Hoax: Racun Penghambat Pembangunan Nasional dan Perusak Pesta Demokrasi

Oleh : Safri Sebastian Sihombing

Tahun politik merupakan tahun yang penuh dengan warna warni informasi yang bertebaran di kalangan masyarakat. Tidak heran memasuki tahun politik banyak berita hoax yang tersebar di kalangan masyarakat, baik secara online maupun offline. Indonesia merupakan salah satu Negara yang memiliki persebaran berita hoax yang relatif cepat dan meluas khususnya melalui media sosial yang ada. Berdasarkan data Kemenkominfo menyebutkan bahwa ada sekitar 800.000 situs di Indonesia yang telah terindikasi sebagai penyebar informasi palsu. Angka tersebut tidak heran bila dibandingakan dengan jumlah penggunaan media sosial di Indonesia. Laporan We Are Social mengungkapkan bahwa total populasi Indonesia mencapai 265,4 juta jiwa, sedangkan pengguna internetnya setengah dari populasi, yakni sebesar 132,7 juta. Hasil penelitian dari UNESCO menyimpulkan bahwa 4 dari 10 orang Indonesia aktif di media social. Platform medsos yang paling digandrungi oleh orang Indonesia, di antaranya YouTube 43%, Facebook 41%, WhatsApp 40%, Instagram 38%, Line 33%, BBM 28%, Twitter 27%, Google+ 25%, FB Messenger 24%, LinkedIn 16%, Skype 15%, dan WeChat 14%. (Kemenkominfo 2018).

Pada tanggal 17 April 2019 Indonesia akan melaksanakan pesta demokrasi atau pemilu untuk memilih pemimpin negara dan wakil rakyat Indonesia.  Pemilu ini merupakan pesta demokrasi pertama di Indonesia yang serentak menggabungkan dua pemilihan pemimpin sekaligus. Sejak masa kampanye yang sudah diberikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mulai banyak berita-berita hoax yang muncul di media yang ada. Umumnya para pelaku atau mafia hoax melontarkan berita dengan tujuan untuk menaikkan elaktibilitas calon pemimpin yang diusungnya dengan cara melanggar aturan atau dengan cara ngaur. Media sosial menjadi alat yang paling ampuh digunakan oleh pelaku mafia hoax sebagai penyebar berita ngaur.

Baca Juga

Berita hoax akan merusak pesta demokrasi bangsa Indonesia, akibatnya akan terpilih pemimpin yang tidak berkompeten. Tidak jarang media sosial dijadikan alat oleh warganet untuk menyebarkan isu SARA yang dapat mengakibatkan perpecahan dan disintegrasi sosial di tahun politik 2019 sekarang ini. Sayangnya warganet yang ada kebanyakan tidak dapat mempergunakan atau mengkontrol jemarinya dengan baik untuk mendukung pembangunan nasional berkelanjutan di Indonesia. Demonstrasi besar-besaran terjadi di media sosial. Kedua belah pihak saling beradu kekuatan dalam kontestan politik.

Hal yang paling sangat disayangkan menjelang pesta demokrasi pada bulan April adalah dihalalkannya kampanye hitam (black campaign) hanya untuk kepentingan politik. Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menetapkan waktu kampanye mulai 23 September 2018-13 April 2019. Tahapan kampanye seharusnya menjadi sarana pendidikan bagi pemilih. Namun pada faktanya, selama kira-kira 4 bulan lebih pelaksanaan kampanye, narasi kampanye dipenuhi ujaran kebencian, hoax, fitnah, kampanye hitam, dan perdebatan sangat minim data. Saat ini jargon dan kampanye politik bukan lagi bersifat adu program, tetapi menonjolkan politik identitas dan SARA.

Indonesia merupakan negara yang menganut sistem kebebasan dalam berpendapat baik secara langsung maupun tidak langsung. Akan tetapi sistem kebebasan berpendapat di Indonesia juga memiliki etika dan aturan yang berlaku. Bila kita bercermin dengan negara asing yang lebih maju dibandingkan negara kita, maka kita dapat melihat bahwa negara kita masih sibuk dengan istilah mencari MASALAH. Konsep pemikiran di negeri Surga ini masih terpenjara dari dulu sampai saat ini. Padahal pembangunan nasional suatu bangsa hanya akan tercapai bila terlahir pemimpin yang benar-benar kompeten dan berintegritas.

Coba kita membayangkan bila pesta demokrasi yang akan datang akan menghasilkan pemimpin yang menang hanya karena mempermainkan arena politik dengan cara menyebarluaskan  berita hoax di kalangan masyarakat. Maka pemimpin yang terpilih tidak berkompeten dan kualifive dengan jabatan yang didudukinya. Dengan demikian tidak heran bila kita melihat di media bahwa banyak anggota dewan yang hanya tidur saja di meja persidangan. Berita hoax biasanya akan menyerang kaum millennials terlebih dahulu. Padahal jumlah pemilih pemula dan muda pada pemilu 2019 mencapai kisaran 14 juta. Angka yang besar bakal mempengaruhi para calon legislatif dan calon presiden untuk bisa merebut hati para pemilih muda. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat ada 5.035.887 orang pemilih pemula pada Pemilu 2019. Data ini masuk dalam Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4).

Pembagunan nasional akan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemandirian ekonomi suatu bangsa. Seperti halnya pada saat pemerintahan Jokowi-JK selama beberapa tahun sangat berfokus terhadap pembangunan nasional. Beberapa tahun memimpin bangsa Indonesia pemerintah sangat berfokus tehadap pertumbuhan produktivitas bangsa. Salah satu alternatiif ampuh yang sudah direalisasikan oleh pemerintahan Jokowi-JK adalah pembangunan infrastruktur dan pembangunan Sumber Daya Manusia. Hasilnya beberapa tahun belakangan ini perekonomian negara kita stabil dan diprediksikan akan menguat beberapa tahun yang akan datang. Saat ini Indonesia sudah mendapat pengakuan internasional sebagai negara investasi layak.  Hal ini berarti bahwa negara lain melihat bahwa stabilitasi perekonomian dan keberlanjutan keberhasilan pembangunan nasional kita terpercaya dan aman.

Pemilihan umum pada bulan April yang akan datang diharapkan dapat berjalan dengan baik dan menghasilkan pemimpin yang benar-benar empati terhadap pembangunan nasional dan bukan sekedar pemimpin abal-abal. Maka dengan itu untuk menyukseskan pesta demokrasi di bulan yang akan datang  diperlukan kerjasama dari semua stakeholder yang terlibat. Mari kita kawal bersama-sama politik bangsa ini agar terlahir pemimpin yang berkompeten yang akan menyukseskan pembangunan nasional bangsa Indonesia. Hoax sudah lagu lama, budayakan kebenaran dan kejujuran.  Salam perubahan menuju substainable development goals.

 

Related Posts

Add New Playlist