KBRI Singapura telah menyelenggarakan Forum Dialog Diplomasi Kebangsaan: Upaya Memahami dan Mencegah Radikalisme di Ruang Riptaloka KBRI Singapura. Forum Dialog menghadirkan Prof. Irfan Idris, Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan Dr. Noord Huda Ismail, Visiting Fellow S. Rajaratnam School of International Studies.
Dubes RI Singapura, Ngurah Swajaya, dalam sambutannya menyampaikan bahwa salah satu prioritas politik luar negeri Indonesia adalah diplomasi kedaulatan dan kebangsaan. Diplomasi kebangsaan ditujukan menumbuhkan dan memperkuat rasa kebangsaan untuk mengisi kemerdekaan. Dubes RI menegaskan bahwa ancaman terorisme dan radikalisme adalah hal yang serius dan pada tahun 2019 terdapat tiga PMI ditahan atas tuduhan membantu terorisme, karena telah mengirimkan sejumlah uang kepada organisasi terkait terorisme. Dubes RI mengingatkan bahwa Pemerintah Singapura sangat serius dalam menangani isu radikalisasi. Masyarakan dihimbau agar selalu waspada terhadap paparan radikalisasi dan menjalin komunikasi dengan KBRI . “KBRI terbuka untuk melayani dan melindungi masyarakat, termasuk ketika masyarakat membutuhkan informasi,“ ujarnya.
Prof. Irfan Idris memulai paparannya dengan menyatakan bahwa, “semua teroris itu radikal tapi tidak semua yang radikal itu adalah teroris.” Dijelaskan bahwa BNPT menggunakan empat istilah yaitu radikal (berpikir hingga ke akarnya), radikalisasi (proses menjadi radikal), radikalisme (merubah keadaan dengan radiks, secara cepat, dengan memaksakan kehendak dan mengatasnamakan agama, serta menggunakan kekerasan), dan terorisme (membahayakan yang mengancam keutuhan bangsa Indonesia). Disampaikan pula bahwa orang yang radikal itu tidak memiliki kriteria fisik sebagaimana yang selama ini orang ketahui seperti berjenggot dan menggunakan celana cingkrang.
Baca Juga
Prof. Irfan Idirs juga memaparkan kategorisasi teroris oleh BNPT yang terdiri dari simpatisan yaitu masyarakat yang intoleran dan tidak loyal; pendukung yakni masyarakat yang memberi dukungan terhadap aktifitas terorisme seperti dukungan dana, bahan baku, sarana dan prasarana, serta tempat latihan; militan yaitu kelompok yang melakukan aktifitas kekerasan, pengebom, terlatih dan memiliki kemampuan menyerang; serta inti (hardcore) yaitu pemimpin ideologis, pimpinan organisasi yang biasanya memiliki kharisma yang besar. DItegaskannya dalam memahami radikalisasi ataupun radikalisme masyarakat perlu berkomunikasi untuk menghindari salah pemahaman dan kemudian menerima paham yang menyesatkan.
Dalam Forum Dialog, Dr. Noor Huda memberikan pandangan dari latar belakang Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Singapura yang dipandang rentan terpapar paham radikal terutama masalah sosial yang dihadapi dan beralih ke media sosial sebagai pelariannya. “Perlu pendekatan baru yaitu digital literacy, “usulnya. Selain itu, Dr. Noor Huda juga mengusulkan perlunya calon PMI diberi pemahaman terhadap ancaman radikalisasi dan bagaimana menghadapinya pada saat pembekalan sebelum datang ke Singapura. Dr. Noor Huda juga mendorong lebih banyak forum dialog dan pertemuan masyarakat Indonesia khususnya PMI di Singapura.
Terorisme dan radikalisme merupakan tindak pidana yang menjadi ancaman yang disikapi secara serius oleh Pemerintah Singapura yang menerapkan peraturan dan hukum yang ketat terhadap segala bentuk aktivitas terkait radikalisme dan terorisme. Berdasarkan Singapore Terrorism Threat Assessment Report 2019, tahun 2015-2018 terdapat 14 Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang dipulangkan karena tuduhan radikalisme. Pada tahun 2019 tercatat empat orang PMI ditangkap berdasarkan Internal Security Act dengan tuduhan dukungan terhadap terorisme. Satu di antaranya dipulangkan, sementara tiga PMI ditahan. Forum Dialog ditujukan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif kepada masyarakat tentang isu radikalisme, khususnya peran yang dapat dilakukan oleh seluruh masyarakat Indonesia di Singapura dan KBRI Singapura dalam upaya pencegahan maupun kontra radikalisme.