Oleh : Jelita Chantiqa
Pelaksanaan pemilu dan pilkada serentak tinggal 2 tahun lagi, terdapat 271 Kepala Daerah yang akan mengisi jabatan Pj Gubernur, Pj Bupati, Pj Walkot hingga terpilihnya definitf pada November 2024, akan banyak potensi pelanggaran yang mungkin timbul terkait netralitas ASN pada Pemilu dan Pilkada serentak 2024. Potensi abuse of power tersebut akan terjadi ketika ASN yang akan ditunjuk untuk mengisi jabatan sementara Kepala Daerah.
Berdasarkan data Bawaslu, pelanggaran netralitas ASN pada Pilkada 2020 sebanyak 1.038 kasus dengan rincian 934 temuan Bawaslu dan 104 laporan masyarakat. Sedangkan 938 kasus telah ditindaklanjuti KASN dengan mengeluarkan rekomendasi, 5 kasus telah diproses dan 95 kasus bukan pelanggaran. Beberapa bentuk pelanggaran ASN diantaranya mempengaruhi warga dengan politik uang untuk memilih paslon tertentu dan melarang/menghalangi pemasangan alat peraga kampanye paslon tertentu, penggunaan fasilitas dan anggaran negara, mempengaruhi perangkat desa untuk berpihak kepada paslon tertentu, menyalahgunakan kewenangan dalam merencanakan program dan distribusi bantuan sosial. Selain itu terlibat sebagai tim kampanye atau tim sukses paslon, membuat kebijakan dalam bentuk surat keputusan, dan menggerakkan struktur birokrasi/ mempengaruhi/ mengintimidasi para pegawai bawahan di jajarannya.
Pemilu Tahun 2024 akan cukup rumit untuk dihadapi karena ada Pemilihan Presiden, DPR RI, DPR Provinsi serta DPD Kabupaten/Kota. Pemerintah telah membentuk Komite Aparatur Sipul Negara (KASN) yang bertugas menjaga netralitas ASN, melakukan pengawasan dan pembinaan profesi ASN dan melaporkannya kepada Presiden. Keberadaan KASN yang dibentuk tahun 2015 belum mampu secara maksimal untuk menjaga netralitas KASN, meskipun telah membangun syitem pengawasan yang bersifat represif.
Sistem demokrasi yang berlangsung di Indonesia belum mampu mendorong reformasi birokrasi secara substansi. Disamping itu, sistem politik yang berlaku menelan biaya yang sangat tinggi. Kepala Daerah memiliki kewenangan dan kekuasaan dalam mengelola sumberdaya ASN, termasuk memobilisasi dukungan pegawai ASN yang mempunyai kewenangan atas anggaran dan aset negara/daerah. Hal ini menyulitkan pegawai ASN untuk bersikap netral.
Regulasi mengenai netralitas pegawai ASN sudah relatif cukup banyak dan jelas, namun di tataran implementasi kebijakan banyak sekali kelemahannya. Sistem pemerintahan dan politik di Indonesia mengakibatkan birokrasi tidak dapat bergerak secara profesional. Pengawasan yang sangat lemah mengakibatkan pelanggaran netralitas ASN tidak ditindak secara tegas. Pengawasan terhadap ASN saat ini dilakukan oleh KASN, dengan melibatkan beberapa K/L terkait, diantaranya yaitu Kemenpan RB terhadap aspek perumusan dan penetapan kebijakan, Bawaslu, Kemendagri dan BKN serta Ombudsman RI.
Terdapat beberapa faktor penyebab ASN tidak bersikap netral antara lain ingin mendapatkan/ mempertahankan jabatan, hubungan primordial, ketidakpahaman ASN terhadap regulasi berkaitan dengan netralitas. Padahal sosialisasi terkait peraturan tersebut telah dilakukan oleh KASN bekerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian PAN-RB, dan Bawaslu sejak tahun 2016, namun masih banyak pegawai ASN yang belum memahami ketentuan yang ada karena tidak disosialisasikan kembali di internal instansinya. Faktor lainnya seperti adanya tekanan dari atasan, rendahnya integritas ASN, anggapan ketidaknetralan adalah sebagai hal lumrah, dan sanksi yang diberikan tidak menimbulkan efek jera.
Sistem pengawasan terhadap pelanggaran netralitas ASN yang belum optimal yang disebabkan terbatasnya kemampuan KASN yang tidak mempunyai perwakilan di daerah dan hanya didukung oleh pegawai dan anggaran dalam jumlah yang terbatas. Rekomendasi KASN diabaikan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Akibatnya pemberian sanksi kepada ASN yang melakukan pelanggaran menjadi tidak efektif dan tidak menimbulkan efek jera.
Jika permasalahan ini terjadi, setidaknya ada dua dampak yang ditimbulkan yaitu pertama, terjadinya diskriminasi pelayanan, pengkotak-kotakan PNS, konflik kepentingan, dan PNS menjadi tidak profesional lagi dalam menjalankan tugasnya sebagai aparatur yang peran dan fungsinya sebagai alat pemersatu, pelayan, penyelenggara pemerintahan.
Kedua, akan meningkatkan intervensi politik dalam manajemen PNS yang menyebabkan proses pengadaan, penempatan dan promosi pegawai tidak lagi didasarkan pada kompetensi dan kinerja. Politisasi birokrasi menghambat upaya peningkatan kinerja pemerintah dan penyelenggaraan pelayanan publik.
Menyikapi hal ini, maka Kemenpan RB dan KASN melakukan pembangunan digital government terpusat yang memudahkan pengawasan masyarakat terhadap netralitas ASN seperti melalui aplikasi e-lapor, WA center, SMS center ataupun melalui system pengaduan berbasis medsos (twitter, fb, IG, youtube). Serta system informasi yang memudahkan penelusuran data pelanggaran (e-tracking pelanggaran netralitas ASN) untuk digunakan dalam membuat keputusan terkait pengembangan karier pegawai.
Sedangkan, Kemendagri dan Kemenpan RB menerapkan punishment terhadap Kepala Daerah yang tidak menerapkan hukuman kepada ASN yang direkomendasikan.
Penulis adalah pemerhati masalah pemerintahan. Tinggal di Manado.