Oleh: Rebecca Marian
Tudingan Pemerintah tidak berpihak kepada rakyat Papua dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) adalah bohong besar. Pasalnya, Pemerintah telah melakukan berbagai upaya perlindungan HAM bagi masyarakat Papua. Hal itu berbanding terbalik dengan kelompok separatis Papua yang seringkali melakukan kekejaman kepada Warga sipil.
Tidak berlebihan jika menganggap Kelompok Separatis Papua sebagai pelanggar HAM sebenarnya.
Tudingan miring dari tindakan pelanggaran HAM yang dilontarkan Koran Jakarta Post atas pemerintah Indonesia, tampaknya harus diklarifikasi. Pasalnya, disini ada indikasi semacan “playing victims”. Mereka (Jakarta Post) menyebutkan seolah-olah pemerintah dan aparat keamanan sengaja melakukan tindak kekerasan hingga pembunuhan, termasuk terhadap warga yang tidak bersalah di Papua. Bahkan, aktivis Veronika Koman getol memaksa Indonesia untuk membebaskan 56 aktivis Papua yang ditangkap saat berunjuk rasa meminta disintegrasi Papua dari wilayah NKRI.
Baca Juga
Dalam laporan Jakarta Post, pihaknya beserta Veronika Koman mendesak pemerintah Australia guna meninjau situasi HAM di Papua, pasca kunjungan Presiden Jokowi Ke Canberra. Tak hanya itu, Veronika juga menuding operasi militer di wilayah Nduga hanya memberikan penderitaan atas warga disana. Serta menuntut agar pemerintah Indonesia segera menghentikan operasi ini.
Sementara itu, pihak TNI merasa laporan lembaga pemantau hak asasi manusia Amnesty International Indonesia tidak berimbang dan hanya berat sebelah alias memojokkan aparat. TNI juga membantah keras tuduhan mereka atas pembunuhan puluhan warga Papua serta Papua Barat yang tidak pernah diusut. Mereka menyatakan tudingan pelanggaran HAM tersebut adalah fitnah.
Menurut Kepala Penerangan Kodam Cenderawasih, Kolonel Muhammad Aidi, Semua yang terjadi ada sebabnya, yakni separatis yang melawan kedaulatan negara. Dan hal ini adalah penyebab utama.
Menurutnya, korban jiwa tak hanya berasal dari anggota kelompok bersenjata saja. Anggota TNI dan Polri juga turut meregang nyawa atas aksi kekerasan yang kerap mewarnai wilayah tersebut. Selain itu, persoalan utama yang paling mendasar di Papua ialah kelompok separatis bersenjata yang terus meneriakkan kedaulatan negara serta ingin memisahkan diri dari wilayah NKRI. Padahal, negara-negara di seluruh dunia tidak satupun yang membenarkan adanya sekelompok orang memiliki senjata api dengan standar militer secara ilegal, guna merongrong kedaulatan negara, imbuh Aidi.
Ia juga mengeluhkan seringnya kelompok separatis Papua menuding pihak TNI maupun Polri sebagai dalang tewasnya warga tanpa adanya bukti yang kuat. Salah satunya ialah, kelompok separatis menunjukkan dokumentasi korban tewas tanpa dapat membuktikan bahwa aparat keamanan telah terlibat.
Yang mereka gembar-gemborkan hanya menyoroti tentang jatuhnya korban jiwa, namun mereka tidak pernah membahas bagaimana ketika ribuan massa bersenjata panah, golok, tombak bahkan ada yang membawa senjata api menyerang pos aparat keamanan secara brutal, ungkap Aidi.
Tak hanya itu, Aidi juga menyoroti perihal hilangnya dua anggota polisi di Distrik Torere, Kabupaten Puncak ketika mengawal logistik Pilkada serentak pada pekan lalu, yang mana tewas tertembak oleh kelompok separatisme.
Dirinya menyatakan justru pihaknyalah yang jadi korban, mereka bertindak seenaknya saja tanpa norma dan aturan, mereka tak mengenal combatan dan non combatan, warga sipil bahkan anak kecil pun dibantai tanpa ampun, tambah Aidi.
Menjawab tuduhan Amnesty International, Aidi menegaskan bahwa pihaknya telah bertindak berdasarkan kaidah dan kode etik, serta UU yang berlaku sementara. Aidi justru menuturkan, kenapa mereka tidak membahas tentang kekejaman yang dilakukan oleh pihak KKSB baik terhadap aparat negara maupun terhadap warga sipil yang tak berdosa?
Sejalan dengan pernyataan Aidi, Mabes Polri juga meminta Amnesty International Indonesia untuk berlaku lebih berimbang dalam memaparkan data soal pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Hal tersebut menanggapi data Amnesty yang menyebutkan aparat telah mengeksekusi 95 warga sipil di Papua tanpa proses hukum yang jelas.
Mantan Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Setyo Wasisto turut meminta lembaga yang bergerak menyuarakan pengungkapan HAM tersebut untuk membeberkan secara gamblang terkait data terutama perihal anggota polisi yang tewas di Papua. Jika mereka hanya melihat aktivis saja serta mengesampingkan masyarakat dan aparat keamanan disana tentunya hal ini tidak adil, kan. Padahal mereka juga manusia.
Setyo mengklaim tindakan polisi di lapangan telah berdasarkan standar dan operasional prosedur yang jelas. Polisi juga memiliki tugas untuk melindungi harta dan nyawa masyarakat, termasuk harta dan nyawa polisi itu sendiri. Pihaknya juga mengutarakan, bahwa anggota kepolisian di Papua mengutamakan putra daerah. Dengan alasan tersebut, menurut Setyo tidak masuk akal jika polisi sampai membunuh warga setempat tanpa proses hukum yang jelas.
Kendati demikian, Setyo mengatakan polisi tidak akan buka-bukaan terkait anggota polisi yang benar-benar tewas bertugas di wilayah Papua. Dia menyerahkan Amnesty International Indonesia guna merilis data tersebut. Agar hal ini terlihat fair.
Benar adanya, playing victims yang Amnesty International serta Veronika Koman lakukan. Mereka hanya menyoroti korban saja, tanpa menjelaskan secara rinci apa yang menimpa aparat keamanan saat bertugas disana. Apa yang dilakukan oleh para kelompok separatis terhadap TNI/Polri maupun warga. Apa sudah lupa jika kelompok berhaluan kiri tersebut secara membabi buta membunuh, membakar rumah warga, menyiksa warga tanpa pandang bulu. Termasuk terang-terangan menyatroni pos polisi / TNI dan menyerang secara brutal. Bukankah seharusnya, kasus-kasus tersebut juga harus dibeberkan, agar semua adil. Sehingga tidak terkesan memojokkan pemerintahan dan aparat keamanan. Mengingat mereka ini juga manusia.