Unjuk Rasa di Masa Pandemi Rawan Tertular Covid-19

Oleh : Deden Kurniawan

Demonstrasi untuk menolak UU Cipta Kerja terus diadakan, tak hanya di Jakarta tapi juga di Bandung dan kota lain. Sebenarnya aksi ini sudah dilarang karena melanggar protokol kesehatan. Karena saat unjuk rasa tak mungkin bisa jaga jarak. Jika mereka ngotot menolak UU Cipta Kerja, maka bisa mengajukan keberatan ke mahkamah konstitusi.

Aksi demo buruh yang awalnya damai jadi memanas karena mereka kukuh menolak omnibus law RUU Cipta Kerja. Ketika diingatkan oleh aparat, mereka malah marah karena merasa dibatasi hak untuk bersuara. Padahal yang dipermasalahkan adalah demo tersebut tidak menaati protokol kesehatan, bukan karena mereka dilarang berbicara di depan umum.

Baca Juga

Ad banyak pelanggaran protokol kesehatan saat demo buruh. Pertama, mereka bergerombol dan tak menaati aturan jaga jarak. Lantas, apakah ada jaminan seluruh buruh yang berdemo memakai masker? Jika iya, apakah maskernya sesuai standar kesehatan alias bukan masker scuba? Maskernya juga wajib dikenakan terus, dan sayangnya banyak yang menurunkannya.

Selain mengkhawatirkan banyak orang karena ada potensi terciptanya klaster corona baru, demo ini juga membuat nasib buruh terombang-ambing. Mereka mogok kerja lalu unjuk rasa tanpa ada izin dari atasan. Demo ini tidak sah, karena yang diperbolehkan adalah mogok ketika pengusaha tidak memberi pendapat saat diskusi. Namun kenyataannya sebaliknya.

Hal ini menyebabkan buruh bisa saja dipecat karena dianggap tidak disiplin dan menati aturan perusahaan. Karena meninggalkan pabrik saat jam dan hari kerja. Mereka menuntut haknya dipenuhi dan UU dihapus, namun pada akhirnya terancam kehilangan pekerjaan. Sungguh miris.

Seharusnya, daripada capek berdemo dan tidak menunjukkan hasil, maka buruh diminta bersabar dan tak melanjutkan unjuk rasa. Apalagi melakukan tindakan anarki di jalanan dan merugikan banyak orang. Seharusnya omnibus law UU Cipta Kerja bisa dinaikkan ke tingkat Mahkamah Konstitusi. Agar ada potensi dibatalkan dan membuat mereka lega.

Baca juga: Hati-Hati, Dampak Buruk Ini Bisa Terjadi Bagi Korban Body Shaming!

Taufik Garsadi, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat menyatakan bahwa seharusnya para buruh membawa permasalahan UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi. Untuk mengajukan judical review.

Dalam artian, UU ini bisa ditinjau kembali oleh MK dan dievaluasi apakah benar merugikan para buruh, atau hanya ada salah paham?
Taufik melanjutkan, seharusnya ada koordinasi dari serikat buruh, agar para pekerja tidak serampangan berdemo dan melakukan mogok massal. Karena lagi-lagi saat ini masih rawan penularan corona. Dalam artian, daripada habis berdemo lalu demam dan terjangkiti virus covid-19, lebih baik cari aman.

Jadi, tidak sepatutnya buruh berdemo untuk menolaknya. Selain masih masa pandemi dan rawan corona, unjuk rasa untuk menentang UU Cipta Kerja juga belum tentu bisa menggerakkan DPR untuk menghapusnya. Apalagi UU ini dibahas setidaknya 40 kali dalam rapat-rapat DPR. Jadi keputusan finalnya adalah yang terbaik untuk rakyat.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga menyetujui usulan untuk membawa UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, langkah untuk dibawa ke ranah hukum dan politik sudah tepat. Selain menjauhkan dari terbentuknya klaster, dibawanya UU ini ke MK sudah mengikuti prosedur hukum yang berlaku di Indonesia. Juga diharap ada diskusi antara buruh dengan pengusaha.

Para buruh juga perlu diingatkan agar tidak terbawa emosi saat berdemo. Nyawa mereka lebih berharga. Demo dlarang agar tidak ada penularan corona. Bukan karena arogansi pemerintah.

Jika buruh tetap ngoto mempermasalahkan UU Cipta Kerja, maka jangan hanya protes di depan gedung DPR. Namun bawalah ke muka hakim di Mahkamah Konstitusi dan ikuti aturan yang berlaku. Jarang sekali sebuah demo bisa berhasil. Melakukan unjuk rasa hanya membuat badan lelah dan berpotensi kena corona, karena ada dalam kerumunan massa.

Penulis adalah warganet tinggal di Bandung

Related Posts

Add New Playlist