Oleh: Rizal Arifin
Paham radikal masih menjadi ancaman nyata. Masyarakat dan Pemerintah pun harus terus bersinergi menangkal penyebaran paham anti Pancasila tersebut yang cenderung meningkat dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi.
Radikalisme menjadi sebuah ancaman yang sangat membahayakan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ia mampu menyasar siapa saja tanpa pandang bulu dan latar belakang. Oleh karena itu, semua pihak harus berperan aktif menjadi mitra sinergis pemerintah dalam membendung penyebaran radikalisme.
Baca Juga
Masyarakat diharapkan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap penyebaran radikalisme di berbagai lini adalah prioritas utama. Sebab, paham dan tindakan yang dapat menyebabkan pelakunya cenderung ke arah terorisme akan merugikan diri sendiri dan orang lain. Pemerintah dan masyarakat tidak boleh lengah lagi dalam mengawasi penyebaran ideologi anti Pancasila ini.
Radikalisme yang kini menggerus zaman mulai menunjukkan taringnya. Eksitensi paham yang identik dengan agama Islam ini perlahan berkembang pesat mengikuti perkembangan zaman. Radikalisme seolah mampu bertransformasi sesuai apa yang dihinggapinya. Mengelabui setiap korbannya untuk menjadi boneka bagi kelangsungan kelompok ekstrimis di luaran sana.
Mengacu kepada Ketentuan Pasal 43A Undang-Undang Nomor 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU 5/2018) menyatakan, bahwa upaya pencegahan tindak pidana terorisme dilakukan oleh pemerintah yang dilandasi dengan prinsip pelindungan hak asasi manusia serta prinsip kehati-hatian.
Upaya pencegahan tersebut harus dilakukan dengan hati-hati guna memberikan perlindungan hukum terhadap hak perseorangan ataupun kelompok orang yang diduga terpapar radikalisme. Sikap hati-hati tersebut juga harus mempunyai ukuran dan standar perlindungan hak asasi manusia. Hal ini bertujuan agar upaya pencegahan tidak melahirkan korban dan stigma baru terhadap seseorang beserta kelompok orang yang terpapar radikalisme.
Merujuk upaya pencegahan tersebut, UU Nomor 5/2018 telah memberikan pedoman yang cukup jelas dan terinci. Undang-undang berikut menyatakan upaya pencegahan harus dilaksanakan melalui kesiapsiagaan nasional, kontraradikalisasi dan juga deradikalisasi. Adapun maksud dan tujuan upaya pencegahan tersebut antara lain adalah, kesatu kesiapsiagaan nasional.
Upaya pencegahan melalui sistem kesiapsiagaan nasional merupakan kondisi siap siaga guna mengantisipasi berlakunya tindak pidana terorisme melalui proses yang terpadu, terencana, sistematis, dan berkesinambungan. Kegiatan melalui kesiapsiagaan nasional ini dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat, peningkatan kemampuan aparatur, perlindungan serta peningkatan sarana prasarana, pengembangan kajian terhadap terorisme, termasuk pemetaan wilayah rawan paham radikal terorisme.
Kedua, yaitu kontraradikalisasi. Upaya pencegahan dengan rencana ini mengusung proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilakukan terhadap orang maupun kelompok yang rawan terpapar radikalisme. Tujuannya guna menyetop penyebaran paham radikal terorisme. Kegiatan kontraradikalisasi ini akan dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung melalui kontrapropaganda, kontranarasi, maupun kontraideologi.
Yang ketiga ialah deradikalisasi yang mana menganut proses secara terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dipraktikkan guna menghilangkan, menekan, hingga membalikkan pemahaman radikal terorisme. Target deradikalisasi umunya ialah tersangka, terpidana, terdakwa atau narapidana, termasuk mantan narapidana terorisme maupun orang atau kelompok orang yang telah terpapar paham radikal terorisme.
Dosen di Departemen Sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Zaki Arrobi menyatakan jika Persoalan paling mendasar yang para pelaku radikalisme hadapi di masa lalu, ialah gagalnya komunikasi dengan orang tua, relasi gender dalam keluarga, termasuk konstruksi yang tidak setara penting untuk diatensikan.
Hal tersebut yang kemudian mengagungkan penggunaan senjata, kekerasan hingga nilai- nilai yang memberi situasi kondusif bagi kekerasan dan terorisme. Maka dari itu, Zaki setuju dalam upaya deradikalisasi dengan menyentuh dimensi yang komprehensif dan segi holistik. Deradikalisasi akan dinilai lebih efektif bila sentuhan emosi dan kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari dilaksanakan.
Dimensi pemikiran seorang mantan teroris, merupakan bagian terberat untuk disentuh. Sehingga membutuhkan pendekatan persuasif dalam jangka panjang. Dirinya menambahkan, terkait riwayat kehidupan, alasan serta motivasi utama pelaku radikalisme memutuskan untuk bergabung dengan gerakan terorisme pasti berbeda. Jadi formula pendekatan tidak bisa dibuat seragam atau satu untuk semua.
Dapat dipastikan bahwa semua hal pasti akan berawal dari keluarga. Pendidikan bertoleransi tinggi dinilai sebagai kunci utama untuk menghargai sebuah perbedaan. Yang nantinya akan memberikan pandangan teduh mengenai perbedaan tajam berkenaan dengan agama, pendapat, sikap maupun sektor yang lainnya.
Namun, kini penanaman sikap toleransi seakan ikut hanyut bersama derasnya perkembangan zaman. Hingga membuat pelakunya ingin membuat dunianya sendiri sesuai ekspektasi yang diingini. Meningkatkan kewaspadaan akan paparan radikalisme ini bisa dimulai dari diri sendiri dan keluarga. Perkuat iman serta wawasan terkait radikalisme agar kita bisa melawan paham yang kini kian menggerogoti pemikiran masyarakat.