Tulisan oleh : Jan Roi Sinaga
Baca Juga
Kenapa Kita harus Bermusuhan?
Pemilu tinggal menghitung hari, dan pada 17 April mendatang kita akan menunaikan hak pilih kita sebagai warga negara Indonesia yang baik dan taat kepada udang-undang. Akan tetapi, keributan ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat di negara kita, masih terus saja terjadi. Bahkan, setiap hari semakin bertambah panas. Para Politisi yang bertarung “diatas” sana, malah rakyat yang baku hantam “dibawah” sini.
Saling klaim antara dua kubu bahwa calon mereka lah yang terbaik, ternyata menjurus ke arah yang negatif. Demokrasi kita yang digadang-gadang sudah cukup baik, ternyata masih jauh dari harapan. Para politisi yang sejak awal diharapkan bisa menjadi sumber inspirasi, teladan ber-demokrasi yang sehat bagi rakyat, malah menjadi aktor utama “keributan” yang terjadi. Mereka (Politisi) saling serang disegala tempat, baik itu pada ruang publik, ruang debat, bahkan ruang media sosial.
Perdebatan-perdebatan para Politisi kita tidak jarang harus berakhir di meja hukum. Saling lapor dengan berbagai pasal pidana pun tidak terelakkan lagi. Ada yang terjerat pasal Penistaan, bahkan lebih banyak karena terjerat UU ITE akibat cuitan atau ungkapannya di media yang dianggap menghina, menyebar berita bohong, atau mencemarkan nama baik seseorang.
Akhirnya, rakyat juga terkena imbasnya. Tanpa bermaksud menuduh, seolah-olah dua kubu yang tercipta di masyarakat seakan disetting oleh suatu kelompok demi kepentingan politik mereka. Rakyat sepertinya ingin dibenturkan, sehingga para “politisi” yang sedang bertarung diatas sana bisa melihat sebesar apa kekuatan massa yang mereka miliki, dan hitung-hitungan perolehan suara pada Pemilu nanti sudah bisa ‘digambarkan’ sejak sekarang.
Jika harus membenturkan sesama masyarakat Indonesia, bukankah yang mereka lakukan adalah upaya Devide et Impera, seperti yang pernah Belanda lakukan kepada bangsa kita dahulu kala? Jika demikian, apa tujuannya Pemilu bagi bangsa ini, jika nantinya harus meninggalkan duka bagi sesama anak bangsa?
Kenapa Kita Harus Bermusuhan?
Selain pengaruh daripada para Politisi kita yang sedang bertarung merebut “kursi” pemerintahan saat ini, hal lain yang menjadi penyebab kenapa kita harus saling bermusuhan sesama rakyat Indonesia adalah karena semakin marak dan masifnya penyebaran hoaks ditengah masyarakat kita.
Berdasarkan Wikipedia, Hoaks berarti berita bohong, dan diperjelas lagi oleh Silverman (2015) bahwa Hoaks adalah berita bohong yang sengaja diciptakan, dan disebarkan ke masyarakat sebagai sebuah upaya provokasi terhadap kelompok tertentu. Dan kabar buruknya, rakyat kita dengan mudahnya ‘termakan’ berita-berita hoaks yang dengan sengaja disebarkan oleh suatu kelompok tertentu. Akhirnya, saling tuding, klaim, dan fitnah hingga menghina seperti sudah menjadi kebiasaan ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat kita saat ini, terkhusus pada tahun politik.
Bukanlah hal yang mengejutkan, mengapa rakyat Indonesia begitu mudahnya menelan mentah-mentah sebuah berita Hoaks yang diterimanya, tanpa meng-crosschek kebenarannya terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan tingkat Literasi rakyat Indonesia yang masih rendah. Budaya baca dan mencari fakta oleh warga kita masih sangat rendah, sehingga sangat mudah dipengaruhi oleh berita-berita yang menyesatkan.
Berdasarkan hasil penelitian “Most Littered Nation in the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu, negara kita berada pada peringkat ke-60 dari 61 negara. Miris bukan?
Memang, kalau ditanya perihal membaca saja, jelas rakyat kita sangat suka membaca. Akan tetapi bacaan nya sebatas media sosial. Negara kita pengguna Facebook ke-4 terbesar di dunia, dan pengguna Twitter sebanyak 6 juta jiwa, menurut data yang dirilis The New Web pada 2018 lalu. Dan melihat peluang seperti ini, maka gerombolan penyebar Hoaks merasa mendapat angin segar untuk menjalankan aksinya. Dan kenyataannya, upaya mereka hampir saja berhasil, andai saja tidak ada para relawan yang bersedia menyajikan data fakta, dan berusaha menangkal semua berita bohong terebut.
Melihat usia kemerdekaan bangsa kita yang sudah hampir 3/4 abad ini, melihat pesatnya kepedulian kita akan dunia pendidikan, dan melihat majunya perkembangan teknologi era sekarang, seharusnya kita sudah cukup dewasa dalam memilih mana fakta, mana berita bohong. Bahkan, untuk mencari tahu kebenaran fakta dari suatu berita yang kita terima, bukanlah hal sulit diera serba keterbukaan saat ini. Sekali “klik”, jawaban yang kita butuhkan bisa ditemukan hanya dalam hitungan detik.
Seharusnya, sebagai masyarakat dan pemilih yang cerdas, kita jangan malas mencari fakta. Kita tidak boleh hanya terpaku dan menelan mentah-mentah berita yang kita terima, tanpa kita cari tahu dulu kebenarannya. Hanya dengan demikianlah, kita bisa ketahui kenyataan yang sesungguhnya.
Ini hanya soal Pemilu !
Saya masih tidak habis pikir, kenapa banyak rakyat Indonesia yang kehidupannya sebegitu terpengaruhnya akan panasnya suhu perpolitikan bangsa ini. Yang awalnya sahabatan, sekarang menjadi musuhan. Yang sejak dulu selalu saling tegur dan sapa, sekarang saling menghindar. Antar tetangga, malah berantem karena beda pilihan politik, bahkan ada yang sampai baku hantam hingga muncul korban jiwa. Hanya satu kasus yang belum saya dengar hingga kini, dan semoga tidak akan pernah terjadi, yakni suami-istri yang bercerai karena beda pilihan politik.
Jika kita sadari, sebenarnya Pemilu sebagai bukti bahwa kita adalah raja yang sesungguhnya, dan yang akan kita pilih adalah pelayan rakyat, yang kita titipkan mandat kepadanya untuk membawa kemajuan, kemakmuran, dan kesejahteraan bangsa ini.
Jadi, Pemilu tidak ada kaitannya dengan Agama, Suku, dan Ras. Karena ketiga bagian ini, jauh lebih tinggi derajatnya dari perpolitikan bangsa ini.
Karena itu, jika ada yang mengaitkan bahwa Pemilu bangsa kita ini menentukan nasib suatu Agama, Suku, dan Ras negeri ini, maka bisa dipastikan bahwa itu adalah upaya memecah belah bangsa kita, sehingga oknum tersebut dengan mudah menguasai bangsa ini saat terjadinya permusuhan sesama warga.
Beda pilihan Politik itu adalah hal lumrah dalam negara ber-demokrasi. Hal ini menandakan, rakyat kita sangat tertarik untuk melek terhadap politik. Suatu situasi yang sangat bertolak belakang, jika kita ingat saat-saat Orde Baru masih berkuasa, dimana seolah-olah rakyat dilarang melek Politik, guna kepentingan para penguasa. Karena itu, buah dari reformasi yang kita nikmati saat ini, janganlah sampai tercederai oleh terpengaruhnya kita akan ajakan dan seruan permusuhan karena perbedaan pandangan politik. Janganlah sampai kita menjadi penyebar berita Hoaks, ujaran provokatif, yang bisa memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Jika bangsa kita bisa merdeka, dan berdiri kokoh lewat keberagaman suku, agama, dan ras sejak dahulu kala, mengapa kita tidak bisa damai, aman, dan salling rangkul meski berbeda dalam hal pandangan politik?
Yakinlah, siapaun yang akan terpilih nantinya, baik sebagai Presiden, Wakil Rakyat dan Daerah pada Pemilu nanti, mereka adalah putra-putri terbaik bangsa, yang siap membawa bangsa kita menuju kerbang kemajuan, kemakmuran, dan kesejahteraan, bangsa.