KEPO (KNOWING EVERY PARTICULAR OBJECT) BERMANFAAT

Oleh: Juliarmi

Beberapa hari yg lalu pertelevisian Indonesia begitu ramai sekali baik pra, saat, hingga pasca digelarnya debat capres (Calon presiden dan wakil presiden) putaran kedua. Hampir semua tayangan televisi besar menyajikan siaran langsung pelaksanaan debat capres, guna melihat dan menjadi saksi perjuangan hak rakyat, janji serta komitmen baru capres Indonesia untuk 5 tahun mendatang. Tak luput pula, berbagai pihak dan kubu pendukung dari pihak sana dan sini melakukan nonton bareng (Nobar) dan dialog hangat semacam sebelum laga persepakbolaan biasanya, selalu ada momen komentar, harapan, kritik dan mungkin saran-saran yang diiringi penguatan masing2 kubu yang akan bertanding. Begitu pula, dalam rangka debat capres putaran kedua ini. Ada beberapa masyarakat yang bodo amat, beberapa yang mengalir saja mengikuti dan ada beberapa yang begitu antusias.

Sebagaimana tipe masyarakat berdasarkan partisipasi dalam politik terbagi menjadi tiga yaitu apatis, aktif dan pasif. Mereka yang apatis cenderung masa bodo terhadap peristiwa politik yang tengah berlangsung.  Masyarakat  yang pasif dilihat dari partisipasi dan perhatian yang berada di batas normal untuk mengikuti alur peristiwa politik dan menggiring aktivitas perpolitikan Indonesia, setidak-tidaknya ikut dalam pemilu. Lalu, mereka yg aktif adalah mereka yg terlibat penuh, baik sebagai aktor dalam politik, sebagai pendukungnya, aktivis partai maupun aktivis masyarakat. Tidak bisa memaksakan semua masyarakat untuk aktif. Layaknya, dalam dunia pendidikan, bahwa dalam satu kelas pembelajaran seringkali terapat istilah kelas normal yang ditandai dengan adanya kelompok peserta didik aktif, kelompok peserta didik pasif, dan kelompok peserta didik dalam tataran sedang/normal.

Baca Juga

Kembali pada aktivitas politik yang begitu hangat pada bulan-bulan terakhir ini hingga menjelang pemilu april mendatang. Berbagai usaha dan aksi akan mewarnai dalam perpolitikan di negara berasas demokrasi ini. Kebebasan berpendapat yang diwujudkan baik dalam lisan, tulisan maupun ekspresi atau gestur adalah hal yang biasa, mengingat kebebasan berpendapat yang semakin difasilitasi dalam era digital ini. Media sosial adalah wahana komunikasi, informasi dan aspirasi yang begitu trend di tengah masyarakat. Sekejap seper sekian detik, apapun yang kita ekspresikan bisa dengan cepat tersebar dan diakses di seluruh media sosial terhubung dan akan menimbulkan penafsiran yang beragam dari mata yang melihatnya.

Bayangkan, berupa pose foto menggunakan hitungan jari atau sejenisnya yang padahal kita tidak bermaksud mengarah pada perpolitikan atau menunjukkan dukungan pada pihak tertentu justru akan sangat mudah ditafsirkan sebagai konten bernuansa politik oleh manusia demokrasi diluaran sana. Hanya berupa mimik atau gestur tubuh, bayangkan jika yg kita tulis atau katakan adalah berupa ujaran, pernyataan atau ajakan yang bisa jadi disalahartikan oleh masyarakat. Betapa multitafsirnya pandangan dan beragamnya kemampuan masyarakat kita terhadap suatu hal. Luarbiasa bukan kemampuan interpretasi masyarakat kita?

Terkadang, kita tidak pernah tau maksud seseorang, tapi tidak pula berhak untuk menafsirkannya dengan bebas. Setiap kita adalah manusia, apa yang diungkapkan satu pihak bisa jadi mengandung kesalahan bagi pihak tertentu yang memiliki pernyataan lebih akurat dan benar sehingga tidak serta merta di telan mentah-mentah dijadikan sebagai dasar untuk beragumen. Pernyataan yang berbasis data sekalipun bisa menuai kekeliruan, bisa jadi bukan data update, bisa jadi berupa argumen semata, atau bisa jadi lainnya. Bayangkan, jika pernyataan demikian langsung ditafsirkan sekehendaknya oleh kita. Pengetahuan yang minim, akses informasi yang tidak dimanfaatkan dengan bijak atau kurang mampu menyelaraskan realita dengan fakta.

Pentingnya, literasi di tengah masyarakat demokrasi ini adalah langkah awal untuk menghindari simpang siurnya informasi, pemberitaan yang akan memengaruhi penafsiran dan asumsi dalam masyarakat. Literasi sederhana ditengah era digital adalah kemudahan yang menjadi tujuan adanya teknologi diciptakan. Literasi dalam bentuk penyelidikan sederhana untuk memenuhi hasrat keingin tahuan manusia untuk mencari kebenaran harus selalu difasilitasi. Secara hakekat, manusia seringkali diartikan sebagai makhluk yang berpikir, pandai bertanya. Sudah selayaknya sebagaimana hakekat tersebut, kita jalankan dan jadikan dasar dalam beragumen, dalam menafsir dan berasumsi.

Sederhana saja, mengembangkan sikap kepo bermanfaat yang ada dalam diri manusia. 5W+1H sudah sejak lama diajarkan sejak pelajaran bahasa Indonesia dibangku sekolah dasar. Esensi dari mengapa sejak dini diajarkan 5W+1H, ia adalah untuk membentuk pola berpikir kita. Bukankah, demikian? Sikap kepo terhadap suatu hal dapat menjadi benteng melawan hoaks sebelum ditelan mentah-mentah. Kepo begitulah bahasa generasi digital menyebutnya, adalah suatu hal yang positif jika diarahkan untuk hal-hal positif pula. Kepo berkerangka 5W+1H sebagai perpaduan materi pendidikan dengan dunia nyata. Pengetahuan praktis dan aplikatif.

Dapat dibayangkan, ketika kita mendengar sebuah pernyataan atau ungkapan. Kita  yang mendengar mengembangkan ke kepo-annya dengan baik. Ada berapa banyak informasi akurat yang akan didapatkan, ada berapa banyak otak-otak cerdas yang sudah berkembang dan bermanfaat, ada berapa banyak pikiran dan mental manusia yang sudah terselamatkan dalam mengkonsumsi suatu hal. Saat ini, kita bahkan lupa untuk berpikir demikian bahwa sisi humanis tidak diukur dari uluran tangan dan aksi nyata semata tapi berawal dari ide-ide yang positif yang menyelematkan pikiran dan mental sesama kita. Terakhir, kepo informasi bermanfaat bukan hanya untuk kita yang mendengar tapi juga bekal sebelum berucap.

Related Posts

Add New Playlist