Oleh : Raditya Rahman (Pengamat Sosial Politik)
Pada setiap Zaman, tentu memiliki tantangan dan jawabannya masing – masing. Demikian juga dengan produk hukum berupa peraturan perundang – undangan. Regulasi yang sudah obsolete harus diganti dengan yang lebih kekinian.
Hal itulah yang terjadi pada undang – undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Salah satu perumus utama UU KPK Prof Romli Atmasasmita bersama dengan almarhum Adnan Buyung Nasution, mengatakan bahwa saat ini tiba saatnya untuk merevisi undang – undang tersebut guna menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
UU KPK tentu harus disempurnakan agar KPK sebagai lembaga antirasuah menjadi semakin modern dan dapat memenuhi tuntutan tugas yang diamanatkan rakyat Indonesia yang sudah muak dengan pejabat yang korup.
Baca Juga
Pemerintah dan DPR telah mengesahkan UU KPK hasil revisi pada hari selasa 24 September 2019. Namun ternyata kemudian hal tersebut mendapatkan protes hingga berdampak pada aksi demonstrasi yang tak berkesudahan dari beberapa kalangan masyarakat.
Upaya Revisi UU KPK justru dianggap melemahkan kinerja KPK, yang paling disorot adalah keberadaan Dewan Pengawas dan kewenangan untuk menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Kita harus memahami bahwa dewan pengawas KPK jelas berbeda dengan Komisi Yudisial yang mengawasi lembaga peradilan, Komisi Kejaksaan yang mengawasi lembaga kejaksaan dan Komisi Kepolisian Nasional Yang mengawasi Kepolisian Negara. Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan dan Kompolnas adalah lembaga pengawas eksternal, sedangkan Dewan Pengawas KPK adalah pengawas internal, yang merupakan bagian dari KPK itu sendiri.
Jadi secara kelembagaan, KPK masih tetap independen. Sementara itu kewenangan menerbitkan SP3 dimaksudkan sebagai penyempurnaan terhadap UU KPK yang berlaku saat ini, yang tentunya tidak memiliki klausul penerbitam SP3.
Tanpa adanya kewenangan penerbitan SP3, seseorang yang telah ditetapak sebagai tersangka akan tetap pada status tersebut sampai kapanpun, tanpa batas waktu meskipun kemudian sangkaan tersebut tidak didukung oleh bukti – bukti yang valid.
Bisa jadi tersangka yang telah meninggal duniapun akan tetap membawa status tersebut sampai ke liang lahat dengan nama terpampang di batu nisan. Satu hal yang melanggar hak asasi manusia, dan yang lebih penting, kewenangan tersebut bersifat opsional. Bukan merupakan kewajiban, sehingga bisa saja digunakan ataupun tidak digunakan, tergantung pada urgensi hukum yang menghendaki pada saat itu.
Meski ada pihak yang berpendapat bahwa revisi UU KPK dapat melemahkan wewenang, Namun, Forum Lintas Hukum Indonesia (FLHI) justru mendukung dengan alasan supaya KPK tidak menyalahgunakan wewenang dalam menjalankan tugasnya.
Sekretaris FLHI, Serfasius Serbaya Manek, mengatakan salah satu gambaran UU 30 Tahun 2002 adalah adanya dugaan abuse of power, dimana ada kewenangan hukum yang melangkahi hak – hak dasar seseorang.
Serfasius juga mendorong agar DPR dan Pemerintah tetap bersinergi dalam melanjutkan revisi tersebut. Dirinya beralasan, bahwa UU KPK yang sudah berusia 17 tahun tersebut tidak menghormati hak – hak hukum terduga pelaku tindak pidana korupsi.
Hal tersebut diangga bertentangan dengan praktik hukum pidana yang berlaku di dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara (KUHAP).
Nyatanya undang – undang tersebut tidak menyebutkan mekanisme Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3), sehingga KPK seolah – olah melangkahi azas praduga tak bersalah yang semestinya diemban tersangka kasus pidana.
Bahkan, jika tersangka terbukti tidak melakukan korupsi, barang bukti yang sudah disita pun tak dapat dipulihkan secara perdata.
Tidak hanya itu, Undang – undang yang berlaku saat ini juga tidak mengatur manajemen penanganan perkara. Sehingga, dari kaca mata hukum acara, manajemen penanganan perkara oleh KPK masih terkesan eksklusif.
Di dalam aturan hukum formil, pengacara bisa memeriksa hak – hak klien yang menjadi tersangka tindak pidana korupsi. Namun, karena UU tersebut tidak mengatur mekanismenya, maka KPK membatasi informasi perkembangan suatu kasus.
Selain itu, tidak adanya beberapa ketentuan hukum pidana di dalam UU KPK tersebutm justru berdampak pada aturan yang inkonsisten. Dimana tersangka seolah – olah tidak memiliki kepastian hukum, apabila kita merujuk pada pasal 5 UU tersebut, maka KPK harus berazaskan kepastian hukum dalam menjalankan tugas dan wewenang.
Sehingga perlu kiranya UU KPK direvisi karena masih ada hal – hal yang tercecer dan belum dimasukkan ke dalamnya, padahal undang – undang ini telah berjalan selama 17 tahun.