Oleh : Dodik Prasetyo
Partai demokrat sedang gonjang-ganjing karena ada perpecahan antara kubu Moeldoko dengan kubu AHY. Apalagi PD versi Moeldoko dikabarkan akan mendukung pemerintah, sedangkan versi satunya ngotot jadi oposisi. Namun Presiden tidak akan campur tangan dalam urusan partai, karena memang bukan urusannya dan sangat tidak etis untuk cawe-cawe.
Partai Demokrat (PD) adalah partai yang didirikan oleh mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tampuk kepemimpinan partai saat ini diwariskan ke putra pertamanya, yakniagus Harimurti Yudhoyono (AHY). Saat ini, PD sedang viral karena Moeldoko selaku kader, mengadakan kongres luar biasa (KLB). Sehingga ia ditetapkan sebagai ketua umum.
Baca Juga
Masyarakat pun bingung mengapa ada 2 kubu di Partai Demokrat. Masing-masing mengklaim bahwa pihaknya yang sah di mata hukum. AHY sudah melapor ke Presiden Jokowi mengenai hal ini. Mungkin karena Moeldoko adalah pemimpin di Kantor staf Presiden (KSP), sehingga AHY ingin agar sang rival dijewer oleh Presiden, selaku atasannya.
Presiden Jokowi memutuskan untuk tidak campur tangan pada kasus dualisme kepemimpinan partai dan KLB yang dianggap kurang sah ini. Publik menilai sikap ini memang betul, karena kurang etis jika ikut campur. Tidak sepatutnya seorang pemimpin negara cawe-cawe pada urusan internal partai. Walau Presiden adalah pemimpin negara, bukan berarti bisa masuk ke bagian dalam partai milik rakyatnya.
Apalagi, Partai Demokrat bukanlah partai yang mengusung Presiden Jokowi pada pilpres 2019 lalu. Jadi tidak mungkin Presiden Jokowi mengatur-atur urusan di partai yang beliau tidak menjadi kadernya. Alangkah aneh jika ada kader partai di luar Demokrat tetapi mengatur urusan internal PD.
Sementara itu, mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa kasus KLB Demokrat seharusnya diselesaikan dulu dalam internal partai. Setelah tidak ada kesepakatan dari kedua belah pihak, baru bisa dibawa ke pengadilan. Baru setelah itu, Agus dan ayahnya (SBY) bisa mengajukan argumen ke pihak hakim, agar ada keputusan mana pihak yang menang.
Menurut Yusril, kasus dualisme ini bisa diselesaikan seperti saat ada sengketa di partai lain, antara Aburizal Bakrie dan Agung Laksono. Mereka berdebat di pengadilan, lalu hakim memenangkan pihak Aburizal Bakrie. Sehingga yang dianggap sebagai ketua yang sah adalah Bakrie.
Sebagai mantan menteri, Yusril Ihza Mahendra menilai bahwa seorang menteri Hukum dan HAM harus netral, dan tidak berpihak pada aliran politik manapun. Memang seharusnya ketika seseorang diberi jabatan menteri, ia lebih mengutamakan kepentingan negara, daripada kepentingan internal partainya.
Meski oleh Yusril dinyatakan seperti itu, akan tetapi Menteri Hukum dan HAM saat ini yakni Mahfud MD, menyatakan bahwa pemimpin Partai Demokrat yang sah dan ada berkasnya di meja pemerintah adalah yang versi AHY. Jadi sebenarnya ia tidak usah panik akan ada KLB dan ancaman kudeta pemimpin partai.
Pernyataan Mahfud bukan berarti ia membela AHY atau menyerang Yusril. Melainkan dilontarkan untuk menenangkan pihaknya. Karena tidak setiap Kongres Luar Biasa partai itu sah, walau akhirnya ada partai sempalan yang baru, dari kader-kader yang kalah dan merasa terpinggirkan.
Lagi-lagi, semua pejabat dan mantan pejabat harus meniru sikap Presiden Jokowi untuk netral dan tidak nyemplung ke urusan internal partai. Biarlah yang bertikai akan bertarung di pengadilan, dan hakimlah yang memutuskan kubu mana yang benar. Jika perlu, kasusnya dibawa sampai ke level Mahkamah Agung, ketika tidak ada yang puas dengan hasilnya.
Para pengurus Partai Demokrat juga diharap untuk bersikap dewasa dan tidak sedikit-sedikit lapor ke Presiden Jokowi. Apalagi jika yang dibawa adalah urusan internal partai. Sangatlah tidak sopan ketika pemimpin negara malah diajak untuk mencampuri kasus pada partai rakyatnya.
Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini