NKRI, Buah Kebangsaan Kita

Pergulatan ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknologi dewasa ini berdampak pada tatanan dunia baru. Peta kekuatan suatu bangsa tidak lagi hanya dalam sektor persenjataan, tetapi juga ekonomi dan sumber daya manusia (SDM). Dan Indonesia, sebagai negara dengan penduduk terbanyak ke-4 di dunia tidak terlepas dari gejolak globalisasi. Diakui atau tidak, ketahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sedang dalam ancaman bangsa-bangsa dunia.

Indonesia, dalam usia yang terbilang matang dengan sejarah panjang dan banyaknya gejolak masalah, mestinya tidak asing lagi dengan persoalan zaman. Dalam perjalanannya, para pendiri bangsa mengantarkan kita kepada pintu gerbang kemerdekaan, sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 bukanlah sekadar pengantar biasa. Mereka sadar dan paham betul, bahwa tantangan kita kian hari-kian kompleks. Karena itu, disamping kita diwariskan Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm, pun semangat kebangsaan yang menjadi cikal bakal berdirinya negara kita terkasih: “NKRI”, sebagai pedoman menghadapi jalanan zaman yang terjal.

Namun yang menjadi pertanyaan, maukah kita menentukan nasib kita sendiri untuk masa depan? Bertarung dengan dada menjulang layaknya Bima dalam pertempuran Baratayuda. Pandai, cerdik, dan berani dalam menghadapi musuh-musuh ibarat Arjuna yang ksatria. Bung Karno sebagaimana pernah menyatakan, “Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dengan tangannya sendiri, yang akan dapat berdiri dengan kuat.”

Baca Juga

Tuhan menciptakan Indonesia begitu istimewa. Kita ditakdirkan menghuni kepulauan Nusantara yang merupakan zamrud katulistiwa. Sebuah dataran yang membentang dari Sabang sampai Merauke dan Miangas sampai Pulau Rote. Kekayaan alamnya tak tehingga, tanah yang subur, air yang melimpah, dan terik mentari yang tak kunjung punah. Tidak mengherankan, jika dulu sebagaimana dikisahkan Merle Calvin Ricklefs dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern, bangsa-bangsa Eropa saling berebut kuasa, bertempur demi menduduki Nusantara, yang masyhur dengan kekayaan alamnya. Rempah-rempah, salah satunya.

Menilik kenyataan sejarah, pada hakikatnya, Indonesia dengan sumber kekayaan alam yang melimpah, baik di daratan, lautan, maupun dirgantara, yang bersifat hayati maupun non hayati, serta yang dapat diperbaharui (renewable), maupun yang tidak dapat diperbaharui (non renewable). Semua itu, berpotensi membawa kita pada cita-cita para pendiri bangsa pasca kemerdekaan. Menjadikan Indonesia sebagai bangsa, tidak hanya adiluhung tetapi juga peradabannya dapat memengaruhi bangsa-bangsa dunia. Keunggulan komparatif (comparative advantage) inilah yang dapat dijadikan modal dan kekuatan untuk pembangunan peradaban nasional dalam kancah Internasional.

Namun demikian, di era globalisasi ini, tatkala virus indivisualisme mulai merambak, merasuki jiwa-jiwa masyarakat kita. Apakah kebesaran cita-cita bangsa itu dapat terwujudkan? Bisa! Jika kita merefleksikan kembali apa arti dari kebangsaan itu sendiri. Kebangsaan yang telah hadir sebelum negara kita berdiri. Menghadirkan kembali semangat kebangsaan yang sedikit banyaknya mulai pudar dalam ingatan. Kebangsaan yang telah melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan tentunya mewujudkan dengan gotong royong, bukan sendiri-sendiri. Karena, apalah arti kebangsaan tanpa persatuan?

Ernest Renan (1823-1892), seorang tokoh besar nasionalis, maha guru dari Universitas Sorbonne, Paris, menuturkan, syarat adanya bangsa adalah kehendak untuk bersatu (le desir d’entre ensemble). Menuju cita-cita bangsa yang agung, orang-orang mesti merasa diri bersatu dan ingin bersatu. “Bangsa adalah satu jiwa. Selain itu, satu bangsa adalah rasa kesetiakawanan yang besar”, ucap Bung Karno dalam Pancasila Bung Karno: Himpunan Pidato, Ceramah, Kursus, dan Kuliah (Tim Penerbit Buku Pancasila: 2005).

Kita adalah bangsa yang besar. Kebangsaan yang dilahirkan dari kekuatan besar. Kekuatan yang menciptakan negara besar dengan kekayaan dan khazanah persoalannya. Dan persoalan haruslah dijadikan bahan refleksi untuk kita melihat dan menciptakaan cita-cita bangsa ke depan. Bukan menjadikan persoalan sebagai alasan kita enggan beranjak dari masa-masa yang kelam.

Pendek kata, kebangsaan kita telah mengejawantahkan Nusantara menjadi NKRI. Saatnya kini, kita bersatu melanjutkan, menyatakan, dan menggapai mimpi.

Related Posts

Add New Playlist