Propaganda paham kekerasan dilakukan kelompok radikal melalui aksi di dunia nyata dan dunia maya harus dilawan. Artinya, untuk mencegah hal tersebut pikiran kritis harus dimunculkan baik dalam tulisan di dunia maya ataupun lainnya.
Peristiwa-peristiwa teror sebenarnya jamak terjadi dimasyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari karena kepentingan tertentu terganggupun kadang melahirkan teror bagi lainnya. Terorisme sehari-hari merupakan gambaran umum bahwa istilah teror tidaklah asing bagi bangsa Indonesia, istilah teror dapat muncul dengan tiba-tiba, tetapi terkadang jarang muncul.
Teror dalam kehidupan sehari-hari dapat dengan mudah dipahami dalam benak masyarakat umum. Penyebab timbulnya teror di masyarakat cukup luas. Dapat faktor ekonomi, harga diri, politik, sosial, ketersinggungan dan masih banyak lainnya. Karena penyebabnya yang luas maka perilaku teror sebenarnya dapat dikaji melalui berbagai macam ilmu, atau dengan kata lain dapat dikaji secara multidisipliner seperti berpikir kritis dan berdiskusi.
Namun, dalam ruang lingkup lebih besar seperti negara, paham terorisme menjadi momok tersendiri dan juga menjadi pekerjaan rumah (PR) dari setiap lembaga pemerintahan di seluruh dunia. Di Indonesia, aksi terorisme mulai muncul di tahun 2002 saat Bom Bali, jauh sebelumnya di masa pemerintahan Presiden Sukarno, kelompok seperti Negara Islam Indonesia (NII) melakukan aksi teror dan menginginkan Negara Republik Indonesia berbasis agama Islam untuk setiap sistem dan pemerintahannya, hanya saja kala itu belum di labeli teroris, melainkan penghianat negara dan kelompok separatis.
Menyimak aksi teror di Indonesia, ada beberapa perhatian aksi yang menjadi perhatian masyarakat lokal dan Internasional seperti bom Bali 1 tahun 2002, bom Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton tahun 2009, bom Sarinah 2016, bom Mapolrestabes Surabaya 2018, dan bom bunuh diri di Mapolrestabes Medan tahun 2019. Hal ini mengambarkan bahwa paham-paham radikalisme dan terorisme masih subur di Indonesia.
Kelompok radikalsime dan terorisme berkembang pesat sebagai pandangan yang tersembunyi (laten). Agama Islam sering kali dijadikann topeng bagi kepentingan orang atau sekelompok orang tertentu untuk melakukan kekerasan atas nama agama Islam. Walaupun sebenarnya sikap menteror bukan hanya pada umat Islam, tetapi juga dapat juga pada agama lain.
Hal itu karena, dalam setiap ajaran agama manapun rawan disalahgunakan untuk melakukan kegiatan kekerasan atas nama agama itu sendiri. Padahal di dalam ajaran agama tidak ada ajaran yang melegalkan atau menganjurkan kekerasan ataupun menghabisi nyawa seseorang yang tidak bersalah.
Pandangan keagamaan yang tidak menyeluruh sebagai contoh dalam ajaran Islam. Manusia diajarkan untuk berjuang dalam hal kebaikan, menghormati sesama, dan tidak memaksakan pandangan/pendapat. Tetapi, untuk kasus terorisme semuanya dibalik menjadi boleh memaksa, berjuang untuk kebaikan ditafsirkan baik bagi orang atau kelompok tertentu bukan untuk semua orang, berbuat kebaikan boleh, terutama untuk orang dan untuk kelompoknya sendiri dan untuk orang yang beragama yang berbeda atau berseberangan akan berbeda tafsirannya, menghormati sesama, oleh teroris adalah menghormati sesama bukan yang tidak sama. Dari perbedaan penafsiran keagamaan tersebut melahirkan teorisme atas nama agama. Padahal kalau disimak dari kata teror sendiri, kalau kita renungkan tidak mungkin agama melahirkan teror. Apalagi teror itu menimbulkan korban bagi banyak nyawa manusia.
Dengan demikian, generasi muda diminta cerdas dan kritis dalam mewaspadai penyebaran radikalisme dan terorisme. Hal ini harus dilakukan untuk menciptakan kedamaian dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta keberlangsungan sebuah negara. Jika bercermin kepada negara-negara Timur-Tengah, Indonesia masih terbilang aman dari ancaman kehancuran sebuah negara, tapi jika dibiarkan paham radikalisme dan terorisme berkembang biak serta tidak dikritisi oleh masyarakat maka Indonesia akan menyusul seperti negara-negara Timur-Tengah.