Oleh : Ahmad Prasetyo
Covid-19 memang menjadi sesuatu yang membahayakan dan mematikan. Kendati demikian, ada virus yang lebih berbahaya dari Covid-19 yakni virus radikalisme kerena dapat membahayakan ideologi bangsa, memecah persatuan, dan menimbulkan disintegrasi di masyarakat.
Sudah seharusnya wabah covid-19 ini menjadikan masyarakat dan pemerintah untuk bersatu dan bekerja sama untuk menangani ancaman penyebaran dan segala dampaknya. Namun kaum radial justru tampak menebarkan isu yang mengarah kepada gerakan radikalisme yang dapat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca Juga
Baca juga: Dukung Pemerintah Berantas Radikalisme dan Intoleransi Demi Indonesia Maju
Contohnya, ketika pemerintah menerapkan himbauan terkait social distancing, kaum radikal akan sangat terlihat dan terbukti ketika mereka tetap keukeh untuk tidak menerapkan social distancing dan ngotot sholat berjamaah di masjid. Jika mereka ngotot maka mereka akan menjawabnya dengan ‘hidup dan mati sudah di tangan Allah.
Tentu kita semua mengetahui bahwa umur ataupun takdir memang ada di tangan Tuhan, tapi semua itu kembali pada ikhtiar masing-masing. Tidak cukup hanya bermodalkan nekat, sementara mereka belum memaksimalkan ikhtiar seperti menerapkan social distancing atau beribadah dirumah.
Kaum radikal tentu akan berpikir, kita tidak usah takut kepada wabah virus corona, karena yang seharusnya ditakuti hanya Allah. Padahal sesungguhnya hal tersebut merupakan cacat logika, semestinya, takut kepada Allah maka kita harus mendekatinya, sedangkan takut kepada virus corona semestinya kita menjauhinya.
Virus corona bukanlah sesuatu yang biasa, virus tersebut sangat mudah menular tanpa memandang suku, agama, atau ras
Tentunya untuk menjadi manusia yang bertakwa tidak harus berada di masjid atau tempat ibadah lainnya, tetapi dimanapun kita bisa menjalankan nilai-nilai takwa terbatas di masjid, Islam di masjid, bahkan iman pun di masjid. Islam semacam ini tentu menunjukkan tidak sehat.
Sementara itu, Mantan kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Irjen, (Purn) Ansyaad Mbai mengatakan, paham radikalisme lebih berbahaya dibanding virus corona yang tengah merebak.
Ansyaad berasalasan, apabila virus radikalisme menyebar, maka seluruh bangsa Indonesia akan menjadi korbannya. Sedangkan virus corona kita sudah tahu korbannya dengan segala gejalanya.
Hal inilah yang menjadikan Ansyaad mendukung keputusan Pemerintah untuk tidak memulangkan ratusan WNI eks ISIS dan teroris lintas batas ke Indonesia.
Kementerian Komunikasi dan Informatika hingga saat ini sudah memantau lebih 200 situs di Internet yang bermuatan negatif. Pada tahun 2015 sebanyak 22 situs yang menyebarluaskan radikalisme sudah diblokir oleh pemerintah. Pemblokiranpun tidak memerlukan prosedur yang berbelit-belit.
Melalui internet, pengguna internet bisa mendapatkan paham ekstrim yang dibungkus dengan propaganda dalam bentuk narasi-narasi kegelisahan atas segala kebijakan pemerintah.
Narasi tersebut lantas memunculkan persepsi berupa ancaman bahwa dunia ini akan memburuk.
Pemerintah dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memberikan perhatian khusus pada gerakan radikalisme yang bisa mengancam masa depan bangsa dan negara.
Hal tersebut berdasarkan dengan tujuan nasional bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam undang-undang Dasar 1945, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan Seluruh Tumpah Darah Indonesia, Memajukan Kesejahteraan Umum, Mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM (Menkopolhukam), Mahfud MD mengungkapkan bahwa penanganan radikalisme akan dilakukan lintas kementerian.
Hal yang paling ditekankan adalah kelompok radikal bukan mengacu pada golongan atau agama tertentu, oleh karena itu, pemikiran bahwa orang yang radikal merupakan bagian dari kelompok agama tertentu haruslah diubah.
Mantan Pimpinan MK tersebut menegaskan, radikalisme adalah paham yang ingin mengganti dasar dan ideologi negara dengan cara melawan aturan, kemudian merusak cara berpikir generasi baru. Apapun agamanya, apabila melakukan hal tersebut, tentu layak mendapatkan predikat radikal.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Tjahjo Kumolo menegaskan, pemerintah akan terus memantau dan memonitoring setiap jejak digital media sosial pejabat eselon I dan II.Tjahjo juga mengatakan, ASN sebagai Abdi Negara, hendaknya dapat menjadi perekat bangsa, dalam penggunaan sosial media.
Tentunya tidak hanya kalangan ASN, tetapi semua lapisan masyarakat tentu saja harus berperan dalam meredam penyebaran virus radikalisme di lingkungan terdekatnya.
Penulis adalah pengamat sosial politik, aktif dalam Milenial Muslim Bersatu