Nabi Idris adalah seorang yang sangat cerdas, ia diberikan kepandaian dalam berbagai bidang ilmu dan keterampilan. Selain itu, ia juga diberi kemampuan untuk menciptakan alat-alat dalam upaya mempermudah pekerjaan manusia. Dikisahkan juga bahwa Nabi Idris sebagai nabi pertama yang mengenal tata cara menulis, menguasai berbagai macam bahasa, ilmu matematika (perhitungan), ilmu pengetahuan alam, ilmu astronomi dan sebagainya.
Sebab itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengangkat namanya ke seluruh penjuru alam, serta mengangkat kedudukannya di antara makhluk yang dekat dengan-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam Alquran dan sunah tidaklah terlalu panjang lebar cerita akan Nabi Idris ‘alaihissalam. Dalam Alquran hanya tiga ayat yang menyebut langsung tentangnya. Di antaranya,
Baca Juga
“Dan ingatlah apa di dalam al-Kitab tentang Nabi Idris. Dia adalah seorang sangat pembenar, lagi seorang Nabi.” (QS. Maryam: 56-57)
Dijelaskan tentang ayat tersebut bahwa Nabi Idris AS diangkat ke langit dalam keadaan tidak mati seperti Nabi Isa AS, selain itu ada riwayat lain yang menjelaskan bahwa dia diangkat malaikat ke langit, kemudian datanglah malaikat maut mencabut nyawanya di sana, wallahu a’lam.
Saat itu, nabi Idris AS bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di langit yang keempat saat peristiwa mi’raj. Hal itu pun menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menempatkan kedudukannya pada derajat yang tinggi di antara para nabi lainnya. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat yang lain,
“Dan Nabi Ismail, Nabi Idris, Nabi Dzulkifli, mereka termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anbiya: 85)
Demikian pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dalam hadis sesuatu yang mengisyaratkan tentang sifat Nabi Idris ‘alaihissalam. Beliau bersabda:
“Adalah seorang nabi dari para nabi yang menggaris nasib, maka barang siapa yang mampu melakukannya (dengan bekal ilmu yang pasti dan mencocoki), maka hal itu boleh baginya.” (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyebutkan hukumnya, agar tidak menjadi salah tafsir bahwa apa yang dilakukan nabi tersebut haram, karena memang nabi tersebut punya ilmunya sehingga boleh melakukannya. Adapun kita tidak punya ilmu tentangnya.” (Syarh Muslim, 5:21)