Oleh : Dodik Prasetyo (Pengamat Sosial Politik)
Cita – cita rekonsiliasi sudah terwujud, Prabowo telah bersedia bertemu dengan Jokowi dengan senyum tanpa dendam, ia pun mengatakan bahwa tidak ada cebong – cebong, tidak ada kampret – kampret, semuanya merah putih.
Rakyat Indonesia bersatu “Peluk, peluk, peluk,” ketika Jokowi dan Prabowo berada dalam 1 tempat. Layaknya sahabat karib, keduanya pun berpelukan sembari menebar senyum. Gong perdamaian antar kubu telah menggema, akan menjadi ironi jika polarisasi cebong – kampret masih menjadi topik pemberitaan.
Baca Juga
Dalam pidatonya Jokowi berkata, tidak ada lagi yang namanya 01, tidak ada lagi yang namanya 02. Tidak ada lagi yang namanya kampret. Yang ada adalah Garuda. Garuda Pancasila. Sontak kalimat tersebut mampu menggemakan riuh tepuk tangan.
Kalau sudah seperti ini, tentu Jokowi tidak perlu risau menanggapi syarat yang digemborkan Dahnil Anzar yang menyatakan jika ingin rekonsiliasi, maka pemerintah akan menjamin kepulangan Rizieq. Semoga saja Rizieq sehat – sehat disana dan bisa pulang tanpa memberatkan siapapun.
Ketika keduanya berada di dalam MRT dari Stasiun Lebak Bulus menuju Senayan. Prabowo dan Jokowi memang sempat berbincang serius, namun kedua tokoh tersebut sama sekali tidak membahas soal Rizieq.
Pertemuan tersebut tentu semakin menegaskan, tidak ada lagi polarsasi dukung mendukung calon presiden dan wakil presiden, artinya semua harus bersatu dan mengambil peran dalam pembangunan NKRI.
Menjaga persatuan nyatanya tidak jauh beda dengan berjuang mengusir penjajah, polarisasi yang kerap menghiasi media menjadi bukti, bahwa terpecahnya persatuan dapat menjadi ancaman yang serius.
Selama pertemuan Jokowi dan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus, keduanya terus menebar senyum. Dengan pakaian yang sama – sama berwarna putih, kedua mantan peserta pilpres tersebut semakin memancarkan wajah yang cerah dan memberi kesejukan kepada siapapun yang melihatnya.
Kalau sudah damai dan gayeng seperti ini, sudah semestinya pelukan antara Jokowi dan Prabowo bisa menjadi tombol otomatis bagi masyarakat untuk meredakan tensi politik pasca Pilpres 2019.
Jika polarisasi masih saja tersisa, setidaknya pertemuan tersebut memberikan sinyal positif dari para petinggi pada masyarakat khususnya para simpatisan partai untuk bisa berdamai.
Pertemuan antar keduanya juga dapat dijadikan sebagai ukuran peningkatan demokrasi di Indonesia. Dimana kedua peserta pilpres secara ikhlas saling bertemu, saling menyapa dan saling menunjukkan komitmen untuk menjaga persatuan di Indonesia.
Bertemunya Prabowo dengan Jokowi, mendapatkan apresiasi dari Ketua umum PDIP Megawati Soekarnoputri juga bersyukur atas realisasinya pertemuan anak bangsa antara Jokowi dan Prabowo. Mantan Presiden RI yang menggantikan Gus Dur tersebut juga selalu percaya dengan sikap negarawan yang dimiliki oleh Ketua Umum Partai Gerindra Tersebut.
Artinya, saat rekonsiliasi tidak boleh ada dendam apapun. Karena rekonsiliasi yang telah terwujud tersebut merupakan upaya keduanya dalam menghilangkan perbedaan di Masyarakat.
Dibalik pertemuan yang menyejukkan tersebut, tentu kita juga perlu mengapresiasi inisiator rekonsiliasi tersebut, dimana sosok tersebut adalah Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan. Sebagai kepala Badan Intelijen, ternyata Pria yang akrab disapa BG tersebut bekerja tanpa ada suara.
Hal ini tentu menjadi bukti bahwa proses rekonsiliasi merupakan sesuatu yang perlu diperjuangkan dengan berbagai cara. Masyarakat secara umum sudah saatnya meneladani sikap yang ditujukan oleh Prabowo maupun Jokowi.
Dimana Jokowi tetap ingin berteman dengan Prabowo, sedangkan Prabowo meskipun dirinya kalah dalam Pilpres 2019, ia telah mengatakan pada Jokowi bahwa dirinya siap ambil bagian atau oposisi.
Pernyataan tersebut sudah semestinya dimaknai oleh semua masyarakat, bahwa kekalahan dalam kontes demokrasi tidak lantas menjadikan alasan untuk bermusuhan. Oposisi diperlukan sebagai penyeimbang pemerintah dalam memutuskan segala kebijakan.
Saatnya kita melupakan gesekan sosial pasca pemilu yang dapat mencederai persatuan dan kesatuan bangsa. Perbedaan pandangan politik dengan rekan kerja tentu bukan alasan untuk tidak lagi menjalin silaturahmi. Toh yang diusung sudah berpelukan, masa iya kita masih musuhan gara – gara beda pilihan.
Mari kita buka lembaran baru dengan kepala dingin, permasalahan di negeri ini tidak melulu soal presiden, bersikap baik terhadap sesama tanpa memandang SARA, tentu sudah cukup membantu pemerintah dalam mewujudkan semboyan Bhineka Tunggal Ika.