Oleh : Raavi Ramadhan
Koalisi aksi menyelamatkan Indonesia menjadi organisasi paling sensasional di tahun 2020. Mereka terdiri dari kumpulan tokoh senior, namun sayang usianya tidak diimbangi dengan kebjaksanaan.
Masyarakat pun menolak provokasi KAMI karena hanya menimbulkan gejolak publik di masa pandemi Covid-19.
Cara untuk jadi populer bisa dilakukan dalam 2 jalur, negatif dan positf. Sayangnya KAMI memilih cara kedua dan alih-alih membuat prestasi, malah melakukan berbagai tindakan yang membuat emosi masyarakat.
Baca Juga
Mereka sudah berbuat onar dengan sengaja mengadakan deklarasi di berbagai kota, padahal masih pandemi covid. Para anggota KAMI juga ketahuan menebar provokasi.
Presidium KAMI Din Syamsudin mencak-mencak ketika datang ke kantor Bareskim.
Permintaan untuk membebaskan 8 anggota organisasinya yang terkena kasus provokasi, ditolak oleh aparat yang berjaga. Pasalnya, kasus mereka masih berjalan dan tidak bisa dilepaskan begitu saja. Bahkan Din cs gagal menemui para anggota KAMI Jakarta dan Medan yang masuk bui.
Baca juga: Menikmati Sunset di Bandung yang Sungguh Menawan, Ini Rekomendasinya!
Setelah gagal membebaskan para anggota KAMI, para presidumnya tidak terima. Mereka menuduh polisi asal tangkap dan tidak memenuh prosedur. Padahal menurut Brigjen Awi, sudah sesuai dengan aturan.
Karena surat perintah penyidikan keluar tanggal 12 dan penangkapan terjadi tanggal 13. Sudah ada pula bukti berupa screenshot kalimat provokasi.
Tingkah laku KAMI yang berani menentang polisi membuktikan kualitas mereka.
Masyarakat jadi kecewa karena organisasi ini gagal menyelamatkan Indonesia. Namun malah sengaja bikin onar dan merencanakan kerusuhan pasca aksi demo. Dengan harapan dalam aksi tersebut, pengunjuk rasa akan emosi dan bisa dipancing untuk melakukan pemakzulan.
Ketika akhirnya anggota KAMI ditangkap, mereka langsung marah dan menyalahkan polisi. Alih-alih mengakui kesalahannya di depan publik, mereka malah playing victim dan bermain drama, seakan-akan sedang dizholimi oleh aparat dan pemerintah. Padahal setiap warga negara yang bersalah bisa dibui dan tidak dapat dibebaskan begitu saja.
Begitu permintaannya ditolak, KAMI langsung mengadu ke Komnas Hak Asasi Manusia. Saat pengacara mereka diawawancara, maka publik langsung melihat karakter asli organisasi tersebut yang seenaknya sendiri. Bagaimana bisa seorang tersangka minta dibebaskan, dan ketika gagal malah mengadu ke Komnas HAM? Bagaikan anak kecil yang curhat pada ibunya.
Pengacara KAMI berdalih bahwa 8 anggota organisasi itu tidak bersalah, karena hanya menyebar hoax. Terlihat sekali ia menyepelekan sebuah berita bohong. Padahal kita tahu bahwa 1 kebohongan bisa menimbulkan 1.000 kebohongan lainnya. Persis seperti Pinokio.
Padahal anggota KAMI terdiri dari akademisi, mantan pejabat, dan tokoh publik. Mereka jelas memiliki otak yang cerdas namun sayang tidak mempergunakan kelebihannya untuk menolong masyarakat dan memenuhi janjinya untuk menyelamatkan Indonesia. Namun akalnya dibuat untuk membuat skenario pemakzulan dan pembodohan masyarakat.
Tingkah KAMI untuk berbuat onar juga terlihat ketika mereka mendukung demo buruh. Padahal sudah jelas dilarang aparat, karena bisa menyebarkan virus covid-19. Bagaimana bisa sebuah organisasi yang berjanji untuk menyelamatkan nasib bangsa, malah menghancurkan rakyatnya sendiri? Isu demo jelas ditunggangi agar mereka ikut viral.
Jangan mudah percaya akan bujuk rayu KAMI. Mereka jelas memiliki motif politis dan hobi berbuat onar, serta mengacaukan kedamaian di Indonesia. Jangan pula mudah iba karena mereka hanya playing victim. Ketika ada pemberitaan tentang KAMI, baca berbagai media yang valid agar tahu kebenarannya.
Lebih baik KAMI sadar diri dan membubarkan diri, daripada mendapat masalah lagi di masa depan. Atau bisa saja mereka membentuk partai baru, seperti saran Mantan Presiden Megawati. Jika memang punya tujuan politis dan terobsesi menjadi RI-1 tahun 2024.
Penulis adalah warganet tinggal di Bogor