Oleh: Andika Ramadhana Simarmata
Berita bohong (hoaks) memang sudah ada sejak dahulu, sebelum zaman canggih ini. Namun hadirnya teknologi membuat kebohongan berita tersebut menjadi lebih mudah viral di media sosial. Akibatnya berita hoaks akan semakin menghiasi lini masa kita, yang akhirnya akan mempertaruhkan iklim kondusifitas dan ketertiban masyarakat demi kepentingan sesaat.
Penyebaran berita hoaks ini tercermin dari budaya masyarakat Indonesia pada bangku sekolah. Pada saat ulangan misalnya, siswa yang mengumpulkan kertas ulangan mereka lebih awal akan dianggap lebih pintar oleh teman-temannya. Begitu juga dengan berita-berita hoaks ini, tanpa mencari kebenaran terlebih dahulu, mereka akan berlomba-loma menjadi orang pertama untuk men-share berita tersebut.
Baca Juga
Menjelang pesta demokrasi, tampaknya berita hoaks ini semakin lestari. Menaikkan isu-isu fitnah politik serta menjadi sumber provokasi merupakan misi utama dari aktor dibalik pembuat berita hoaks tersebut. Akhirnya taktik ini lah yang digunakan untuk kampanye secara tidak langsung melalui media sosial. Hal ini tidak saja digunakan untuk menyerang lawan, tetapi juga mempengaruhi publik khususnya penyelenggara pemilu.
Saat ini cukup banyak website yang menggunakan jasa iklan untuk menaikkan rating mereka. Akibatnya viewers pun akan semakin meningkat, sehingga semakin banyak pula orang yang menjadi korban adu domba. Ihwal itu hanya diakibatkan oleh satu hal, yakni sifat netizen yang malas membaca. Sehingga judul dan cover berita yang berlebihan akan menyebabkan kesalah pahaman.
Berita hoaks ini juga sering kali memiliki frekuensi yang tinggi, sehingga seolah-olah dianggap menjadi sebuah kebenaran. Selain itu, rendahnya literasi masyarakat membuat akses berita hoaks masuk ke dalam ranah lingkungan menjadi lebih mudah.
Menurut kementerian komunikasi dan informatika, mulai dari Agustus hingga Desember 2018 lalu sudah ditemukan sebanyak 62 isu-isu politik yang merupakan berita hoaks. Publikasi hoaks dengan frekuensi tinggi ini tentunya menjadi benalu terhadap pemilu 2019 mendatang. Selain itu, penyebaran gimik yang bersifat provokasi ini juga akan menjadi parasit bagi proses demokrasi yang damai, berkualitas dan bermartabat.
Dalam kasus ini tentunya kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan penikmat media, mereka dipengaruhi oleh berita provokatif yang mereka anggap benar. Misalnya dalam berita hoaks yang terjadi baru-baru ini yaitu kasus surat suara yang sudah tercoblos. Kubu pertama tentunya merasa difitnah akan keberadaan berita ini, sedangkan kubu yang lain justru merasa menjadi korban kecurangan. Hal tersebut tentunya sulit untuk ditengahi, karena kedua kubu merasa dirinya memegang kebenaran. Dalam kasus ini, lembaga yang dapat mengklarifikasi ‘kebenaran’ berita yang sesungguhnya adalah aparat pemerintah.
Dalam pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang-Undang ITE, disebutkan bahwa “setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang menyebabkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik” ancamannya bisa terkena pidana maksimal enam tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.
Pasal tersebut tentunya sudah menjadi ancaman yang cukup kuat bagi masyarakat agar insaf dengan penyebaran berita-berita hoaks tersebut. Bahkan belakangan ini juga sudah terlihat bukti nyata terhadap penangkapan beberapa orang yang terbukti menyebarkan berita hoaks. Namun para provokator tersebut nampaknya tidak terusik dengan isu-isu palsu yang terus mereka kembangkan. Mungkin tindakan yang lebih tegas perlu diterapkan oleh pemerintah Indonesia, karena undang-undang yang kuat saja tidak dapat menjadi jaminan untuk memberantasnya, salah satunya dibutuhkan tindakan yang lebih tegas dan cepat.
Selain peraturan diatas tentunya pemerintah perlu mengedukasi publik khususnya calon penyelenggara pemilu 2019 mendatang agar tidak mudah terprovokasi. Karena tahun politik ini akan menjadi tahun penyesatan publik melalui isu-isu fitnah yang dilakoni oleh aktor-aktor politik.
Dibalik itu semua, solusi utama agar tidak mudah terprovokasi dengan berita-berita hoaks tersebut adalah dari masyarakat sendiri, khususnya pengguna smartphone. Karena banyak mereka yang menggunakan smartphone tetapi tidak smart. Sehingga dibutuhkan sikap cermat, hati-hati serta kecerdasan dalam menyaring setiap informasi. Hal tersebut akan memberikan dampak yang lebih baik untuk pemilu yang bersahabat dan bermartabat kedepannya.
Ada beberapa sikap yang harus dimiliki oleh masyarakat agar terhindar dari pemberitaan-pemberitaan hoaks.
- Selektif
Masyarakat harus mampu membuat pilihan serta melakukan penyeleksian terhadap berita-berita yang beredar di media sosial. Apakah berita tersebut termasuk kedalam berita yang benar atau justru memprovokasi.
- Simak
Masyarakat harus mampu menyimak berita secara jeli. Yakni menyimak berita secara keseluruhan, bukan hanya dari judul atau cover berita saja.
- Saring
Informasi yang didapatkan harus disaring, serta dapat memilih dan memilah mana berita yang benar dan mana berita yang terlihat benar.
- Simpulkan
Setelah melakukan penyaringan, pastinya sudah dapat disimpulkan bahwa berita tersebut benar atau salah. Apabila tidak dapat menyimpulkan, maka lanjut ke tahap berikutnya.
- Selidiki
Apabila tidak dapat mengambil sebuah kesimpulan maka saatnya masyarakat harus cerdas dan menyelidiki berita tersebut. Salah satunya adalah dengan melakukan verifikasi terhadap sumber berita. Apakah berita tersebut berasal dari sumber terpercaya atau sumber abal-abal.
- Sikapi
Menyikapi berarti mengambil tindakan, setelah menyelidiki sebuah berita dan sudah mengertahui berita tersebut benar atau salah, maka saatnya untuk mengambil tindakan. Pada poin ini kita harus mengambil tindakan yang tepat.
- Share / Sahuti dan setop
Apabila berita yang diperoleh adalah berita yang benar dan bernilai, silahkan membagikan informasi tersebut kepada publik, hal tersebut tentunya dapat menunjang pemerataan informasi.
Jika berita yang diperoleh adalah hoaks setelah melalui beberapa tahapan di atas, maka saatnya masyarakat bertindak untuk menyahuti orang yang menyebar berita tersebut. Sampaikan bahwa berita yang ia bagikan adalah berita hoaks. Setelah itu setop perbuatannya untuk menebar fitnah. Apabila tidak mampu memberhentikannya, maka laporkan kepada pihak yang berwajib.
Dari kedelapan poin tersebut, diharapkan kepada seluruh masyarakat Indonesia, khususnya calon penyelenggara pemilu 2019 mendatang untuk lebih smart dalam menggunakan smartphone dan media sosial. Diharapkan untuk tidak ‘menyantap’ begitu saja semua berita-berita yang tersaji di media sosial. Karena semakin cerdas kita dalam menyikapi sebuah berita politik, maka akan semakin tepat pula kita memilih seorang pemimpin.
Walhasil, saya ingin mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk lebih cermat dan waspada. Berbeda pilihan bukanlah sebuah hal yang membuat kita terpecah belah. Siapa pun yang menjadi pilihan kita, pemilu yang damai, berkualitas dan bermartabat tetaplah menjadi yang dicita-citakan. Sehingga nantinya terwujud sosok pemimpin yang adil, jujur dan berkualitas menuju keberlanjutan pembangunan nasional bangsa Indonesia yang adil dan makmur.
Pesan untuk kita bersama, apabila mendapatkan sebuah berita, jangan lupa saring dahulu sebelum sharing, oke?