Mendukung Keberlanjutan Program Deradikalisasi

Mendukung Keberlanjutan Program Deradikalisasi

Oleh : Aris Munandar

Deradikalisasi merupakan upaya untuk mengurangi dan menghilangkan paham radikal seseorang. Masyarakat pun mendukung keberlanjutan program deradikalisasi agar paham anti Pancasila tersebut tidak berkembang luas di masyarakat.

Baca Juga

Ancaman terorisme juga perlu dicegah dengan salah satu program yakni Deradikalisasi. Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Prof. Irfan Idris menjelaskan, program deradikalisasi yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 memiliki berbagai tahapan.

Seperti yang ada di dalam lapas terlebih dahulu dilakukan identifikasi, rehabilitasi, re-edukasi dan re-integrasi. Sedangkan upaya pencegahan yang ada di luar lapas, dilakukan identifikasi, pembinaan keagamaan, wawasan kebangsaan dan kewirausahaan.

Di Inggris, program deradikalisasi masih terus digalakkan. Di negara tersebut telah berdiri Dewan Cendekiawan Muslim (DCM), sebuah organisasi yang memprioritaskan gerakannya untuk memperkenalkan Islam yang sejati kepada komunitas non-Muslim di Inggris. Tugas pokok DCM adalah memikirkan langkah-langkah deradikalisasi warga negara muslim Inggris.

Sementara itu pemerintah Indonesia telah bersepakat untuk saling berintegrasi dalam memerangi radikalisme dan terorisme di Indonesia. Untuk itu, upaya deradikalisasi harus dilakukan secara menyeluruh, mulai dari hulu hingga hilir.
Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin mengatakan, pamerintah juga akan fokus pada penanggulangan pendidikan, serta penanganan di lingkungan Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Untuk itu, akan disusun sebuah mekanisme dalam menyeleksi calon ASN dan pegawai BUMN, serta pejabat yang akan menduduki pejabat struktural di pusat dan daerah. Hal ini untuk memastikan calon ASN dan pegawai BUMN tidak terpapar paham radikal.
Beberapa langkah yang akan dilakukan pemerintah untuk mencegah paparan radikalisme di Indonesia antara lain; dengan menghidupkan kembali upacara bendera di sekolah dan instansi, memasang Closed Circuit Television (CCTV) atau kamera pengawas di seluruh tempat ibadah, khatib yang tersertifikasi dan adanya tes seleksi CPNS dan pegawai BUMN yang dapat mengindikasikan seseorang terpapar radikalisme dan terorisme.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Edi Santoso, mengatakan bahwa deradikalisasi perlu dilakukan secara komprehensif dengan pendekatan lokal dan kontekstual.
Pihaknya mengatakan bahwa upaya deradikalisasi bisa dilakukan dengan melibatkan tokoh masyarakat dengan cara persuasif dan mengedepankan pendekatan kultural.
Jangan sampai Deradikalisasi dilakukan dengan teriak-teriak. Karena yang seharusnya dilakukan adalah mendalami masalah, mengidentifikasi akarnya, lalu mencari solusi yang tepat melalui musyawarah.
Edi menambahkan, sikap radikal bisa jadi lahir dari sebab yang sangat kompleks. Radikalisme itu sikap, cara pandang radikal, yang berorientasi pada perubahan mendasar, misalnya bermaksud mengubah sistem yang sudah berjalan.
Saat kaum radikal melakukan penyerangan pada sasaran yang mereka anggap sebagai musuh, maka hal tersebut akan menimbulkan kerusakan di bumi. Kerusakan tidak hanya terjadi pada hal fisik seperti gedung atau bangunan, tetapi juga kerusakan moral pada pemuda.
Para radikalis akan senantiasa mendukung orang yang melakukan aksi teror. Dengan bom yang mereka ledakkan, maka bangunan akan runtuh dan akan menimbulkan kerugian banyak pihak.
Selain itu mereka yang telah terpapar radikalisme biasanya akan mengajarkan seseorang untuk tidak toleran terhadap orang lain yang berbeda golongan. Bahkan mereka akan membenci orang yang tidak seagama atau sealiran denganya. Adanya gerakan ini tentu akan menghancurkan rasa nasional bangsa.
Radikalisasi yang terjadi di Indonesia sudah memberikan berbagai bukti akan keporak-porandaan dan kehancuran maupun permusuhan. Jika kita artikan, radikalisasi merupakan transfer cara berpikir untuk toleran terhadap kekerasan dengan tujuan tertentu.
Kita perlu menengok negara Yaman yang dianggap sebagai pionir dalam program deradikalisasi. Negara tersebut mulai menjalankan program deradikalisasi pada tahun 2002 dengan membentuk Komite untuk Dialog (Comittee for Dialogue). Program tersebut memprioritaskan dialog dan debat intelektual dengan tujuan untuk meyakinkan kepada para aktivis kekerasan atau mereka yang tersangkut terorisme bahwa pemahaman yang mereka miliki adalah hal yang tidak benar.
Deradikalisasi yang dilakukan oleh pemerintah tentu saja harus bisa menghadirkan ruang dialog yang dapat memberikan pemahaman bahwa tidak ada surga yang didapat dengan cara menebarkan aksi teror seperti meledakkan bom di tempat Ibadah.
Deradikalisasi harus tetap dilakukan, para radikalis saat ini semakin mengetahui celah-celah di mana mereka dapat masuk ke suatu instansi lalu kemudian menyebarkan paham radikal secara senyap.

)* Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini

 

Related Posts

Add New Playlist