Keberagaman dan Keberagamaan sebagai Modal Sosial Bangsa Indonesia

Pada fitrahnya, bangsa Indonesia memiliki modal sosial penting pada keberagaman dan keberagamaannya.

Heterogenitas (keberagaman) dan religiositas (keberagamaan) menjadi ciri khas bangsa Indonesia yang tidak didapatkan pada bangsa lainnya di dunia. Jumlah suku bangsa Indonesia yang demikian banyak dengan kewilayahan maritim yang demikian luas, menjadikan keberagaman Indonesia paling unik di dunia.

Sementara itu, keberagamaan bangsa Indonesia juga demikian kuat. Pada setiap acara kenegaraan, misalnya, prosesnya dibuka dan ditutup dengan doa. Contoh kecil sebagai kearifan lokal ini menjadi faktor pembeda sekaligus ciri khas yang menjadi kontras dengan negara lain.

Baca Juga

Pernyataan demikian disampaikan oleh Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama periode 2014-2019, pada acara Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Diniyah Takmiliyah di Jakarta (30-4-2021).

“Dengan keberadaan modal penting demikian, bangsa Indonesia harus mengedepankan sikap keberagamaan yang mengedepankan konsep Moderasi Beragama, apapun agamanya. Yang dimoderasi adalah cara beragamanya, bukan agamanya,” terang Lukman.

“Semua agama pada dasarnya menyuarakan sikap di tengah (moderat). Semua agama menyuarakan nilai kebaikan dan perdamaian. Oleh karenanya, mereka yang dikenal dengan sikap mengedepankan ekstremitas (ghuluw) selalu berada di pojokan (tatharruf)” ujarnya.

Lebih jauh, Lukman melihat pentingnya penerapan Moderasi Beragama dalam setiap aspek berperikehidupan sosial dan agama karena adanya tiga kecenderungan. “Pertama, praktek beragama yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan.

Belakangan mudah kita lihat kecenderungan seperti ini, padahal agama hadir untuk memanusiakan manusia. Nilai-nilai agama harusnya mendorong orang untuk menjadi inklusif, bukan eksklusif,” paparnya sambil menambahkan rantai keberagaman yang ekslusif – segregatif- intoleran, hingga menjadi destruktif.

“Kedua, munculnya tafsir agama yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara pengetahuan. Akibatnya, muncul sikap dan tindak yang seolah-olah dan diklaim paling benar, padahal salah dan berpotensi menyesatkan. Dalam hal ini, sanad pengetahuan itu penting sebagai jaminan sumber hakiki dan kualitas pengetahuan agama itu sendiri,” imbuhnya.

“Ketiga, mulai terlihat cara beragama yang merusak ikatan kebangsaan dengan tekanan yang mewujud pada pilihan sikap untuk mempolitisasi agama dan sikap majoritarianism. Majoritarianism, saya katakan sebagai sikap kepongahan pihak mayoritas yang menganggap diri bisa dan berhak semena-mena terhadap pihak minoritas,” katanya.

Mengakhiri paparannya, Lukman berharap agar pendidikan Islam terus menjadi garda terdepan dalam menyuarakan dan mempraktikkan Moderasi Beragama. “Saya percaya, jajaran Kementerian Agama, terlebih warga Pendidikan Islam, senantiasa mengedepankan Moderasi Beragama sebagai pedoman penting dalam konteks berkebijakan,” pungkas Lukman.

Related Posts

Add New Playlist