Oleh: Muhammad Zaki
Beberapa hari yang lalu, publik dikejutkan dengan munculnya soal-soal tentang khilafah di soal ujian akhir Madrasah Aliyah di Kediri, Jawa Timur. Kemunculan soal tersebut menandakan bahwa penyebaran paham anti Pancasila memang nyata.
Pemerintah diminta tegas menyikapi fenomena tersebut, mengingat paham radikal adalah racun yang dapat menyebabkan disintegrasi bangsa.
Polemik “Khilafah” ini sepertinya makin menjadi. Bukan hanya dinilai menyentuh sektor agamis saja, namun penyebarannya mampu masuk hingga lini terkecil, termasuk bidang pendidikan. Padahal pendidikan merupakan basis pembentukan karakter seorang manusia. Sehingga pembelajarannya memang harus diperhatikan. Alih-alih membuat anak jadi lebih pintar, malah menjadikan anak memiliki perilaku menyimpang.
Baca Juga
Persoalan Khilafah ini sebetulnya banyak dibahas dan dijelaskan secara terperinci oleh para ahli, tokoh agama yang dinilai cukup kompeten dibidangnya. Hanya saja, kemampuan setiap orang menerima hal ini berbeda-beda hingga menimbulkan beragam persepsi. Kemungkinan salah persepsi inilah yang membuat orang dengan kecerdasan dangkal “ngeyel” jika paham khilafah ini layak diterapkan di Indonesia. Padahal kenyataannya Nusantara adalah negara yang memiliki keberagaman, jadi tak mungkin paham ini diaplikasikan untuk sistem ketatanegaraan. Jika terjadi, umat agama lain mau dibawa kemana?
Belakangan ini kembali viral persoalan terkait Khilafah. Tak tanggung-tanggung, materi terhadap paham ini digunakan sebagai soal ujian di salah satu sekolah di Kediri. Penggunaan soal ini dianggap sebagai proses indoktrinasi. Indoktrinasi ini merupakan sebuah proses yang dilakukan berdasarkan satu sistem nilai guna menanamkan gagasan, sikap, sistem berpikir, perilaku dan kepercayaan tertentu.
Indoktrinasi agama terkait paham khilafah ini merujuk kepada ritual peralihan yang tradisional untuk mengindoktrinasi seseorang ke dalam suatu agama tertentu beserta komunitasnya.
Kebanyakan kelompok agama mengajarkan anggota-anggotanya yang baru (pemula) tentang prinsip-prinsip agama tersebut. Indoktrinasi biasanya diterapkan oleh mereka yang ingin melibatkan orang lain didalam ajaran yang dianutnya.
Keberadaan kata ‘khilafah’ di dalam soal ujian tersebut pertama kali diketahui atas laporan warga nahdliyin (Taufiq) yang merupakan salah satu wali murid di sekolah itu. Pada lembar pertama materi terdapat sebanyak tujuh soal tentang khilafah yang saling berhubungan. Menurutnya keberadaan soal ini bukan bentuk pendidikan, namun upaya indoktrinasi. Dia menuding ada peranan organisasi tertentu yang berkaitan dengan soal ujian tersebut. Konsep khilafah tidaklah cocok diterapkan di Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Selain itu HTI-lah yang pertama kali mengusung khilafah, imbuhnya.
LBH NU Kediri meminta Kemenag wilayah Kediri Utara, yang mana terdiri dari Kabupaten Kediri, Kota Kediri, dan Kabupaten Nganjuk, untuk merevisi ulang soal ujian. Taufiq, mengatakan jika tidak segera ada tindakan nyata dari pihak yang berwenang pihaknya akan segera membawa persoalan ini ke jalur hukum.
Sementara itu, Kementerian Agama kini telah mencabut soal serta menggantinya dengan soal baru yabg tak bermuatan khilafah. Kemenag menilai jika soal tersebut dapat berpotensi disalahpahami oleh siswa. Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah, Kemenag, A Umar, juga menegaskan bahwa Soal itu akan dicabut dan diganti dengan soal yang lain yang akan diujikan tersendiri dalam ujian susulan nantinya.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam telah berkoordinasi dengan Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur guna menarik soal mata pelajaran fikih yang tengah viral ini. Umar menambahkan materi tentang pemerintahan Islam memang menjadi salah satu bahasan silabus mata pelajaran fikih kelas XII pada KMA Nomor 165 tahun 2014.
Namun, penekanan dari materi ini sebetulnya terletak pada aspek perkembangan kehidupan. Materinya menerangkan tentang perkembangan pemerintahan Islam setelah Nabi wafat, mulai dari Khulafaur Rasyidin hingga pemerintahan Turki Utsmani.
Keberadaan materi ini tidak akan menjadi masalah jika dapat dijelaskan secara tuntas oleh para guru maupun pihak pendidik. Bila dikupas dari sisi sosiologis dan antropologis, misalnya, para siswa akan mendapatkan sejumlah wawasan terkait dinamika sistem pemerintahan dalam sejarah Islam.
Masalahnya, tidak semua guru memiliki pemahaman yang sama tentang materi ajar terkait khilafah. Sehingga hal ini dinilai berisiko terjadinya kekeliruan perspektif dalam pembuatan soal, terutama di daerah-daerah.
Selektif dalam penerapan materi pembelajaran ini dapat berfungsi sebagai langkah antisipasi melawan paham khilafah yang kini telah banyak dibelokkan. Sebab, sudah banyak korban terkait paham ini yang awalnya salah persepsi hingga pelaku berpotensi berkelakuan menyimpang. Bukan tak mungkin jika masalah yang dinilai sepele ini bisa menjadi warning agar pemerintah dan seluruh pihak tetap dan terus waspada akan pergerakkan paham khilafah yang kian meresahkan. Bukankah lebih baik sedia payung sebelum hujan!