Mengukuhkan Identitas Keindonesiaan Muslim

Muslim Tanah Air sejatinya adalah orang Indonesia yang beragama Islam, serta orang Islam yang berbangsa Indonesia. Kita memiliki kekayaan khazanah pemikiran Islam yang yang bersumber dari peradaban dan pengalaman bangsa kita sendiri. Keberhasilan dialektika antara Islam dan budaya lokal telah melahirkan Identitas Muslim yang khas. Namun sayangnya, produk keilmuan yang lahir dari para pemikir muslim dan ulama negeri, seringkali justru dituduh bid’ah, sesat, dan thagut. Ketika muncul gagasan tentang Islam Pribumi atau Islam Nusantara misalnya, produk pemikiran ulama-ulama Tanah Air itu malah disingkirkan dan dianggap negatif.

Sebagian Muslim di negeri ini, lebih bangga dengan identitas Arab. Mereka merasa paling murni Islamnya, paling menguasai Islam, dan paling membela Islam karena berhasil meniru gaya Arab. Muslim yang tidak kearab-araban bisa dianggap jahilyah. Ada juga sebagian Muslim yang lebih bangga dengan identitas dan pemikiran Barat. Mereka merasa paling rasional, objektif, dan ilmiah dalam memahami Islam. Muslim yang tidak kebarat-baratan kerap dianggap konservatif dan tertinggal. Saat Muslim Tanah Air lebih bangga dengan identitas peradaban lain inilah, umat Islam Indonesia sebenarnya sedang mengalami krisis identitas.

Tidak heran, krisis identitas ini menyebabkan karakter keindonesiaan Muslim, peradaban Islam Nusantara, dan gagasan keilmuan serta pemikiran ulama pribumi, tidak dibanggakan bahkan juga tidak dipercaya. Lebih parah lagi, dituduh dan dihujat sebagai sesuatu yang kolot, sesat, dan menyesatkan. Pribumisasi Islam dianggap asing bahkan lebih asing daripada identitas Muslim hasil Arabisasi dan Westernisasi. Benar-benar sebuah kesadaran identitas yang terbalik dan mengherankan!

Baca Juga

Krisis identitas Muslim Tanah Air merupakan pengaruh dominasi dua peradaban besar yang selama ini menjajah budaya negara-negara lain, yaitu Arab dan Barat. Menurut Aksin Wijaya, dalam makalahnya yang berjudul Islam dalam Pusaran Tiga Peradaban (2020), watak peradaban-peradaban besar yang hendak mendominsi peradaban lain, ditandai dengan justifikasi cara berpikir dikotomis-dominatif. Membelah pandangan Islam hanya menjadi dua bagian yang saling bertentangan dan saling mendominasi. Seperti, sekulerisasi model Barat atau Islamisasi model arab, orientalis Vs oksidentalis, insider Vs outsider, tradisionalis Vs revisionis.

Arab dan Barat telah mempengaruhi pandangan dunia Muslim Tanah Air dan mencerabut akar kesadaran keindonesiaannya. Kita harus segera melepaskan diri dari pengaruh pandangan dunia yang membagi peradaban dunia sebatas peradaban Barat dan Timur-Tengah (dikotomis-dominatif), yang semakin menghimpit dan menjajah budaya asli bangsa sendiri. Salah satu cara untuk mendekonstruksi kesadaran identitas keindonesiaan Muslim Tanah Air, ialah dengan bersikap kritis-apresiatif, sebagaimana yang ditawarkan Aksin Wijaya. Kita harus terus berbangga dengan identitas keindonesiaan, sembari mengapresiasi secara kritis nilai-nilai posistif yang dimiliki peradaban lain. Kritis-apresiatif itu maksudnya, mengikuti yang baik dan mengkritisi yang tidak baik serta tidak mengadopsinya.

Gagasan tentang Islam Nusantara atau Islam Pribumi merupakan khazanah yang patut dibanggakan dan diimplementasika dalam kehidupan sehari-hari Muslim Tanah Air. Nabi SAW sangat menghargai tradisi dan budaya setempat di mana beliau tinggal. Rasulullah SAW memakai sorban, gamis, berjenggot dan berbudaya Arab sesuai dengan tradisi lokal yang melingkupi kehidpan beliau. Sehingga, Islam Nusantara atau model Islam yang menghargai tradisi dan budaya Nusantara, merupakan suatu corak keislaman yang secara esensial mengikuti sunnah Nabi SAW. Islam Nusantara adalah Islam yang ada di negeri kita sejak lama, bertahan dari dulu hingga sekarang membentuk karakeristik Muslim Tanah Air yang khas. Inilah Islam otentik masyarakat Muslim Indonesia, tidak perlu dipertentangkan dengan Islam Arab atau Barat.

Di dalam Islam Nusantara terkandung identitas keindonesiaan yang, yakni identitas yang lahir dari peradaban dan dan cara berpikir Muslim Indonesia (Nusantara). Gus Mus, salah satu kiai besar kita, mengungkapkan bahwa Islam Nusantara adalah Solusi Peradaban (2019). Islam Nusantara memiiki wajah mencolok sekaligus nilai-nilai harmoni sosial dan toleransi dalam kehidupan masyarakatnya. Negara kita yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, bersendikan Bhineka Tunggal Ika, merupakan konsep peradaban yang mencerminkan pemahaman Islam Ahlussunah wal Jama’ah, peradaban yang sugguh bercirikan rahmat.

Ada banyak sekali teladan dalam berbangga diri dengan identitas keindonesiaan. Misalnya, Gus Dur, Gus Mus, dan KH. Said Aqil Siraj adalah tokoh-tokoh Muslim Indonesia yang menempuh pendidikan di Arab selama bertahun-tahun, tetapi tetap berbangga diri dengan identitas keindonesiaannya. Faisal Ismail, Sahiron Syamsudin, Nurcholis Setiawan, contoh pemikir Muslim Indonesia yang mengkaji Islam ke Barat, tetapi tetap berbangga diri dengan identitas keindonesiaannya. Husein Ja’far, Haidar Bagir, Quraish Shihab, tokoh Muslim Tanah Air keturunan arab, namun bangga dengan identitas keindonesiaannya. Mereka semua adalah teladan kita dalam berislam dan berbangsa.

Dengan demikian, Muslim Tanah Air harus senantiasa bangga dan percaya dengan identitas cara berpikir (epistemologi) Islam yang lahir dari peradaban kita sendiri. Maka dari itu, produk keilmuan dan gagasan Islam yang lahir dari para pemikir muslim dan ulama Tanah Air, merupakan kunci untuk menjaga identitas keindonesiaan kita. Untuk menjadi Muslim yang baik dan rasional, seorang Muslim tidak perlu mengubah identitasnya sebagai Arab atau Barat. Khazanah keilmuan dan pemikiran Islam Nusantara telah melestarikan keislaman yang khas, otentisitas dan rasionalitasnya tidak kalah dari peradaban lain. Mari berbangga dengan identitas keindonesiaan kita sebagai Muslim Tanah Air!

Related Posts

Add New Playlist