Membudayakan Semangat Gotong Royong Kemerdekaan, dan Membendung Ancaman Radikalisme

Oleh: Syukri Nur Ihsan (Penulis adalah Mahasiswa UIN Bandung)

Membicarakan hari lahir Indonesia ke-74 yang memasuki era digital sekarang ini, pastinya akan menemukan kemajuan dan tantangan di dalamnya.  Kemajuan karena banyak kreasi dan inovasi yang dilahirkan oleh generasi cerdas dan kreatif berkat Indonesia mendapat bonus demografi.  Akan tetapi, ada juga tantangan yang cukup mengkhawatirkan kelangsungan ruh kemerdekaan bangsa ini kedepannya yaitu bahaya hoax dan radikalisme.

“Kebenaran yang tidak terorganisir, bisa dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir”. Ungkapan ini tepat dalam menggambarkan fenomena radikalisme saat ini. Radikalisme sebagai refresentasi dari kebatilan bisa mengalahkan kedamaian sebagai perwujudan dari kebenaran. Adalah sebuah fakta, bahwa orang-orang radikal itu sejatinya hanya segelintir orang, tetapi mereka terorganisir. Sebaliknya, pihak yang mendambakan perdamaian berada dalam jumlah yang banyak, tetapi tidak bisa berjamaah.

Baca Juga

Gemerlap kamajuan informasi dan teknologi ditambah penetrasi dari media sosial membuat manusia bisa mencukupi dirinya sendiri. Apa-apa yang diinginkannya tinggal klik, sudah tersedia di depan mata. Efek paling nyata adalah pudarnya budaya gotong royong di tengah-tengah masyarakat. Budaya gotong royong adalah sendi dari kehidupan dalam mewujudkan kenyamanan dan kedamaian. Di lain pihak, tumbuhnya keegoisan di tengah mayarakat sering dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk membuat terror dan menciptakan dis-harmoni.

Jiwa Gotong Royong Mendukung Kepemimpinan Nasional Kedepan

Dalam kondisi seperti ini, menangkal terorisme tidak bisa dilakukan kalau tidak dilakukan bersama-sama. Menangkal virus radikalisme membutuhkan kerja kolektif dengan jiwa berjamaah. Gerakan gotong-royong masyarakat dalam berkontribusi mewujudkan situasi yang kondusif bisa dilakukan dengan cara berikut:

Pertama, memaksimalkan peran tokoh adat dan tokoh agama. Pelibatan tokoh masyarakat dan tokoh agama di tingkat lokal bisa mencegah – setidaknya memiminalisir – virus dan akses-akses radikalisme. Selama ini, kerja-kerja pencegahan lebih banyak bersifat sentralistik, dengan tak-tik dan prosedur yang ketat. Di tingkat lokal, peran tokoh adat dan tokoh agama ternyata sangat fungsional.

Peran strategis tokoh adat dan agama ini bisa dilihat dari semboyan adat bersandi syara, di mana keduanya adalah ibarat dua sisi koin mata uang, tak bisa dipisahkan. Masalah-masalah yang dihadapai masyarakat –kalau tidak mangatakan seluruhnya –terlebih dahulu diselesaikan dengan kerja-kerja kekeluargaan yang bersifat lokal nan arif, sebelum masuk ke institusi formal. Peran strategis ini, bisa dimaksimalkan untuk mengampanyekan nilai-nilai kedamaian, harmoni dan toleransi.

Kedua, memaksimlkan fungsi lembaga-lembaga masyarakat, menghidupkan ritual yang bersifat lokal merupakan hal yang sangat ampuh dalam melawan radikalisme. Lembaga masyarakat baik berbentuk artefak seperti rumah adat, ruang-ruang kumpul, maupun bersifat non-fisik, seperti ikatan kesukuan, marga, dan sistem kekeluargaan memiliki fungsi dalam menangkal radikalisme.

Ikatan marga umpanya yang ada di suku Batak, Sumatera Utara sangat strategis dalam meminimalisir komfilik. Bagi sistem kesukuan, marga itu adalah ikatan saudara. Jika marga A berjumpa dengan marga B umpanya, C dengan D mereka sudah menganggap itu adalah saudara kandung. Bahkan bagi sebagian orang, ikatan marga jauh lebih tinggi dari pada ikatan agama. Kita boleh beda agama, asal kita satu marga, kita adalah saudara.  Akibatnya konflik dan perselisihan bisa di-manage.

Hal yang sama juga terjadi di pulau Jawa. Adanya tradisi ziarah kubur ke makam-makam yang dianggap suci, ternyata bisa meminimalisir konflik-konflik yang ada di masyarakat. Perbedaan-perbedaan yang beragam, setelah masuk dalam lingkungan makam suci untuk ziarah itu bisa membaur dan melebur antar sesama.

Sejauh ini, peran strategis kearifan lokal sudah banyak diekpos media. Tradisi saling membersihkan tempat rumah ibadah di salah satu daerah di Maluku misalnya; ketika Idulfitri, kaum Kristen yang membersihkan mesjid, sebaliknya, ketika tiba Natalan, giliran kaum muslim yang membersihkan. Dialog, saling sapa dan saling asah itu perlu dimaksimalakn untuk menumpas virus radikalisme yang merupakan musuh bersama.

Masyarakat tentunya akan terus mengawal hasil kerja pemerintahan yang telah bergulir pada masa ini tetap harus diapresiasi karena upaya kerasnya dalam melawan hoax dan radikalisme. Untuk menghadirkan kepemimpinan nasional yang kuat tentunya harus didukung oleh komitmen dan karakter masyarakat yang kuat juga, serta mampu memberikan kiprah yang dibutuhkan untuk berlanjutnya pembangunan nasional.

 

Related Posts

Add New Playlist