Oleh : Rizky Alvin (Ketua GESIT Jogjakarta)
Negara ini dibangun atas dasar perbedaan. Menghargai perbedaan merupakan kunci tercitpanya perdamaian. Sejarah mencatat bahwa tegaknya negara ini karena menghargai perbedaan suku, ras, agama, dan antar golongan (SARA). Tanpa pondasi tersebut, niscaya bangsa ini belum bisa lepas dari jeratan penjajahan. Maka, menjadi sangat ironi apabila perbedaan masih menjadi pemantik api kemarahan dan permusuhan antar sesama anak bangsa.
Baru-baru ini, bangsa Indonesia dihebohkan dengan isu pengusiran mahasiswa asal Papua di Malang dan Surabaya. Atas dasar itu, masyarakat Papua terpancing emosinya. Bahkan luapan emosi tersebut diekspresikan dengan sejumlah insiden kerusuhan diberbagai wilayah di Papua yang seharusnya tidak perlu. Lagi-lagi, sentimen berbasis SARA masih menjadi hantu paling menakutkan di republik ini. Bagaimana tidak, ketika kebebasan beragama, dan berekspresi dijamin oleh Undang-undang, justru ada segelintir orang yang masih memiliki niat keji dengan cara memprovokasi dan bahkan mungkin punya maksud lain.. Padahal, mereka sama-sama bangsa Indonesia, sebangsa dan setanah air. Aparat penegak hukum sudah cepat bergerak dan harus cepat pula mengungkap secara terang benderang motif dan siapa aktor di balik rangkaian peristiwa yang sudah tidak proporsioanal lagi yaitu itu adanya tuntutan Papua merdeka.
Tentu saja kita sangat prihatin atas kejadian tersebut. Ternyata sumbu-sumbu kebencian masih menjadi penyakit akut di republik ini. Tokoh bangsa yang selalu menyerukan perdamaian, ternyata hanya sampai di telinga saja. Namun tidak bisa diinternalisasikan melalui laku dalam kehidupan sehari-hari. Kita tidak sampai hati menyaksikan apabila bangsa yang penuh dengan kekayaan suku, ras ini bercerai-berai. Kita harus waspada karena tidak menutup kemungkinan ada provokator baik dalam atau luar yang coba terus memporak porandakan bangsa Indinesia yang besar dan kaya ini. Papua adalah Indonesia , Papua bagian dari NKRI yang tak terpisahkan sudah final. Pemerintah sudah maksimal terus menerus membangun Papua , Pemerintah Jokowi menaruh perhatian dan rasa sayang yang sangat besar kepada Papua.
Kita patut mengapresiasi kepala daerah yang menyerukan perdamaian. Gubernur Jawa Timur, Khoffah Indar Parawansa dan Walikota Surabaya menyampaikan permohonan maaf atas kejadian tersebut. Cara-cara seperti itu tentu menjadi suri tauladan bagi kita semua, bahwa kita harus menjadi bangsa yang lebar tangan. Artinya, sikap tenggang rasa menjadi hal yang diutamakan ketimbang mencari siapa yang salah dan siapa yang benar. Sebab dengan permintaan maaf, diharapkan mampu meredam emosi. Namun pertanyaaannya sekarang, mengapa warga dengan mudahnya melontarkan kalimat rasis berbasis SARA?
Untuk menjawab hal tersebut, ada beberapa hal yang perlu dijabarkan. Pertama, hilangnya sikap tenggang rasa di tengah-tengah kerukunan berbangsa dan bernegara. Di tengah corak keberagaman dan multi-religius, ternyata tidak diimbangi oleh sikap tenggang rasa yang tinggi. Sikap tenggang rasa hanya menjadi semboyan tanpa terpateri dengan baik melalui perilaku sehari-hari.
Kedua, gagalnya memahami warisan leluhur kita yang disimbolkan dengan kalimat “Bhinneka Tunggal Ika”. Justru yang ditonjolkan saat ini di ruang publik adalah sikap keangkuhan dan mengedepankan selera, saya, kamu, dan mereka. Sementara “kita adalah saudara” belum mampu menjadi jalan hidup demi terciptanya kerukunan berbangsa dan bernegara.
Jika para pewaris dan founding father kita masih hidup, tentu saja mereka akan menangis menyaksikan bangsanya sendiri tidak saling menghormati. Apa yang mereka wariskan ternyata belum mampu ditonjolkan dengan baik melalui perilaku dan sikap toleran. Oleh sebab itu, jangan berharap bangsa ini akan menuai kerukunan dan perdamaian apabila masih belum mampu menginternalisasikan makna “Bhinneka Tunggal Ika”.
Untuk itu, kekerasan bermotif, ras, suku, agama dan antar golongan harus segera diakhiri. Dialog antar pemuka agama dan kepala suku, serta kepala daerah, dan juga lembaga pendidikan, harus segera dilakukan agar kekerasan, pengucilan, dan lain sejenisnya tidak boleh terjadi lagi. Selain itu bangsa ini harus bersatu menghadapi semua cara dan upaya pihak manapun yang terus beruapaya merusak sendi-sendi kebangsaan Indonesia dengan menyebarkan paham-paham.yang bertentangan dengan falsafah kita Pancasiila , belum lagi upaya asing yang terus mencoba merusak tatanan budaya bangsa Indonesia guna kepentingan-kepentingannya, untuk itu mari.kita semua saudara sebangsa bergandengan tangan guna menjaga keutuhan bangsa dan menghadapi berbagai tantangan dan ancaman tesrebut, mari.l kita manfaatkan sarana media sosial dan media lainnya untuk menumbuhkan optimisme bangsa melalui konten- konten positip yang mengangkat keunggulan dan kehormatan bangsa .
=====$$$$$$=======
*Mewaspadai Konten Provokasi Isu Papua : Utamakan Dialog dan Bijaklah Bermedsos*.
Oleh : Hafyz Marshal (Ketua Forum Pegiat Media Sosial Indenpenden, FPMSI)
Isu rasisme kembali menyeruak ke publik. Insiden pengepungan asrama mahasiswa Papua oleh sejumlah orang pada Jumat (16/8) di Surabaya, serta dugaan diskriminasi terhadap mahasiswa Papua di Malang, mengakibatkan aksi protes di sejumlah wilayah di Papua dan Papua Barat, sejak Senin (19/8). Bahkan, aksi demonstrasi tersebut berujung aksi kerusuhan. Sejumlah fasilitas umum seperti pasar, ATM, kendaraan umum, juga kantor DPRD, hingga rumah dibakar dan dirusak.
Pemerintah telah bersikap. Presiden Jokowi telah memerintahkan Kapolri Jenderal Tito Karnavian beserta jajarannya untuk menindak oknum pelaku rasialisme kepada Mahasiswa Papua di Surabaya agar segera diungkap. Melalui Polda Jawa Timur lamgsung mengejar pelaku ujaran rasis ke mahasiswa Papua di Asrama Papua Surabaya tersebut, khususnya yang terekam dalam video viral beberapa waktu belakangan itu, dan sejauh ini sudah ada 6 orang yang diperiksa dan telah ada yang dinyatakan sebagai tersangka atas perihal tersebut.
Kita dapat memahami dan bersimpati atas apa yang dirasakan dan dilakukan saudara-saudara kita di Papua sebagai wujud solidaritas. Sebagai sesama saudara sebangsa, sudah semestinya kita saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Segala bentuk sikap merendahkan atau rasisme mesti dihilangkan dan tidak boleh tumbuh di bumi Indonesia, di mana di dalamnya hidup beragam jenis suku bangsa. Kasus yang terjadi di Surabaya dan Malang, yang kemudian memantik aksi protes masyarakat Papua di beberapa tempat tersebut mesti menjadi catatan dan pembelajaran serta evaluasi penting bagi kita semua dalam menjalani hidup berbangsa dan bernegara.
Namun disisi lain perlu juga dicermati atas berkembangnya kasus tersebut bergeser kepada arah yang tidak lagi proporsional dimana aksi-aksi unjuk rasa yang dibarengi dengan aksi kerusuhan pembakaran berbagai fasilitas umum dan ekonomi serta munculnya tuntutan Papua merdeka menjadi hal yang patut diduga ada pihak yang bermain si air keruh serta menunggangi situasi tersebut. Sementara Pemerintah telah cepat merespon secara hukum atas aksi dugaan rasialis, seharusnya tidak perlu terjadi aksi’aksi kerusuhan dan pengrusakan tersebut.
Kedepankan dialog
Aksi protes di Papua bagaimana pun merupakan bentuk aspirasi dan solidaritas warga Papua dalam menyikapi terjadinya tindakan diskriminasi rasial yang dialami mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang, Namun dalam menyikapi hal tersebut, seharusnya tidak perlu sampai berujung dengan aksi kerusuhan dan pengrusakan bahkan timbulnya korban.jiwa . Semua pihak mesti mengedepankan dialog agar bisa saling mendengarkan aspirasi dan mencari solusi elegan agar semua pihak selanjutnya bisa kembali merajut persaudaraan dan ikatan persatuan bangsa. Papua adalah Indonesia, yang merupakan bagian integral dari NKRI yang tak terpisahkan. Tidak boleh ada pihak luar yang memanfaatkan isu tersebut guna memprovokasi masyarakat Papua. Disisi lain Pemerintah juga harus berani tegas terhadap pihak-pihak yang bermain di air keruh ini terutama pihak asing, karena hal ini menyangkut kehormatan bangsa dan kedaulatan negara.
Menolak provokasi SARA dan Isu Papua Merdeka di dunia maya
Kita semua juga punya kewajiban yang sama dalam upaya mengembalikan keharmonisan sosial pasca kericuhan di Papua. Jangan sampai, isu-isu rasial memancing kerusuhan yang lebih luas di masyarakat karena berhembusnya kabar-kabar provokatif yang semakin mengeruhkan suasana seperti isu Papua Merdeka Sebab, isu-isu provokatif bernuansa rasial menjadi sangat membahayakan jika dibiarkan di tengah ingar bingar era medsos sekarang serta dapat dengan cepat sisusupi isu lainnya seperti isu gerakan Papua merdeka.
Kita hidup di era di mana segala macam isu dan informasi menyebar dengan sangat cepat, tanpa terkecuali isu-isu provokatif, bahkan hoax. Tak jarang, berawal dari provokasi di media sosial, muncul aksi-aksi dan gerakan yang berujung anarkis. Belajar dari kejadian tersebut, sudah semestinya kita lebih bijak, terutama dalam beraktivitas di media sosial. Jangan sampai kita justru menjadi bagian dari rantai provokasi di ruang maya, yang kemudian memantik aksi-aksi berbuntut kericuhan.
Dalam menyikapi setiap kabar yang berhembus terkait isu-isu rasial, kita mesti mengedepankan sikap kritis dan kebijaksanaan. Sikap kritis mendorong kita selalu mempertanyakan kredibilitas sumber suatu berita atau informasi, sehingga bisa membekali kita kecerdasan menilai kabar-kabar provokatif, bahkan hoaks. Dengan begitu, kita akan mampu melakukan filter dan terhindar dari pengaruh provokasi yang dihembuskan di dalamnya.
Sedangkan, sikap bijak akan memandu kita untuk menilai dan menentukan sikap, sejauh mana sebuah informasi bisa memberikan dampak positif atau negatif jika disebarkan. Dengan kebijaksanaan, kita akan menolak segala bentuk provokasi berbau rasial yang berpotensi menciptakan kericuhan dan perpecahan di masyarakat.
Di tengah menguatnya penyebaran isu SARA di dunia maya saat ini, sudah semestinya kita menjadi semakin bijak dalam menggunakan sosial media. Di samping sikap kritis dan bijak, lewat media sosial, kita bisa berkontribusi mengembalikan situasi agar kembali kondusif lewat postingan-postingan menyejukan, yang mendepankan prinsip-prinsip dialog dan perdamaian.