Oleh : Diah Pitaloka
Ada ritual tiap tanggal 1 Mei yaitu demonstrasi buruh. Mereka merayakannya dengan long march dan berunjuk rasa, agar nasibnya diperhatikan oleh pemerintah. Masalahnya, saat ini masih masa pandemi, sehingga demo jelas dilarang keras oleh polisi. Pelarangan ini wajar, karena saat unjuk rasa berpotensi menyebabkan klaster corona baru.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) rencananya akan mengadakan unjuk rasa besar-besaran yang diadakan di berbagai daerah di Indonesia dan dihadiri oleh puluhan ribu buruh, tanggal 1 mei 2021.
Baca Juga
Kelompok buruh ini berencana berdemo (lagi) untuk menentang UU Cipta Kerja sekaligus merayakan hari buruh. Mereka tetap ngotot berdemo karena sudah jadi tradisi tiap tahun.
Padahal kita tahu sendiri bahwa demo adalah aktivitas yang mengumpulkan banyak orang, sehingga menyebabkan kerumunan, sehingga dilarang keras.
Kombes Tjahjono Saputro, Kabag Pelayanan Informasi dan Dokumentasi Biro PID Divisi Humas Polri menyatakan bahwa Polri sudah secara tegas mengeluarkan larangan unjuk rasa sampai masa pandemi berakhir.
Ketika sudah ada larangan dari kepolisian RI, maka seharusnya para buruh menaatinya. Saat mereka nekat mengadakan demonstrasi tanggal 1 mei nanti, maka jangan emosi ketika dihalau oleh aparat.
Ini bukanlah sebuah arogansi, melainkan upaya untuk pencegahan terbentuknya klaster corona baru. Ingatlah bahwa polisi adalah sahabat rakyat dan seorang sahabat seharusnya mengingatkan jika ada kesalahan.
Saat ada aparat yang melarang demo, bukanlah sebuah bentrok antara polisi dengan rakyat. Karena bukan hak buruh yang diberangus, melainkan justru larangan ini menyelamatkan mereka dari bahaya penularan corona. Saat pulang demo lalu demam dan terinfeksi virus covid-19, emang enak?
Masyarakat juga tak setuju saat ada demo may day di masa pandemi. Dalam artian, para buruh harap bertindak dengan bijak dan bukannya ngotot dan mau menang sendiri, seolah-olah dengan berdemo mereka menjadi superhero. Justru demo akan membuat macet di mana-mana dan merugikan banyak orang. Sehingga merekalah yang akan dibully secara massal di media sosial.
Saat ada unjuk rasa buruh, maka masyarakat juga menolaknya karena mereka berpotensi terkena corona juga. Saat tidak sengaja berkontak dengan pendemo yang seorang OTG, maka virus akan menyebar ke mana-mana. Ia berkomunikasi dengan sesama pengunjuk rasa, dengan supir bus, penjual minuman, dll. Sehingga mereka tak sengaja tertular dan berpotensi menyebabkan serangan corona gelombang 2.
Hal ini akan sangat berbahaya karena Jakarta akan kembali menjadi zona merah, padahal jumlah pasien sempat menurun belakangan. Jangan sampai nasib Indonesia seperti India yang terkena tsunami covid, saking banyaknya pasien corona. Semua ini terjadi karena ketidakdisiplinan dalam menaati protokol kesehatan, berupa tak pakai masker dan berkerumun.
Para buruh tidak bisa membela diri dengan alasan bahwa mereka berdemo dengan memakai masker dan mematuhi protokol kesehatan lain. Nyatanya, saat berunjuk rasa, kebanyakan orang akan melepas masker karena kegerahan dan mereka bisa terkena droplet dari OTG. Selain itu, akan sangat susah untuk jaga jarak saat berunjuk rasa.
Demonstrasi buruh saat pandemi lebih baik dibatalkan saja. Alasannya, pertama, buruh akan dibenci oleh masyarakat karena membuat kemacetan. Kedua, saat ini masih pandemi sehingga demo dilarang keras. Ketiga, tidak ada gunanya berunjuk rasa, karena pemerintah tidak akan membatalkan UU Cipta Kerja.
Lebih baik buruh merayakan may day dengan kegiatan positif, misalnya berdonasi atau kegiatan sosial lain. Jangan malah berdemo lalu berpotensi kena corona dan ketika parah akan mati merana. Sudahlah, tak usah ada demo-demoan. Hanya buang-buang waktu, tenaga, dan uang.
Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute