Tolak Politisasi Agama pada Pemilu 2024
Oleh : Alif Fikri
Pemilu sudah semestinya menjadi pesta demokrasi yang tidak membuat masyarakat terpecah belah, kalah menang adalah hal yang biasa dalam setiap kompetisi. Namun bukan berarti menggunakan segala cara untuk memenangkan Pemilu, misalnya seperti politisasi agama yang rawan membuat masyarakat terpolarisasi.
Baca Juga
Perlu diketahui bahwa dampak dari politisasi agama hanya menghasilkan kerusakan. Selain masyarakat menjadi terbelah, juga produk politisasi agama akan menghasilkan produk gagal.
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) secara tegas juga telah mengatakan bahwa bangsa Indonesia sudah merasakan dampak dari politisasi agama yang berlarut-larut, sehingga jangan ada lagi politisasi agama dalam kontestasi.
Kedepannya, calon presiden, calon legislatif maupun calon kepala daerah harus memiliki siap mengutuk secara terang-terangan politisasi agama pada Pemilu 2024. Semua harus belajar dari pengalaman sebelumnya, seperti yang diingatkan Presiden Jokowi.
Hanya calon yang tidak memiliki prestasi dan kemampuan mumpuni yang membiarkan bahkan bekerja sama dengan kelompok yang memainkan politisasi agama.
Presiden Jokowi juga telah mengingatkan kepada para bakal calon presiden dan calon wakil presiden jelang Pemilu 2024. Mereka diminta untuk tidak melakukan politisasi suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) menjelang Pemilu 2024.
Jokowi mempersilakan debat gagasan, debat ide untuk membawa negara ini menjadi lebih baik. Tapi jangan sampai memanas.
Jokowi berkali-kali menyerukan untuk tidak memanfaatkan isu agama dalam kontestasi politik. Dirinya mengingatkan bahwa Bangsa Indonesia pernah merasakan dampak buruk dari politisasi agama, maupun politisasi suku, ras atau golongan. Sehingga cara berpolitik dengan memanfaatkan isu SARA harus dihindari.
Sementara itu, dalam rangka mengantisipasi adanya politisasi agama menjelang Pemilu 2024, Kemenko PMK bekerjasama dengan Kantor Wilayah Kementerian Agama DKI Jakarta untuk mengadakan kegiatan “Focus Group Discussion) (FGD) Penguatan Moderasi Beragama sebagai Antisipasi Politisasi Agama menjelang tahun Pemilu 2024.
Mengawali kegiatan FGD, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama, Cecep Khoirul Anwar menyampaikan ucapan selamat datang dan terima kasih kepada seluruh narasumber dan peserta yang hadir.
Sementara Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kemenko PMK Aris Darmansyah Edisaputra pada saat menyampaikan keynote speech sekaligus membuka kegiatan FGD menyatakan bahwa pemerintah berkomitmen untuk terus mendorong penguatan Moderasi Beragama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dirinya berujar, bahwa kehidupan keagamaan harus berpedoman kepada ajaran keagamaan yang sejuk, ramah, serta mengedepankan toleransi, bukan yang bersifat tertutup dan eksklusif.
Pemerintah mengusung Moderasi Beragama sebagai salah satu strategi dalam mendukung kebijakan pembangunan kerukunan umat beragama di Indonesia serta menyikapi keberagaman yang ada. Hal ini selaras dengan pernyataan Presiden Jokowi bahwa Moderasi Beragama adalah pilihan tepat dan selaras dengan jiwa Pancasila di tengah gelombang ekstremisme di berbagai belahan dunia.
Nilai demokrasi mengakui bahwa perbedaan dan keragaman merupakan realitas yang harus diterima dan dirayakan. Karena keragaman akan menghasilkan inovasi dan kreatifitas adalah energi positif bagi kemajuan bangsa.
Sikap moderat dalam beragama harus dibangun dan diperkuat mengingat adanya sekelompok masyarakat yang memiliki cara pandang, sikap dan praktik beragama yang berlebihan/ekstrem, memaksakan kehendak atas tafsir agama disertai semangat beragama yang tidak selaras dengan kecintaan berbangsa dalam bingkai NKRI.
Kegiatan-Kegiatan penguatan Moderasi Beragama dalam bentuk FGD, workshop dan sejenisnya tentu diperlukan untuk menyasar akar rumput termasuk komunitas remaja yang umumnya memiliki akses luas terhadap internet dan informasi.
Pada kesempatan berbeda, Pramono Ubaid Thantowi selaku Wakil Ketua Internal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyoroti isu kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam Pemilu 2024 nanti.
Dirinya mengatakan, isu pelanggaran HAM terkait kebebasan beragama akan semakin meningkat seiring dengan kontestasi politik yang semakin dekat.
Pramono juga mengatakan bahwa dirinya akan menyoroti kandidat yang ikut dalam perhelatan Pemilu 2024 nanti, baik dari pemilihan legislatif, kepala daerah hingga pemilihan presiden.
Di sisi lain, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memperkirakan praktik politisasi agama untuk mendulang suara pada Pemilu 2024 sudah tidak terlalu signifikan. Intensitas praktik politisasi agama pada Pemilu 2024 masih di bawah Pemilu 2019.
Direktur pencegahan BNPT Brigjen Polisi R. Ahmad Nurwakhid meyakini, politisasi agama atau eksploitasi agama untuk tujuan politik pada Pemilu 2024 lebih rendah karena indeks potensi radikalisme di Indonesia mengalami penurunan. Ia menyebutkan sepanjang tahun 2020 sampai 2021, indeks potensi radikalisme Indonesia tercatat 12,2 persen atau turun secara signifikan dibanding 2019 yang mencapai 38,3 persen.
Politisasi agama untuk kepentingan Pemilu 2024 diperkirakan masih tetap ada. Masyarakat perlu bersinergi dengan pemerintah guna melakukan pencegahan karena politisasi agama bakal memicu polarisasi di tengah masyarakat, politisasi agama itulah yang akan mengalami distorsi informasi yang membuat masyarakat mudah untuk saling membenci terhadap orang yang berbeda pilihan.
)* Penulis adalah kontributor Nusa Bangsa Institute