Oleh : Akbar Maulana
Masyarakat Indonesia semestinya patut berbanga dan bergembira, sebab dalam beberapa sektor, perjalanan demokrasi di negara ini semakin baik. Sistem pemilihan secara langsung lambat laun juga mengalami pembenahan. Masyarakat semakin cerdas serta pers memiliki kebebasan yang terbuka untuk mengawal demokrasi yang tentunya patut disyukuri.
Kemajuan ini tentu dapat menjadi modal dalam menyambut Pemilu 2019. Dimana dalam pesta demokrasi tersebut diharapkan menjadi perhelatan kontestasi politik yang aman dan damai. Selain itu pemilu juga tidak hanya mengedepankan prosedural, tapi juga pada hasil yang berkualitas.
Pada kontestasi seperti pilpres ataupun pilkada, konflik antarkandidat masih sering terjadi dan hal ini melibatkan pendukung baik di dunia nyata seperti intimidasi oleh simpatisan gara – gara berbeda kaos, maupun intimidasi di dunia maya yang sering diwarnai dengan berita hoax maupun upaya delegitimasi KPU sebagai lembaga independen.
Model kampanye hitam juga masih sering ditemukan dalam setiap pelaksanaan pesta demokrasi. Mulai dari politisasi masjid hingga penyebaran ujaran kebencian, serta berita hoax yang santer mewarnai jagat dunia maya. Permasalahan tersebut memang tak mudah untuk dihindari, terutama dalam hal politisasi agama dimana sentimen agama merupakan topik yang mudah digoreng untuk disebarkan kepada khalayak. Oleh karena itu, dibutuhkan pemilahan antara seruan moral agama dalam hal kepemimpinan dan pemanfaatan agama dalam kepentingan politik sesaat. Maka, para tokoh Agama juga perlu menyadari hal ini serta mewaspadai akan adanya upaya politik praktis yang dibalut dalam materi dakwah.
Tokoh masyarakat maupun tokoh agama tentu berperan penting dalam penguatan demokrasi yang substansial, bukan sebaliknya yang menggerus demokrasi dengan ujaran kebencian di tempat ibadah. Upaya menjual ayat ataupun hadis untuk memenangkan calon tertentu, merupakan hal yang harus dihindari oleh para tokoh agama. Sebab cara seperti itu hanya akan memperkeruh jalannya demokrasi di Indonesia.
Politisasi agama serta penyebaran berita bohong hanya akan menjauhkan demokrasi dari nilai – nilai kedamaian, karena hal tersebut berpotensi menimbulkan gesekan sosial bagi para pendukung maupun simpatisan salah satu paslon. Dampak terburuknya justru akan membuat umat terpecah belah. Padahal sejatinya, pemilu diselenggarakan demi melahirkan pemimpin berkualitas dan menciptakan demokrasi yang baik.
Pemilih yang cerdas tentu memiliki peran penting dalam upaya terwujudnya demokrasi di Indonesia. Pemilih yang cerdas akan serta merta memilih sesuai hati nurani bukan karena uang atau intimidasi. Sejatinya pemilu merupakan sarana untuk menyeleksi calon pemimpin yang kredibel. Dengan begitu, kualitas calon pemimpin sangat ditentukan oleh proses pemilu. Oleh karena itu, penting adanya bagi masyarakat untuk memilih calon pemimpin yang dipandang kredibel, tentu masyarakat tidak boleh golput, karena hal tersebut hanya akan menguntungkan bagi calon yang tidak kredibel.
Baca Juga
Perilaku golput biasanya dilakukan oleh orang yang kritis yang memandang bahwa dalam pemilu tidak ada calon yang dianggapnya kredibel. Padahal golput hanya akan memberikan peluang bagi pihak yang kurang kompeten untuk memenangkan pemilu. Potensi akan terjadinya intimidasi saat 17 April 2019 kelak memang patut diwaspadai. Oleh karena itu Ketua Pimpinan GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas menghimbau kepada seluruh kader Anshor dan Banser untuk menciptakan Pemilu Damai dengan gerakan Rabu putih. Gerakan ini merupakan langkah dari Ansor untuk merespons adanya kelompok yang diduga akan melakukan intimidasi saat jelang pemungutan suara 17 April Mendatang.
GP Ansor telah berkoordinasi dengan TNI maupun Polri. Secara teknis, ketika di lapangan menemukan adanya intimidasi dari pihak tertentu, maka Banser akan berkoordinasi dengan aparat.
“Pada seluruh kader itu, kita sudah bagi tugas dengan sistem layer. Yaitu ada Banser yang memakai seragam bertugas membantu aparat TNI – POLRI menjaga keamanan, sedangkan yang tak berseragam mereka memakai baju putih bertugas mengajak calon pemiluh untuk ke TPS dengan memakai baju putih,” ungkapnya.
Oleh karena itu masyarakat tidak perlu takut untuk memberikan hak pilihnya, justru yang lebih menakutkan adalah ketika angka golput akan memberikan kemenangan kepada calon pemimpin yang mudah marah, tidak kredibel dan di-backingi ormas Islam konservatif untuk memimpin Indonesia 5 tahun ke depan.