Aksi teror yang menimpa umat muslim di masjid Al Noor, Christchurch dan Masjid Linwood, New Zealand pada Jumat (15/3) lalu menyisakan traumatik dan ketakutan pada umat Islam.
Pengamat terorisme sekaligus Direktur The Islah Center, Mujahidin Nur mengatakan, aksi biadab tersebut dilakukan oleh Brenton Tarrant (28) asal Australia karena beberapa hal. Pertama, menguatnya Islamofobia di negara-negara Barat.
Islamofobia adalah istilah yang menunjukkan sikap takut sekaligus benci terhadap Islam dan umat Islam. Istilah ini mengemuka pada pertengahan 90-an abad lalu setelah muncul dalam tulisan yang dirilis sebuah lembaga sipil Inggris yang dipimpin seorang Muslim yang juga wakil rektor Universitas Sussex, Inggris.
Baca Juga
Penyebab kedua pembunuhan massal terhadap umat Islam di dua Masjid itu, tambah Mujahidin, adalah menguatnya ideologi nasionalisme kulit putih (ideology of white nationalism) yang berkembang dan mengglobal ke berbagai negara Barat.
“Karenanya, tentu saja agar teror terhadap umat Islam di Barat ini tidak terjadi lagi negara-negara Barat lainnya, para pemimpin di negara-negara Barat harus menangani masalah ini dari sumbernya,” ujarnya.
Mujahidin Nur menambahkan, sumber tersebut bisa didapatkan dari pernayataan Brenton Tarrant sebelum melakukan pembunuhan. Dia memposting di media sosial pribadinya apa yang disebut sebagai manifesto Ideology of White Nationalism (ideologi nasionalisme kulit putih).
Itu berarti Brenton Tarrant dan pelaku pembunuhan terhadap umat Islam lainnya di New Zealand meyakini bahwa Islam dan umat Islam adalah ancaman yang bisa menghancurkan Peradaban Barat (western civilization) dari invasi asing (agama Islam).
“Para pemimpin negara Barat juga hendaknya ingat peristiwa teror yang dilakukan oleh Anders Breivik yang membunuh 77 orang di Norwegia pada tahun 2011. Itu juga terjadi karena ia terinspirasi manifesto setebal 1500 halaman.
Dalam pengakuannya, Breivik ingin menghukum Eropa karena multikulturalismenya dan karena penerimaan Eropa terhadap imigran Muslim,” jelasnya.
Manifesto ini pula, lanjut Mujahidin, yang menginspirasi Christhoper Hasson yang baru-baru ini ditangkap karena menimbun senjata untuk melakukan pembunuhan massal utamanya pada umat Islam.
Manifeto ini diperparah dengan kebijakan Presiden Amerika terpilih Donald Trump (2017) yang melarang imigran Muslim dari Iran, Libia, Suriah, Somalia, Sudan dan Yaman, sehingga Islamofobia makin populer dan menguat.
Bahkan, Trump dalam banyak kesempatan juga mempromosikan kebijakan anti Islamnya ke berbagai negara termasuk ketika ia melakukan kunjungan musim panas ke Inggris.
“Inggris telah kehilangan budaya aslinya, para imigran telah mengubah kebudayaan Inggris dan negara-negara Eropa. Anda tidak akan kehilangan kebudayaan Anda kalau Anda bertindak dengan cepat,” jelas Mujahidin Nur sembari mengutip pernyataan Donald Trump.
Karenanya, tidaklah heran, Menurut Mujahidin Nur, apabila pelaku pembunuhan massal terhadap Umat Islam dalam pengakuannya ia memuji Presiden Donald Trump sebagai simbol identitas kulit putih.
Wajar saat di pengadilan, Brenton Tarrant tampak tidak menyesal dengan aksinya yang merenggut 49 nyawa muslim New Zealand, bahkan mungkin ia akan merasa bangga dan bahagia, karena ia memiliki tujuan yang sama dengan Donald Trump yakni mengurangi jumlah imigran muslim di New Zealand.
“Apabila negara-negara barat tidak secepatnya mengambil tindakan untuk meredam Islamofobia dan meredam ideology of white nationalism, saya meyakini bahwa ke depan berbagai peristiwa teror dan pembunuhan terhadap imigran akan banyak terjadi baik itu di Eropa, Amerika ataupun Australia, dan itu sangat memungkinkan karena banyaknya politisi dan media-media anti Islam yang menyuarakan kebencian terhadap umat Islam di Barat sampai saat ini,” tandasnya.
Dia mencontohkan, di tengah kepedihan atas tragedi kemanusiaan pada umat Islam, senator Australia; Frasser Anning malah menyalahkan program migrasi yang memungkinkan umat Islam memasuki New Zealand dan menempatkan mereka sebagai bagian dari masyarakat New Zealand.
Sudah waktunya, menurut Mujahidin para politis dan media-media Barat menghentikan ideologi yang akan menjelma menjadi terorisme global di negara-negara Barat ini, sebelum makin menguat dan akan menjadi masalah sosial dan keamanan di negara-negara Barat.
Untuk meredam ideologi itu, negara-negara Barat perlu melakukan sinergi maksimal dengan media dibantu organisasi-organisasi Islam dan lembaga-lembaga pendidikan untuk menekan gelombang Islamofobia.
Pelibatan media, menurut Mujahidin Nur, mutlak diperlukan karena medialah yang mempunyai peran vital dalam mentransformasikan informasi kepada masyarakat tanpa batas ruang dan waktu.
“Kecepatan media dalam melakukan reportase mampu memberikan pengaruh yang cepat pada pembentukan pola pikir masyarakat kita,” imbuhnya.
Di samping itu, media juga mempunyai peran yang sangat dominan dalam penyebaran Islamofobia, ideologi nasionalisme kulit putih dan supermasi kulit putih di negara-negara Barat.
Karenanya, pada sisi yang sama, media bisa digunakan untuk menjadi instrumen strategis dalam menyelesaikan masalah ini dengan tidak mengaitkan berbagai kejadian teror dan pemboman dengan agama tertentu.
Pasalnya, terorisme, di mana pun dan siapa pun pelakunya, tidak ada kaitannya dengan agama yang mereka anut. Para pemimpin dan media negara Barat harus meyakinkan masyarakatnya bahwa Islam dan Barat bisa hidup berdampingan dalam harmoni dan perdamaian.
“Sebagai buktinya para pemimpin negara Barat hendaklah ingat betapa besar kontribusi umat Islam dalam kemajuan peradaban mereka, itu adalah bukti yang tidak dapat dinafikan bahwa Islam dan peradaban Barat bisa bersinergi dan tidak saling menghilangkan identitas satu sama lain,” pungkasnya.