Bakti Kominfo melaksanakan seminar live straming bertemakan “Bijak Bersosial Media dan Lawa Hoax di Masa Pandemi Covid-19” yang diisi Ir. Ahmad Rizki Sadig, M.Si Anggota Komisi I DPR RI, Yuliandre Darwis Ph.D Ketua Dewan Paskar ISKI dan Adhiwena Wirya Wiyudi, S.AB selaku Tokoh Pemuda.
Ir. Ahmad Rizki Sadig, M.Si menyampaikan bahwa “saya ingin menyampaikan bahwa acara ini memang kerjasama antara komisi 1 DPR RI dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika beserta Bakti yang memang menyasar terhadap para pengguna pengguna media online maupun perkembangan teknologi informasi yang sangat dahsyat khususnya di masa pandemi ini, saya mungkin bukan pakar di bidang itu, tapi lebih banyak belajar untuk membuat regulasi-regulasi berkaitan dengan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang saat ini sedang marak dilaksanakan.
Di komisi 1 beserta dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika beserta seluruh stakeholder yang terkait, sedang menyusun draf undang-undang perlindungan data pribadi yang menjadi salah satu konsen terhadap perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat dahsyat, bahwa hari ini tidak bisa pungkiri pengguna internet di Indonesia ini maupun di dunia melonjak begitu drastis, baik dari tahun yang lalu maupun tahun sekarang dan saya yakin pada tahun-tahun mendatang.
Baca Juga
Jadi mau tidak mau memang harus menyesuaikan diri dengan situasi yang ada, mau tidak mau harus meningkatkan kemampuan dan yang paling penting harus bijak dan bertanggung jawab terhadap apa yang akan ditulis di media sosial dengan situasi yang begitu cepat, sehingga tidak bisa keserempet dengan aturan-aturan yang berhubungan dengan undang-undang ITE, itu yang sering kali akan menjebak di dalam persoalan-persoalan yang bersifat komunikasi informasi dan teknologi ini. Situasi hari ini bisa di sikapi dengan cara positif, merespon dengan cara positif, semua yang menggunakan teknologi informasi ini, supaya mempelajari dengan baik, tidak hanya sekedar mempelajari bagaimana mengoperasikan alat-alat komunikasi, tapi berusaha juga searching di Google ataupun searching di alat-alat pencari lainnya, bahwa sejauh mana aturan-aturan yang melatarbelakangi tentang efek apabila tidak menggunakan media komunikasi dengan cara yang baik, dan juga perlu belajar tentang aturan-aturannya, agar kemudian tidak dipersalahkan apabila ada sesuatu, evoria penggunaan alat-alat komunikasi yang begitu canggih saat ini, membuat begitu mudah untuk mengabarkan berita-berita yang belum tentu di kroscek kebenarannya, sehingga bisa jadi diri sendiri menjadi bagian dari yang menyebarkan berita bohong, jadi ini juga harus hati-hati, ini juga menjadi sesuatu yang perlu di sikapi secara baik, bahwa jangan terlalu mudah untuk menggunakan alat komunikasi dengan cara-cara yang tidak disortir.
Dalam kesempatan yang sama, Yuliandre Darwis Ph.D Ketua Dewan Paskar ISKI menyampaikan bahwa “sadar bahwa cakupan sinyal di wilayah Indonesia secara infrastruktur, dalam hal ini literasi sesuai amanah Presiden Republik Indonesia dan dilanjutkan oleh Kementerian Kominfo dan Bakti sebagai eksekusi, bagaimana sebaran ini menjadi sempurna, dalam cepatannya tahun 2020 layanan BTS 4G, sudah 639, 2021 diterbitkan 4.200, 2022 dengan layanan 3.065, BTS sinyal sangat gencar sekali dan akses internet bisa dijangkau ke seluruh penjuru Indonesia inilah yang disamakan dengan merajut nusantara, Bakti dalam hal ini melakukan literasi yang sangat penuh bagaimana infrastruktur berjalan dengan maksimal, percuma percepatan yang namanya teknologi dibangun oleh Bakti, Kominfo tetapi konten dari literasi jadi masalah, bagaimana budaya literasi dengan pengguna media sosial, apa yang terjadi adalah menjadi terbalik, jumlah pengguna internet di Indonesia tahun 2021 adalah 202,6 juta jiwa, jumlah ini meningkat 15,5% atau 20 juta jiwa, jika dibandingkan pada Januari 2020 total penduduk hari ini adalah 274 juta jiwa, artinya penetrasi internet di Indonesia pada awal 2021 mencapai 73,7% ini langkah yang hebat, ternyata dalam konteks pemahaman literasi berbanding terbalik, teknologi canggih tapi jomplang dalam sebuah pemahaman penggunaan teknologi, sehingga apa yang terjadi, literasi digital berbanding terbalik dengan pengguna internet, Indonesia menduduki peringkat ke 60 dari 61 negara dalam tingkat literasi yang paling rendah, permasalahan ini makin mengkhawatirkan karena belum meratanya kesempatan untuk mengakses bahan literasi dalam negeri.
Ketika kondisi ini dengan 202 juta jiwa pemuda Indonesia, apa yang bisa di lakukan, tentu konsekuensi dari 202 juta jiwa ini yang terjadi adalah media sosial menjadi saluran penyebaran hoax terbesar dan penetrasinya sebesar 92,4%, bayangkan media sosial menjadi media penyebaran hoax yang paling tinggi, hoax sengaja dibuat untuk mempengaruhi opini publik dan kian marak lantaran faktor simulasi seperti sosial politik dan saraf opini juga muncul, karena biasanya masyarakat menyukai sesuatu yang heboh atau yang viral tanpa melihat kebenaran dari substansi yang di bahas.
Ada 800.000 situs penyebar hoax di Indonesia, itu bukan jumlah yang sedikit ini yang harus di hadapi dalam dunia transformasi digital.
Adhiwena Wirya Wiyudi, S.AB selaku Tokoh Pemuda juga menyampaikan bahwa “Bagaimana sosial media di Indonesia, dari sejarah sosial media itu dibilang sudah 20 tahun, di Indonesia ini sudah ada sosial media mulai dari Friendster pada tahun 2002, Myspace 2004, 2005 YouTube, Twitter 2006, terus 2010 dengan Instagram, Chat Messenger yaitu WhatsApp, Line, Telegram dan yang terbaru ini TikTok, yang lebih terbaru lagi itu dengan adanya Clubhouse, di Indonesia selama 20 tahun ini ada 170 juta aktif sosial media di Indonesia, artinya ada 170 jempol yang berpotensi untuk membuat kebaikan ataupun negatif.
Sosial media yang paling sering digunakan oleh masyarakat Indonesia yaitu pertama itu YouTube terus kedua Chat Messenger Whatsapp terus ketiga Facebook dan Instagram yang terakhir itu Twitter, menurut hasil survei sampai dengan terakhir kemarin 2021 di Indonesia. Sedangkan ini adalah data penggunaan sosial media, jadi berapa lama user itu memakai sosial media dalam seminggu hampir rata-ratanya 30 jam itu termasuk tinggi.
Dari sekian banyak sosial media yang dipakai oleh masyarakat Indonesia apakah masyarakat itu aware tentang apa saja yang perlu diwaspadai di sosial media, banyak terjadi penipuan, ini harus aware misalnya penipuan rekrutmen tenaga kerja, terus penipuan online shop dengan modus memberikan diskon dan lain sebagainya, terus hoax atau fake news ini yang terjadi baru-baru ini karena kasus pandemi, banyak efek dan dampak yang sifatnya mental illness atau kejiwaan, seperti produksi hormon dopamin, hormon kebahagiaan, dia akan selalu membuat itu tanpa henti-henti, terus ada yang namanya FoMo Fear of Missing Out, dampak lainya itu Anxiety kecemasan, Lower Self Esteem, Adictive, harus paham bahwa dampak-dampak itu efeknya dengan diri sendiri, hoax itu dampaknya bisa keluar dan sangat-sangat meresahkan, harus aware bahwa hoax itu juga bisa diorganisir, jadi ada komplotan atau yang memang mempunyai kepentingan tertentu yang jelasnya negatif, digerakkan oleh sebuah kepentingan tertentu untuk bisa mengarahkan opini publik itu sendiri, tujuannya jelas membuat kegaduhan, terus yang paling bahaya ketika di Pemilu itu tujuannya untuk mengadu domba, terus untuk mengalihkan perhatian publik dan fitnah.
Bagaimana ketika tidak mengecek kebenarannya, itu akan menjadi fitnah apalagi itu sudah tersebar secara publik, salah satu hoax ini juga banyak sekali bahkan ribuan, selain ini dampaknya secara masif, mungkin diri sendiri bisa jadi salah satu yang mempunyai peran di situ untuk menyebarkan, ini yang perlu diwaspadai untuk bersosial media artinya dengan mewaspadai dan aware bahwa ternyata hoax ini bisa diorganisir, bagaimana untuk membedakan atau lebih memfilter lagi, dengan bagaimana melihat ada verified account jadi entah itu di Instagram atau Facebook atau di Twitter atau di YouTube, itu ada yang namanya verified account.
Dengan tahu sumbernya dari verified account akan lebih aman mengkonsumsi informasi atau mungkin dengan menyebarkannya kembali, karena memang sudah diverifikasi oleh pemerintahan dan sosial media itu sendiri. Ternyata banyak kasus pidana di sosial media terutama tentang UU ITE, yang paling banyak itu tentang pencemaran nama baik ini juga terjadi karena budaya literasi yang masih sangat-sangat kurang di Indonesia, ini juga harus dipahami bahwa UU ITE ini juga bisa menjerat temen-temen untuk sampai ke jalur pidana atau hukum, ini akan sangat-sangat merugikan diri sendiri.