakan bahwa sistem politik seperti nasionalisme, demokrasi dan sekularisme itu syirik. Oleh sebab itu, “sah” ditumbangkan. Stereotip itu muncul sebagai respon bahwa pemerintah gagal menerapkan hukum yang adil dan tidak pandang bulu. Situasi yang demikian itu memunculkan kembali aspirasi menegakkan syari’at Islam.

Keempat, gagalnya dakwah Islam yang rahmatan lil ‘alamin, sebagaimana dibuktikan tidak tolerannya guru-guru agama Islam sebagaimana yang diungkapkan oleh penelitian berbagai lembaga kajian mengenai topik Islam dan perdamaian.

Rumah Kita Indonesia

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural. Ada banyak agama, ras, suku, dan golongan yang menghuni bumi pertiwi. Keragaman ini menuntut adanya integrasi untuk mencegah konflik. Diantara keragaman itu, yang sering memunculkan konflik adalah perbedaan agama. Belajar dari imperium Turki Usmani yang majemuk, tepatnya pada masa Sulaiman Yang Agung, bahwa Islam merupakan penduduk mayoritas, tetapi agama lain seperti umat Yahudi dilindungi. Cara yang ditempuh adalah melalui pendidikan Madrasah yang dibangun secara massal dengan keikutsertaan yang terbuka.

Jadi, orang atau kelompok yang hendak mendirikan Negara Islam di Indonesia bisa disebut sebagai kelompok yang tidak memahami karakteristik dan watak bangsa Indonesia itu sendiri. Begitu juga yang hendak mendirikan negara sekuler Indonesia.

Oleh sebab itu, dasar dan tataran negara harus esuai dengan karakteristik masyarakat Indonesia yang plural. Pemeliharaan keagaman misalnya dapat dilihat dari bangunan seperti Sam Poo Kong (satu kompleks digunakan untuk 3 agama). Dan simbol-simbol keragaman juga dapat ditemui di berbagai wilayah seperti Bali.

Namun, harus diakui bahwa pemeliharaan keragaman agama-agama memang tidak dapat dikompromikan. Namun, hal-hal yang bersifat aqidah memang tidak dapat dikompromikan, tetapi hal-hal yang bersifat sosial dapat dikompromikan (Rahardjo, 2011). Oleh sebab itu, harus dicari cara lain agar keragaman dan menguatkan persaudaraan serta memperkokoh fondasi bangsa dan negara. Sehingga, perbedaan membuat perdamaian menjadi mungkin.

Terkait ini, sejak puluhan tahun lalu, segenap pemuda Indonesia memberikan contoh bagi generasi saat ini dan yang akan mendatang dengan cara menyingkirkan ego sektoral-primordial; bersatu dalam satu wadah yakni Indonesia. Yaitu sumpah Indonesia, sebuah komitmen kehidupan berbagsa dan bernegara dengan spirit kesatuan dan persatuan. Orang Jawa yang dominan rela bahwa Bahasa Indonesia sebagai bahasa mereka.

Jadi, dalam konteks keragaman, ada satu hal yang harus dipegang; bahwa agama boleh berbeda, begitu juga suku dan golongan. Tetapi, rumah kita semua sama, yakni Indonesia. Rumah itu bertiang Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Jika sudah demikian, niscaya tidak akan ada kelompok yang hendak merusak bangunan Indonesia dengan dalih apa pun. Radikalisme tidak ada tempatnya di Indonesia. Mengutip sebuah hadis: “Mukmin sejati adalah yang bisa menjaga keselamatan darah dan harta orang lain.” (HR. Al-Tirmidzi dan An-Nasa’i).

Related Posts

Add New Playlist