Oleh : Dodik Prasetyo
Langkah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menerbitkan Nomor Izin Edar (NIE) untuk obat herbal Herbavid-19 membingungkan publik. Masyarakat pun mencurigai cepatnya penerbitan NIE dan efektivitas Herbavid-19 karena hingga saat ini belum teruji mampu menyembuhkan pasien Covid-19.
Untuk mengatasi corona, maka pasien diberi obat khusus oleh dokter. Biasanya chloroquine atau kombinasi obat yang lain. Namun sayang ada sebagian masyarakat yang lebih percaya jamu daripada obat. Padahal corona adalah penyakit berbahaya yang pengendalian virusnya harus dengan obat sesuai dosis dan anjuran dokter.
Baca Juga
Baca juga: Tonton Pertandingan Bola, Deputi BIN Cek Penerapan Prokes di Bali
Ketika pasien yang dirawat di Wisma Atlet mendapat jamu Herbavid, mereka bingung. Pun dokter dan tenaga medis di sana juga bingung, mengapa tiba-tiba ada pembagian jamu secara gratis. Ternyata hal ini adalah nazar dari seorang pejabat. Ketika ia sembuh dari corona, berniat membagikan jamu tersebut kepada para pasien yang masih dirawat.
Sayangnya jamu itu jadi kontroversi karena dalam bungkusnya tidak tertulis bahasa Indonesia. Berarti jamu ini adalah barang impor yang masih diragukan khasiatnya, apalagi belum ada izin BPOM. Anehnya ketika diprotes akan hal itu, tiba-tiba nomor BPOM jamu keluar hanya dalam waktu 3 hari. Apakah ada kongkalikong dengan orang dalam?
Karena kenyataannya, izin BPOM suatu produk obat, makanan, dan minuman baru bisa keluar dalam waktu 6 hingga 9 bulan. Mayagusnita Andarini, Deput Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik, ada beberapa kebijakan dalam mengeluarkan izin BPOM. Dalam kasus ini, namanya izin darurat.
Walau namanya izin darurat tetap ada keanehan dalam kasus ini. Karena kombinasi obat corona hasil penelitian dari tim ilmuwan Universitas Airlangga, belum keluar izin resminya. Padahal obat ini sangat baik untuk mengobati pasien covid dan sudah jelas legal. Bagaimana bisa izin BPOM untuk jamu lebih cepat keluar daripada obat yang sudah terbukti keampuhannya?
Seharusnya pihak yang mengurus perizinan paham bahwa saat ini adalah masa darurat akibat pandemi covid-19. Jangan hanya jamu yang diberi izin, mentang-mentang diberi oleh seorang pejabat. Namun seharusnya yang didahulukan izin resminya adalah obat yang sudah jelas keampuhannya dan terpercaya, karena diteliti oleh para ahli dari Unair.
Para tenaga medis tentu lebih percaya obat daripada jamu. Karena jamu memang terbuat dari herbal yang berkhasiat. Namun jamu yang diklaim anti corona ternyata hanya berfungsi untuk meningkatkan daya tahan tubuh, karena terbuat dari 11 bahan. Ada 3 bahan yang didapatkan dari luar negri sehingga takutnya akan terjadi ketergantungan harus mengimpor.
Selain itu, jamu tersebut memang berkhasiat. Namun itu untuk pasien corona yang dirawat di luar negeri. Belum tentu herbal dalam jamu tersebut bisa cocok dengan orang Indonesia, karena ada perbedaan cuaca. Selain itu, bisa saja jens virus covd-19 yang ada di sana dan di Indonesia berbeda, sehingga cara penyembuhan dan obatnya juga berbeda.
Jika Anda sehat, maka jangan minum jamu sembarangan. Karena konsumsinya harus sesuai dosis. Jika berlebihan akan bahaya bagi ginjal. Ketika tubuh merasa pusing, demam, dan kehilangan indra penciuman, segera ke RS untuk tes swab. Jangan malah isolasi mandiri dan hanya minum jamu. Perawatan di Rumah Sakit tentu di bawah pengawasan nakes, sehingga lebih cepat sembuh.
Pemasalahan jamu vs obat bukan karena persaingan bisnis. Namun ada ketidak adilan ketika obat yang sudah berhasil diteliti oleh para ilmuwan, belum juga mendapatkan izin edar resmi. Sementara jamu yang harus impor, izin BPOM-nya keluar dalam waktu 3 hari saja. Jangan lagi ada kecurangan karena akan berbahaya bagi pasien corona.
Penulis aktif dalam Lingkar Pers dan Mahasiswa Jakarta