Oleh: Edi Jatmiko
Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf berkomitmen untuk menyederhanakan birokrasi. Upaya tersebut merupakan bagian dari upaya mewujudkan profesionalitas Aparatur Sipil Negara (ASN).
Dalam rangka menuju prioritas pembangunan demi Indonesia maju, pemerintah tengah bergelut dengan tatanan negara yang baru. Salah satunya ialah, pemangkasan birokrasi. Khususnya di sektor eselonisasi, yang sebelumnya terdapat 4 klasifikasi nantinya disunat menjadi 2 saja. Sementara eselon yang dipangkas akan digantikan oleh jabatan fungsional yang menghargai keahlian dan kompetensi.
Baca Juga
Bak gayung bersambut, sebenarnya setelah lahirnya UU No.5/2014 berkaitan dengan ASN sudah tidak dikenal lagi istilah eselonisasi dalam birokrasi di Indonesia. Pasal 13 UU dimaksud menjelaskan, hanya terdapat 3 jenis jabatan dalam ASN yakni Jabatan Administrasi (JA), Jabatan Fungsional (JF), beserta Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT). Ketiga jenis jabatan dalam ASN tersebut memiliki perannya masing-masing di dalam lembaga birokrasi.
Ditengarai JF disini merupakan tulang punggung dalam sebuah organisasi birokrasi di Indonesia karena perannya yang mampu menyokong dan memberikan input segala kebijakan pemerintah yang akan diputuskan oleh JPT.
Pola birokrasi di Indonesia saat ini cenderung bersifat hierarkis, kaku, dan lambat saat merespons perubahan zaman dikarenakan masih menggunakan model birokrasi Weberian yang diakui sebagai hasil warisan masa lampau oleh pemerintahan kolonial Hindia-Belanda. Yakni, dengan karakteristik sangat struktural dan sentralistik.
Meskipun sisi positif dari model Weberian ini adalah semua pekerjaan terbagi secara jelas dan merata, namun di era disrupsi dunia saat ini yang dikenal dengan istilah VUCA (Volatibility, Uncertaintay, Complexibility and Ambiguity) yang berarti segala sesuatu harus bergerak cepat dalam upaya merespons berbagai perubahan, organisasi sektor publik pun tidak boleh kaku dan berjalan laksana mesin.
Hal ini tentunya juga berpengaruh pada sektor investasi, yang tentunya masih mendominasi Indonesia. Kelambatan respon pemerintah inilah yang ditengarai membuat para investor enggan mendekat. Maka dari itu, diperlukan terobosan agar jajaran organisasi birokrasi dapat bertransformasi menjadi lembaga yang lincah, efektif dan efisien.
Untuk dapat mengoptimalkan peran JF dalam birokrasi seperti arahan Presiden dan amanat UU 5/2014, maka membutuhkan alternatif untuk menggantikan model organisasi birokrasi ala Weber dengan model organisasi lain yang lebih adaptif dan bersifat responsif. Secara teoritis, banyak pola organisasi yang dapat diterapkan dalam sebuah birokrasi, namun terdapat dua model organisasi praktis terbaru yang dapat diterapkan guna memangkas layer birokrasi dan mengoptimalkan peran JF agar lebih berperan secara profesional sesuai kompetensi dan keahliannya.
Menurut Brian J Robertson pada tahun 2009 dan agile organization menerapkan pola Holakrasi yang merupakan hasil riset dari McKinsey tahun 2018. Secara singkat sistem holakrasi ini mengintegrasikan tren kepemimpinan modern serta dapat digambarkan dengan baik oleh struktur organisasi yang terus berubah. Yakni, tim kecil yang diorganisir ke dalam sebuah jaringan dan dipimpin melalui pengambilan keputusan bersama dan tingkat otonomi yang sangat tinggi.
Sementara untuk model kedua, agile organization yang dirilis oleh McKinsey, digambarkan layaknya organisasi yang lincah. Organisasi ini memiliki sifat yang stabil namun dinamis pada saat yang berbarengan. Dalam organisasi tersebut diatur sebuah elemen tulang punggung yang bersifat stabil, dan berevolusi secara perlahan dan mampu mendukung kemampuan dinamis dan dapat beradaptasi dengan cepat atas tantangan serta adanya peluang baru.
McKinsey turut menganalogikan dengan telepon pintar (smartphone), di mana perangkat fisik bertindak sebagai wadah yang konstan untuk berbagai aplikasi dinamis, dan dapat menyajikan berbagai fitur dan bisa digunakan oleh para penggunanya. Kedua model organisasi tersebut sebetulnya memiliki kesamaan, yakni sama-sama bekerja secara teamwork dengan mengedepankan kompetensi dan keahlian di masing-masing kelompok fungsionalnya. Tepatnya sesuai tematik dan bersifat dinamis ketika merespons perubahan beserta tantangan yang ada.
Harapannya, semoga organisasi birokrasi di Indonesia mampu meniru pola-pola organisasi yang lebih lincah, dinamis, dan besifat fleksibel sehingga menjadi sebuah birokrasi yang responsif. Terlebih, mampu menjadi katalisator pembangunan nasional. Tak hanya menyederhanakan birokrasi yang terkesan “padat” dan tak berfungsi secara maksimal, namun juga menciptakan lapangan kerja baru dan mengedepankan SDM berdaya saing yang lebih unggul. Agar, Indonesia mampu mengejar ketertinggalan dari negara-negara lainnya. Mari dukung pemangkasan birokrasi demi terwujudnya Indonesia lebih maju.