Oleh : Muhammad Yasin
Pemerintah secara resmi telah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan melarang ideologi khilafah berkembang di Indonesia. Selain banyak ditolak di negara-negara mayoritas muslim, khilafah secara otomatis tertolak di Indonesia karena menyalahi kesepakatan bersama.
Mari sejenak kita bayangkan, apa yang terjadi jika Indonesia menganut sistem khilafah? Bisa jadi non muslim akan semakin merasa minoritas, pariwisata akan melemah, lalu budaya asli Indonesia akan sirna secara perlahan.
Adakah untungnya, tentu saja tidak karena justru kita bisa berkaca pada ISIS, mereka yang menjanjikan sistem yang sesuai syariat, rupanya hancur sendiri karena keegoisannya.
Cendekiawan muslim yang merupakan dosen di Monash University, Australia, Dr. H Nadirsyah Hosen, LLM, MA (Hons), PhD, mengungkap sejumlah peristiwa pada era khilafah Islam.
Dalam laman situs pribadainya nadirhosen.net, Hosen menulis beberapa sisi kelam era sistem khilafah. Tulisan tersebut juga ia tuangkan dalam buku yang baru saja diluncurkan, yaitu Islam Yes, Khilafah No.
Pada masa khilafah zaman old terdapat sejumlah perang saudara sesama umat Islam. Daftarnya bisa sangat panjang.
Korbannya juga mereka yang mengucapkan dua kalimat syahadat. Umumnya perang saudara terjadi karena perebutan kekuasaan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Hosen menuliskan, saat itu terjadi perang saudara antara sayyidina Ali dengan Siti Aisyiyah (perang jamal). Saat perang Jamal di Bashrah, tidak kurang dari 18.000 sahabat gugur perang antara Istri Nabi dan menantu Nabi ini baru berakhir setelah kaki-kaki unta tersebut ditebas dengan pedang kemudian Siti Aisyah dipulangkan ke Madinah.
Pada kesempatan berbeda, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir mensinyalir bahwa masih ada kelompok Islam yang membela sistem khilafah. Padahal, menurut dia, para pendiri negeri ini, termasuk tokoh Muhammadiyah telah bersepakat bahwa Indonesia adalah negara Pancasila.
Prof Haedar juga menegaskan, dalam konteks Indonesia sistem khilaafah itu sudah tertolak. Bukan karena konsep itu salah secara teori atau salah dalam konsep siyasah, tetapi karena salah dalam dua hal.
Pertama, salah kalau konsep tersebut dijustifikasi sebagai satu-satunya sistem dalam politik Islam. Kedua lebih salah lagi ketika sistem tersebut hendak diterapkan di Indonesia yang sudah memiliki sistem lain.
Menurutnya, hal inilah yang perlu dipahami oleh umat Islam, khususnya warga Muhammadiyah. Karena itu lah, tokoh Muhammadiyah terdahulu akhirnya bersepakat untuk melahirkan negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah yang telah diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke 47 pada 3-7 Agustus 2015 di Makasar.
Haedar berharap, agar para pimpinan Muhammadiyah termasuk guru besar, untuk tidak keliru dalam memahami hal tersebut.
Tidak hanya sistem khilafah, menurutnya Muhammadiyah juga telah sepakat untuk menolak ideologi lain yang datang dari luar, seperti ideologi komunis dan lain-lain.
Pada kesempatan berbeda, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas menyebut, terjadi kekeliruan serius jika seorang muslim menganggap negara Islam adalah mutlak atau wajib didirikan.
Tak hanya itu, dirinya juga menuturkan para teroris menggunakan dalil agama sebagai landasan untuk mendirikan negara Islam dengan sistem khilafah.
Karena menganggap sebagai kewajiban, teroris menggunakan upaya apapun termasuk kekerasan untuk mendirikan negara Islam yang khilafah.
Robikin mengatakan, konsekuensi pemikiran seperti itu adalah, setiap yang tak sama pikirannya bakal dicap musuh dan status hukumnya adalah kafir.
Sehingga para teroris hanya menetapkan atau membelah dunia dalam dua status hukum kewilaahan. Kedua wilayah tersebut adalan negara silam dan negara darul kuffar alias negara kafir.
Konsekuensinya, siapapun yang mengelola negara, aparat pemerintahan sipil akan dicap sebagai thagut.
Robikin menyebutkan, jika khilafah adalah satu-satunya bentuk negara yang sah, maka Arab Saudi termasuk sebagai negara kafir.
Sementara itu, Koordinator jaringan Gusdurian Alissa Wahid menegaskan, bahwa paham khilafah yang menyeragamkan sama saja berarti membatalkan dan membubarkan Indonesia karena hal ini tidak sesuai dengan kesepakatan pendirian bangsa ini yang berlandaskan keberagaman.
Ia juga menuturkan bahwa di Indonesia sebenarnya sulit sekali untuk merealisasikan ide khilafah. Hal ini bisa dilihat dari sisi teologis khilafah islamiyah itu tidak ditemukan bagaimana bentuknya. Khilafah yang sebenarnya didengung-dengungkan oleh HTI adalah khilafah yang dijalankan oleh khulafaur rasyidin setelah Nabi.
Tentu saja konsep khilafah di Indonesia akan tetap ditolak dan tertolak, karena konsep dari ideologi ini memang tidak bisa diterapkan di Indonesia yang menjunjung tinggi kebhinekaan.