Oleh: Galih Aroza
Memasuki tahun politik dan menyambut pesta demokrasi – dari siapa, oleh siapa, dan untuk siapa – agaknya hanya menjadi ritual lima tahunan. Jalanan kota dan desa dipenuhi banner capres dan caleg, mata kita dipaksa melihat wajah-wajah yang selalu tersenyum penuh kepalsuan, serta bendera partai yang berkibar lebih banyak ketimbang bendera merah putih ketika agustusan. Tulisan ini hadir bukan dalam rangka berkampanye untuk mendukung paslon nomor 01 maupun 02. Tak juga mengkampanyekan golongan putih (golput) yang bukan merupakan tindak pidana, sekalipun ditengah kondisi perebutan kekuasaan – terlalu berlebihan jika diistilahkan pesta demokrasi – yang begitu arogan. Namun, tulisan ini murni sebuah kampanye melawan hoax.
Memang tiada yang berbeda dari ritual lima tahunan yang sebelum-sebelumnya. Selain dihadapkan dengan banner dan bendera partai, masyarakat juga selalu disuapi janji-janji yang tak membuatnya kenyang. Namun, pada kontestasi perebutan kekuasaan kali ini masyarakat mendapat konsumsi tambahan yaitu hoax – berita bohong atau tidak benar yang dibungkus menjadi suatu kebenaran. Perihal hoax atau kebohongan memang sudah menjadi instrument yang tak ketinggalan dalam urusan politik. Bahkan sebelum istilah hoax ini menjadi populer, kebohongan dalam dunia politik sudah menjadi keniscayaan.
Baca Juga
Memasuki masa revolusi industri 4.0, teknologi berkembang cukup pesat dan kemungkinan akan menggeser bahkan menggantikan peran manusia. Dalam kondisi yang demikian, segala sesuatu bisa terkoneksi dengan internet dan pemanfaatan dalam hal ini telah banyak digunakan seperti untuk kampanye, bahkan penyebaran hoax. Inilah yang menjadi pembeda dari pemilu tahun-tahun sebelumnya, bahwa saat ini kebohongan dalam dunia politik turut berkembang pesat. Dan yang memilukan ialah hoax menjadi konsumsi publik secara terus-menerus tanpa disadari oleh pengonsumsi hoax tersebut.
Valentine bukan Budaya Kita, Budaya Kita ialah Mengonsumsi Hoax
Berbicara tentang hoax, kita tidak bisa hanya sepihak menyalahkan pembuat dan penyebarnya saja. Perkembangan hoax sejauh ini juga dipicu oleh pengonsumsinya. Tak bisa dipungkiri bahwa masyarakat pada umumnya lebih menyukai berita yang menarik ketimbang berita yang valid. Baik media cetak maupun elektronik, bahkan dalam media sosial, kebanyakan orang menerima sebuah berita hanya dari judulnya saja. Sekalipun membaca isinya, terkadang tidak sampai selesai. Inilah salah satu penyebab perkembangan hoax menjadi tak terbendung.
Kecenderungan membagikan suatu informasi yang belum tentu valid, juga menjadi celah besar bagi hoax untuk terus berkembang. Terlebih ketika tagline berita tersebut sangat menarik, tanpa pikir panjang rasa ingin berbagi pada kawan, keluarga, maupun kekasih segera muncul. Dan kecepatan jari kita untuk membagi suatu berita tanpa crosscheck terlebih dahulu, itulah budaya baru yang harus segera disudahi.
Memasuki tahun politik, berita seputar pemilu menjadi konsumsi harian publik hingga April mendatang. Diantara berita yang dikonsumsi tersebut adalah hoax yang kerap diterima begitu saja. Tak jarang masyarakat memperdebatkan suatu isu yang belum teruji kevalidannya secara berlebihan, sementara mereka tak sadar sedang memperdebatkan suatu hoax. Perihal ini tentu saja memprihatinkan, pesta demokrasi yang selalu digadang-gadang ternyata minim substansial dan penuh sensasional terbukti dengan maraknya berita-berita heboh seputar pemilu di berbagai media.
Stop Konsumsi Hoax
Salah satu makanan pokok masyarakat Indonesia ialah nasi, maka silakan disudahi dalam mengonsumsi hoax. Selain tak bergizi, mengonsumsi hoax terus menerus juga tak lekas membuat perut kenyang. Upaya pencegahan hoax akan sia-sia selama kita menyatakan #antihoax sambil tetap membagi berita tanpa mengcrosscheck terlebih dahulu. Ini sama saja gali lubang tutup lubang.
Untuk benar-benar menyudahi perkembangan hoax ialah terlebih dahulu menyudahi budaya membaca berita hanya judulnya saja. Bagaimana dapat mengcrosscheck kevalidan suatu berita jika tak membacanya sampai akhir. Urgensi penyebaran berita yang didapat juga perlu dipertimbangkan, jika suatu berita tak menguntungkan orang lain maka tak perlu membagikannya. Cara-cara sederhana demikian agaknya mampu mengurangi penyebaran hoax yang terjadi dewasa ini.
Terlebih pada tahun politik, atas kesadaran bersama akan pentingnya pencegahan hoax yang terus beredar. Kita harus mendidik jari-jemari yang begitu mudahnya membagikan berita di media sosial. Sebab sama hinanya antara pembuat dan penyebar hoax, dan sebagai pengonsumsi berita tak menutup kemungkinan kita juga menjadi penyebar hoax yang selanjutnya.
Maka, mari bersama-sama kawal ritual lima tahunan ini, setidaknya dari kebohongan-kebohongan yang terus bermunculan. Terlepas kita mendukung paslon nomor 01, 02, maupun golput, yang terpenting ialah perkembangan hoax harus segera disudahi.