Golongan Menengah Inisiatif Melawan Hoax

Demokrasi menjadi landasan bernegara sebagian besar Negara di dunia saat ini. Diangkat dari kehidupan yang berkembang di Yunani, demokrasi menjadi pilihan banyak Negara untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadilan. Secara substansial, Abraham Licoln mengatakan bahwa demokrasi adalah suatu pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Dalam pengertiannya, Philipp C. Schmitter mengartikan demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakannya di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan wakil-wakil mereka yang telah terpilih.

Namun, menerapkan sistem demokrasi pada realitasnya bukanlah hal yang mudah dan sederhana. Demokrasi dipahami sebagai salah satu bentuk pemerintahan yang berakar pada klasifikasi Aristoteles yang dibuat berdasarkan jumlah dan sifat pemegang kekuasaan. N.D. Arora dan S.S. Awasthy juga menyatakan bahwa demokrasi dalam bahasa Yunani Kuno berarti bentuk pemerintahan oleh suatu populasi yang berlawanan dengan kelompok kaya dan para aristokrat. Demokrasi merupakan kekuasaan oleh orang biasa, yang miskin dan tidak terpelajar, sehingga Aristoteles sendiri menempatkan demokrasi sebagai sistem yang buruk (Janedjri, 2013: 14).

Ada suatu makna tersirat yang terkandung didalamnya, bahwa kehidupan Negara demokrasi harus ditopang oleh tingkat pendidikan masyarakatnya. Masyarakat yang terpelajar atau berpendidikan tidak secara otomatis dianggap sebagai masyarakat aristokrat, tetapi bagaimana pendidikan tersebut membangun kesadaran masyarakat tentang tujuan bernegera. Kehidupan demokrasi akan berjalan dengan baik ketika tingkat kesadaran dan pendidikan masyarakatnya tinggi, tidak mudah dipermainkan oleh pemimpinnya atau bahkan wakilnya di pemerintahan.

Baca Juga

Hal ini menjadi penting karena pemilihan umum sebagai salah satu aspek yang harus ada dalam demokrasi menjadi momentum para calon pemimpin dan calon wakil rakyat di pemerintahan menggalang dukungan. Disinilah celah para calon pemimpin dan calon wakil rakyat di pemerintahan untuk menggalang dukungan tanpa melakukan pencerdasan kepada masyarakat. Mereka mendahulukan kepentingan pragmatisnya untuk mendulang suara sebanyak mungkin. Lantas, pemilu menjadi suatu hal yang krusial yang harus disikapi dengan matang dalam kehidupan demokrasi.

Pemilihan umum sebagai konsekuensi logis dari kehidupan Negara yang menganut sistem demokrasi. Sistem yang memberikan ruang sebesar-besarnya partisipasi masyarakat terutama dalam suksesi kepemimpinan, baik nasional maupun daerah. Pemilihan umum atau yang disingkat Pemilu, membuka dan memenuhi hak warga negaranya untuk memilih dan dipilih. Tak asing lagi di telinga bahwa pemilu disebut sebagai pesta demokrasi.

Indonesia menjadi salah satu Negara yang penuh dengan rangkaian pesta demokrasi, baik skala nasional maupun daerah. Sudah sejak tahun 1955 Indonesia melaksanakan pemilu hingga tahun 2019 ini. Keberjalanan pemilu di Indonesia bukan tanpa masalah dan tantangan, justru bentuk dari pemilu itu sendiri berubah-ubah mengikuti kebijakan yang berlaku di masing-masing zaman. Beragam buku ditulis dan mengulik tentang sejarah pemilu di Indonesia beserta permasalahannya. Bahkan pemilu tahun 2019 ini memiliki tantangan tersendiri dalam keberjalanannya, dari mulai pro kontra presidensial threshold, masalah kotak suara kardus, polarisasi politik hingga perang media sosial dan penyebaran informasi bohong yang dikenal dengan sebutan hoax.

Sejarah pemilu di Indonesia dimulai sejak tahun 1955, diadakan dua kali berdasarkan amanat UU No.7 Tahun 1953. Kedua pemilu tersebut dibedakan dalam tujuannya, yang pertama untuk memilih anggota DPR, dan yang kedua untuk memilih anggota dewan konstituante. Kemudian pemilu tahun 1971 menjadi pemilu pertama sejak Orde Baru berkuasa, untuk memilih anggota DPR. Sejarah panjang Orde Baru didalamnya memuat beberapa pelaksanaan pemilu hingga tahun 1997. Mulai tahun 1977 hingga tahun 1997 ini, menampilkan wajah pemilu yang membuat terjadinya ketidakpercayaan di tengah masyarakat. Pasalnya pemilu sepanjang tahun itu dimanfaatkan untuk diplomasi politik Soeharto, sehingga ia bisa terus berkuasa hingga akhirnya mengundurkan diri tahun 1998 setelah mendapat desakan.

Pemilu tahun 1999 menjadi pemilu pertama yang dilaksanakan pasca reformasi, dilakukan secara serentak di seluruh Indonesia. Momentum pemilu tahun 1999 membuka kembali masyarakat Indonesia untuk berpastisipasi langsung dalam pelaksanaan pemilu hingga pemilu-pemilu berikutnya. Akan tetapi, pesta demokrasi era Reformasi ini juga mulai mendapat kritik tajam, terutama mulai tahun 2014 hingga tahun 2019, terjadi polarisasi politik yang kuat dalam kehidupan masyarakat.

Pemilu tahun 2019 yang sedang dilaksanakan dalam prosesnya mengalami hal yang berbeda. Pasalnya, peran media sebagai salah satu wadah untuk kampanye menggalang dukungan meningkat. Timses dari kedua pasangan calon sama-sama menerapkan pentingnya kampanye media. Tentunya ini menjadi hal positif dalam menyambut kehadiran media sosial yang kian digemari oleh masyarakat. Tetapi, dipakainya media untuk kampanye dan menggalang dukungan di satu sisi memunculkan efek negatif.

Penyebaran berita hoax dirasakan sangat meningkat tajam dalam proses pemilu tahun 2019 ini. Banyak isu miring yang tersebar yang tidak sesuai dengan kebenaran. Bermaksud untuk menjatuhkan lawan, maka dilakukan berbagai macam cara. Data dalam laman Kemenkominfo menyatakan bahwa ada sekitar 800.000 situs di Indonesia yang telah terindikasi sebagai penyebar info palsu.

Kemudian selain Kemenkominfo, beberapa data juga mengungkap persoalan hoax. Dailysocial.id yang bekerja sama dengan Jakpat Mobile Survey Platform melalui 2032 pengguna smartphone memberikan data hasil surveynya. Dalam datanya dikatakan biasanya mereka menerima hoaxmelalui Facebook, Whatsapp, dan Instagram sebagai tiga media sosial teratas. Kemudian hasil survey juga memuat tentang tanggapan mereka (responden) dalam mendeteksi hoax, yaitu sebanyak 24, 80% menyatakan mudah, 31.00% menyatakan sulit, dan 44,19% menyatakan not sure. Terakhir, data menyebutkan bahwa 53,25% responden sering menerima berita hoax, 45,08% kadang-kadang, dan 1,67% tidak pernah.

Data yang ada cukup menandakan pergerakan berita hoax yang sedang melanda perputaran informasi dan komunikasi masyarakat di Indonesia, ditambah momentum 2019 merupakan tahun politik bagi Indonesia. Namun kesadaran dan upaya masyarakat Indonesia untuk melawan hoax cukup massif, terutama dalam hal ini yang berperan penting adalah golongan menengah. Mereka aktif menentang penyebaran berita hoax melalui gerakan, platform, komunitas, dan media kreatif sebagai counter terhadap berita hoax.

Salah satunya ada gerakan bernama Masyarakat Indonesia Anti Hoax yang menggandeng unsur akademisi, public figure, serta netizen. Masyarakat Indonesia Anti Hoax melakukan deklarasi untuk melawan penyebaran berita hoax. Kominfo sendiri melakukan langkah dengan Sosialisasi Literasi Cerdas Bermedia Sosial. Selain itu kataindonesia.com pun menjadi bagian dari garda depan melawan hoaks di Indonesia, melakukan gerakan-gerakan kreatif yang mengundang partisipasi masyarakat luas. Melalui gerakan yang digagas oleh golongan menengah ini, merupakan langkah maju membangun kesadaran masyarakat dalam memperkuat posisinya. Sehingga pemilu menjadi pesta demokrasi yang mencerdaskan, berkualitas, bermartabat, dan fokus pada substansi yaitu keberlanjutan pembangunan nasional.

Related Posts

Add New Playlist