Oleh: Abie
Pemerintah secara resmi telah mengumumkan larangan mudik Idul Fitri 2021 yang berlaku mulai 6-17 Mei 2021. Usai diumumkan, larangan tersebut ditegaskan melalui Surat Edaran Kepala Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik pada Bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah selama 6-17 Mei 2021.
Upaya tersebut merupakan strategi efektif untuk menjaga trens positif kasus Covid-19. Kebijakan tersebut sangat wajar menimbulkan kekecawaan bagi mereka yang sangat merindukan kampung halaman, apalagi sudah 2 tahun berturut-turut kebijkan tersebut terpaksa diambil Pemerintah RI pasca mewabahnya Covid-19.
Baca Juga
Namun, larangan tersebut harus tetap dilaksanakan dalam upaya pengendalian penyebaran Covid-19 di Indonesia. Pasalnya, berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, setiap libur Panjang terjadi peningkatan angka penyebaran dan kematian akibat Covid-19.
Dengan kebijakan serupa, ketika libur Idul Fitri 2020 terjadi kenaikan kasus harian hingga 93 persen. Di saat yang sama, terjadi tingkat kematian mingguan hingga 66 persen. Kenaikan kasus Covid-19 kedua terjadi saat libur panjang pada 20-23 Agustus 2020, mengakibatkan kenaikan hingga 119 persen dan tingkat kematian mingguan meningkat hingga 57 persen.
Kemudian pada libur 28 Oktober hingga 1 November 2020 telah menyebabkan kenaikan kasus covid hingga 95 persen dan kenaikan tingkat kematian mingguan mencapai 75 persen. Kejadian terakhir ketika libur akhir tahun yakni 25 Desember 2020 sampai dengan 3 Januari 2021 mengakibatkan kenaikan jumlah kasus harian mencapai 78 persen dan kenaikan tingkat kematian mingguan hingga 46 persen.
Kebijakan larangan mudik dinilai sebagai upaya untuk menjaga tren positif penyebaran Covid-19 yang sudah mulai berangsur turun. Dalam sebulan terakhir, tren penambahan kasus harian konsisten menunjukkan penurunan, di mana sudah lebih dari dua pekan terakhir, angka kasus baru tidak pernah tembus 7.000 orang setiap harinya.
Disamping itu, kebijakan larangan mudik juga dilakukan selaras dengan program pemerintah untuk menciptakan herd immunity melalui vaksinasi. Kebijakan larangan mudik ini juga dinilai positif oleh Iqbal Elyazar selaku peneliti di Eijkman-Oxford Clinical Research Unit yang menyebutkan bahwa larangan mudik adalah upaya yang positif dan membantu membuat skenario dampak dalam beberapa waktu mendatang.
“Seberapa besar dampak larangan mudik ini tidak bisa terlihat secara instan. Setelah satu minggu, dua minggu, tiga minggu, akan ada skenario sebab dan akibat jika masyarakat patuh atau tidak patuh terhadap larangan tersebut,” tutur Iqbal dalam seminar online yang diadakan The Conversation Indonesia berjudul “Mengukur Efektivitas Intervensi Pemerintah dalam Penanganan Covid-19”, Selasa (21/4/2020).
Kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan ini memiliki andil yang sangat penting. Hal itu menentukan seberapa besar efektivitas yang dihasilkan dari intervensi tersebut termasuk larangan mudik.
Meski demikian, kebijakan tersebut juga mendapat kritikan dari seorang pakar epidemiologi dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), Masdalina Pane. Aturan larangan mudik pada tahun ini tetap akan meningkatkan kasus positif virus corona karena pemerintah tak mendukung kebijakan itu dengan 3T yakni testing, tracing and treatment.
Dirinya menilai pemerintah tidak menggunakan pengalaman dan data mengenai larangan mudik tahun lalu dalam membuat kebijakan larangan Mudik 2021.Pada tahun 2020 pemerintah, katanya, juga melarang mudik lebaran tapi angka positif Covid-19 naik.
Pernyataan kebijakan larangan mudik akan meningkatkan kasus positif Covid-19 dinilai tidak koheren dengan perbandingan data yang disampaikan pada kebijakan larangan mudik 2020 yang meningkatkan angka positif Covid-19, karena kenaikan angka positif covid-19 pada 2020 bukan disebabkan kebijakan larangan mudik.
Henry Surendra, ahli epidemiologi dari Eijkman-Oxford Clinical Research Unit membeberkan beberapa kendala dari berbagai aspek terkait penanganan Covid-19 di Indonesia. “Salah satunya dalam aspek pencegahan dan pengendalian. Dalam aspek ini, bisa dilihat ketidakpatuhan dan partisipasi masyarakat yang belum optimal.
Mungkin tanpa kebijakan tersebut angka kenaikan jauh lebih tinggi dari yang terjadi karena tingginya mobilitas masyarakat. Kebijakan larangan mudik tentunya bukan merupakan kebijakan yang berdiri sendiri, upaya pencegahan, pengendalian dan penanganan lainnya masih terus berlangsung.
Kebijakan-kebijakan tersebut diantaranya program vaksinasi, Protokol Kesehatan dan 3 T (testing, tracing and treatment) masih terus berlangsung. Semua kebijakan tersebut dinilai saling mendukung satu sama lain, karena sampai dengan saat ini kebijakan-kebijakan tersebut masih terus dilaksanakan.
Penulis adalah warganet tinggal di Medan