Bakti Kominfo melaksanakan seminar merajut nusantara bertemakan “Pemuda, Berita Hoax dan Radikalisme” yang diisi Dr. Ir. H. A. Helmy Faishal Zaini selaku Anggota Komisi I DPR-RI, Freddy Tulung selaku Praktisi Bidang Kehumasan dan Komunikasi Publik, H. Lalu Hadrian Irfanim ST.,MSi selaku Anggota DPRD Prov. NTB, yang mana dalam seminar merajut nusantara tersebut Dr. Ir. H. A. Helmy Faishal Zaini menyampaikan bahwa memiliki komitmen yang tinggi ditengah maraknya berbagai macam hoax yang menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat, maka marilah kita tiada henti untuk membangun komitmen ini sebagai bagian dari tanggung jawab sosial, dimana setiap diri ini adalah merupakan bagian penting dari mewujudkan suatu informasi yang sehat.
Saya ingin menyampaikan bahwa era yang disebut dengan revolusi 4.0 ini atau transformasi digital adalah sesuatu yang bersifat taken for granted sesuatu yang bersifat imperatif, jadi transformasi digital ini bukanlah sesuatu yang bersifat choice, karena masyarakat sudah berubah terjadi migrasi besar-besaran dari apa yang disebut dengan ruang serba fisik ataupun physicalspace sekarang bergerak menuju apa yang disebut cyberspace, di hampir seluruh bidang kehidupan sekarang penggunaan digital ini sebagai sesuatu yang bersifat mainstream, misalnya di bidang ekonomi, saya punya kawan di perbankan ketika saya tanya berapa persen sih sebetulnya migrasi yang terjadi antara masyarakat yang selama ini secara konvensional datang ke bank untuk setor ataupun transfer dengan menggunakan online, dijawab oleh teman saya di perbankan ini sudah 90% lebih sekarang orang tidak lagi datang ke bank, jadi ini sudah terjadi pergeseran yang luar biasa, di bidang pendidikan juga sama sekarang di kenal dengan pendidikan jarak jauh, kemudian di bidang keagamaan ini juga sama, kita mengenal apa yang disebut sebagai dakwah virtual, maka marilah di tengah tantangan di zaman yang semakin berubah ini, terlebih hari hari ini menghadapi satu wabah pandemi covid-19 yang saya kira justru sosial media ataupun era digital ini adalah sesuatu yang bisa menjadi alternatif dengan berbagai macam kebutuhan-kebutuhan bisa melakukan zoom meeting seperti hari ini, kemudian social distancing, yang tidak memungkinkan bertemu langsung dan juga bisa menggunakan wilayah virtual ini.
Maka kalau sebagian kelompok menjadikan sosial media ini justru sebagai media untuk melakukan provokasi, marilah kita semua menjadi bagian penting dari upaya untuk melakukan sesuatu yang positif di tengah-tengah masyarakat.
Baca Juga
Maka dalam kesempatan ini saya ingin mengajak ada satu statement dari seorang ahli strategi yaitu Sun-Tzu dengan mengatakan bahwa jangan mengatakan bahwa kalau Anda siap berdamai harus siap berperang, jadi kita ini kan cinta pada perdamaian, kita tidak mau ada kerusuhan, kita tidak mau ada pertengkaran, kita tidak mau ada peperangan, tetapi strateginya adalah kita juga harus siap berperang artinya kita yang ingin memimpinkan, mangharapkan situasi yang sama itu tidak boleh berdiam diri saja, yang namanya pro perdamaian itu bukan berarti kita pasif, justru kita harus melakukan berbagai macam inovasi dan kreasi, salah satunya adalah menghadirkan kontra narasi, maka dalam konteks itu diperlukan penguasaan literasi dalam sosial media.
Inilah yang membuat saya secara pribadi baik selaku Sekjen NU maupun selaku Anggota Komisi 1 DPR RI itu selalu mengajak anak-anak muda milenial, misalnya baru-baru ini saya mengajak beberapa kelompok UMKM ini untuk dikenalkan dengan shopping online, jadi ada banyak temen-temen muda yang punya produk-produk hasil dari kerajinan mereka, apakah makanan kue-kue, apakah tenun yang itu pasarnya kan selama ini terbatas sekali hanya pasar domestik, pasar lokal saja, kemudian setelah kita ajak beberapa platform digital sebut saja Shopee, kemudian mereka dilatih bagaimana memasarkan untuk di sosial media seperti produk-produk mereka difoto dengan baik, dengan teknik yang sangat sederhana sekali kemudian mereka punya akun di berbagai macam laman marketplace yang ada dan dampak dari itu omset dari perputaran perdagangan mereka ini sekarang semakin meningkat. Itu dalam bidang ekonomi dalam konteks menghadirkan kontra narasi agar kita tidak berdiam diri, kita juga melatih beberapa pesantren santri-santri ini di dalam sosial media, misalnya pelatihan untuk membuat infografis, videografis, desain grafis dan seterusnya, yang dimungkinkan mereka memiliki strategi untuk masuk di dalam sosial media, karena berdasarkan beberapa survey tahun 2025 akan datang itu hampir 70% penduduk Indonesia ini akan dipenuhi oleh generasi milenial.
Jadi kalau narasi yang disampaikan itu tidak adaptif dengan generasi milenial pasti akan di skip oleh mereka, karena generasi milenial itu cara membaca satu artikel itu berbeda dengan baby boomers, makanan di generasi alfa mungkin sudah akan lebih cepat lagi, baby boomers itu masih bisa membaca artikel yang bersifat analitik, yang panjang-panjang artikel itu masih bisa, tapi kalau generasi milenial itu cara berpikir mereka itu crop brand, jadi orang itu hanya dengan cepat dia memangsa ataupun mengambil informasi, maka dari itu diperlukan strategi, bahwa kontra narasi yang akan disampaikan itu tidak lebih dari 1 menit kemudian dengan beberapa strategi agar bisa dikonsumsi oleh anak-anak milenial.
Terlebih sekarang juga menghadapi suatu tantangan bahwa paham-paham transnasional radikalisme dan terorisme ini begitu marak dan kalau dulu orang ketika akan melakukan sebuah infiltrasi kepada satu masyarakat itu mengirim orang yang ahli untuk melakukan agitasi, provokasi di tengah-tengah masyarakat, kalau sekarang mereka cukup menyebarkan hoax tanpa harus mengirim orang, misalnya yang ngirim hoaxnya itu dari Amerika, tapi yang jadi korban dari hoax itu bisa di seluruh dunia.
Dalam kesempatan yang sama Freddy Tulung selaku Praktisi Bidang Kehumasan dan Komunikasi Publik menyampaikan bahwa definisi pemuda menurut UU 40 tahun 2009 tentang pemuda yaitu Pasal 1 pemuda adalah WNI yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16-30 tahun lalu Pasal 5 pelayanan kepemudaan berfungsi melaksanakan penyadaran, pemberdayaan dan pengembangan potensi kepemimpinan, kewirausahaan serta kepeloporan dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pemuda dan politik kebangsaan yang mempunyai budaya rasa memiliki dan mencintai bangsa dengan selalu aktif terlibat, bergerak dan berbaur dalam keragaman ruang publik untuk ikut menciptakan harmoni dan kemajuan bangsa yang terdiri dari keragaman identitas, untuk mencapai harmoni dan kemajuan bangsa, dibutuhkan kecerdasan public yang mampu mengemban tugas kewargaan, memahami hak dan kewajiban warga negara serta mampu menggunakan keahlian dan keterampilannya untuk kemajuan bangsa.
Saya mengutip dari sebuah survey siapakah milenial atau digital native yaitu 1 dari 3 penduduk Indonesia adalah generasi milenial, 8 dari 10 generasi milenial terkoneksi internet 62 % memiliki akun aktif sosmed, kelahiran setelah tahun 1985 enthusiastic, technological savvy, opportunistic, multitasking, initiative dan mobile.
Dan Alvara menyebut ada 9 perilaku milenial Indonesia seperti kecanduan internet, mudah berpaling ke lain hati, dompet tipis, kerja cepat, kerja cerdas, bisa apa saja atau multitasking, liburan kapan saja atau kemana saja, cuek dengan politik, suka berbagi dan tidak harus memiliki. Milenial terhubung satu sama lain melalui media sosial, akses mereka terhadap informasi dan teman semakin luas.
Selain akses untuk berkomunikasi dan bertukar informasi, mereka dapat menyuarakan pendapatnya melalui media sosial. Mereka bahkan dapat mengembangkan empati dan solidaritas sosial melalui media sosial. Mereka memiliki pondasi yang kuat untuk menjaga solidaritas dan perdamaian di Indonesia.
Milenial adalah nasionalis tanpa kepentingan politik mereka tidak tertarik dengan politik, tapi mereka tertarik komitmen dan kepedulian untuk meningkatkan dan melindungi Indonesia.
Pandangan milenial terhadap negara yang pertama yaitu 89.1% Generasi Milenial optimis terhadap keberagaman di Indonesia, beberapa aspek yang dipandang belum berjalan dengan baik adalah ekonomi, politik, penegakan hukum. Hanya 23.4% millennials mengikuti berita-berita politik dan milenial bukannya tidak peduli dengan politik, tapi cenderung tidak tertarik isu-isu politik.
Menurut FGD, mereka melihat berita politik itu berat, rumit dan membosankan, mereka lebih menyukai berita yang lembut dan yang dapat mereka ceritakan, seperti tentang gaya hidup, film, dan teknologi.
Pandangan milenial terhadap negara yang kedua yaitu kepuasan terhadap kinerja pemerintah, secara umum generasi milenial merasa puas dengan kinerja Pemerintah, aspek mana dari karya Pemerintah yang paling mereka hargai seperti, internet dan telekomunikasi 90,1%, layanan pendidikan 88,4%, layanan transportasi umum 88%, pembangunan infrastruktur 85,5%, layanan kesehatan 80,3%. Persepsi terhadap partai politik 70% milenial memilih figur, bukan parpol apa pertimbangan mereka saat memilih partai politik, empat teratas adalah seperti dekat dengan orang, program yang bagus, kemampuan untuk membawa perubahan dan bebas dari korupsi. Saya mengutip dari M. Nur Arifin Bupati Trenggalek bahwa “anak muda saat ini lebih cenderung tampil di panggung aktualisasi diri untuk pengakuan diri, daripada berada di ruang penderitaan perjuangan politik.
Pandangan milenial terhadap negara yang ketiga yaitu memberikan suara pada pemilu, faktor yang perlu dipertimbangkan saat memilih pemimpin politik seperti jujur, dekat dengan rakyat, bebbas korupsi, mampu melakukan perubahan, memiliki kemampuan yang baik, berwibawa, berjiwa pemimpin, mampu mnyelesaikan masalah, intelektual, pintar dan cerdas, pekerja keras, tegas, religious, satu kata dan perubahan, tokoh muda dan nasionalis.
Peran strategis milenial yaitu mengantisipasi serangan berita bohong atau hoax pada masa kampanye di media sosial sebagai garda terdepan dalam menghadang serbuan konten negatif di dunia maya,menyebarkan konten mendidik, memberdayakan, dan membangun karakter nasional, menjadi agen perubahan dalam membangun nasionalisme generasi muda dan tidak hanya sebagai followers tetapi menjadi trendsetter. Dapak negatif digitalisasi terhadap milenial seperti radikalisme, pornografi, narkoba, hedonism, individualism, konflik, hoax, bullying, degradasi morel dan kejahatan cyber.
Apa sih hoax yaitu kepalsuan yang sengaja dibuat untuk menyaru sebagai kebenaran Curtis D Macdougall wartawan, berdasarkan hasil survey mastel 2017 kepada 1.116 responden secara online dalam waktu 48 jam, diklasifikasi hoax sebagai berita bohong yang disengaja 90,3%, berita yang menghasut 61,6%, berita yang tidak akurat 59%, berita ramalan 14%, berita yang menyudutkan 12,6% dan ada tiga definisi yang pertama itu hoax informasi yang salah yang sengaja dibuat untuk menyesatkan dan membahayakan seseorang, sebuah grup, maupun sebuah negara, yang kedua disinformasi yaitu informasi yang salah yang sengaja dibuat untuk menutupi informasi yang sebenarnya sehingga dapat membahayakan seseorang, group, organisasi maupun sebuah negara dan yang ke tiga misinformasi yaitu informasi yang salah tetapi tidak dibuat untuk membahayakan pihak manapun.
Temuan isu hoax priode agustus 2018-9 maret 2021 sebanyak 8.018 isu hoax, temuan tersebut banyak sekali per kategori seperti di pemerintahan, kesehatan, politik, kejahtan, penipuan, internasional, fitnah, bencana alam, tentang agama, mitos, pendidikan, perdagangan dan lain-lain. Penanganan sebaran isu hoax tentang covid-19 sebanyak 1.639 yaitu di Facebook, Instagram, Twitter, Youtube dan pengajuan takedown dengan sebaran 3.605 di tindaklanjuti sebanyak 3.199 dan 113 dalam penegakan hukum.
Menurut WHO pada 29 februari 2020 selain melawan virus penyakitnya, kita juga melawan virus informasinya terkait penanganan Covid-19 dan data Kominfo menunjukan saat ini tak kurang dari 1.400 hoax lokal berbahasa Indonesia sejak awal maret 2020 hingga januari 2021, 95 diantaranya hoax tentang vaksin, jika dirata-ratakan ada sekitar 5 hoax baru per hari beredar di masyarakat.
Secara umum beberapa ahli menyatakan bahwa berita bohong atau fake news dapat beredar karena didorong oleh tiga faktor yaitu adanya motivasi atau niat untuk menyebarkan suatu berita, adanya platform atau jaringan sosial sebagai media penyebaran berita, adanya alat dan layanan untuk membuat atau mendapat berita. Empat ancaman yang terkait dengan dampak negatif dari teknologi digital.
Yang pertama intoleransi yang kedua radikalisme yang ketiga terorisme tetapi ini semua juga membawa konflik, saya ada data yaitu hasil penelitian dari yang namanya Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah di Jakarta memberikan satu hasil penelitian yang menarik, penelitian ini dilakukan untuk khususnya generasi Z di 34 provinsi dan temuannya antara lain memperlihatkan bahwa cukup banyak generasi Z yang percaya bahwa bom bunuh diri adalah jihad Islam itu 23,35% data ini, bayangkan ada 33,34% siswa yang menganggap intoleransi khususnya terhadap minoritas itu tidak masalah dan sumber informasi rujukan utama generasi Z itu 50,89% dari medsos, 48,57% dari buku dan 33,7% itu dari TV, dari radio dan sebagainya, ini memperlihatkan betapa persoalan-persoalan teknologi digital ini kalau tidak arif dan bijak menangani ini akan menimbulkan potensi konflik yang lebih besar lagi.
Dan data lain hoax merajalela dengan 800.000 situs penyebar hoax di Indonesia, hoax menimbulkan gejolak sosial termasuk demo dan kekerasan bermotif politis dan radikalis, foto hoax yang beredar di whatsapp dan media sosial yang melakukan fitnah atau menjelekan pihak lain yang menimbulkan konflik para pihak.
Edukasi melawan hoax yaitu dari hulu, tengah dan sampai ke hilir, kalau hulu yaitu peningkatan kapasitas SDM dan literasi digital masyarakatnya, kedua tengah yaitu tindakan langsung untuk mengurangi persebaran hoax melalui teknologi dan kolaborasi dengan platform media sosial, yang ketiga hilir yaitu tindakan langsung untuk memberikan bantuan teknis dalam mengawasi penyebaran konten hoax.
Tips bijak bermedia sosial yaitu jaga sikap dan beretika dalam komunikasi, jaga privasi sendiri atau tidak mencantumkan data pribadi, hindari akun akun negatif atau filter akun-akun yang diikuti atau jauhi akun-akun toxic, berpikir sebelum mengirimkan konten, selalu waspada dan jangan langsung percaya dengan konten atau crosscheck kebenaran berita dan saring sebelum sharing informasi di internet.
H. Lalu Hadrian Irfanim ST.,MSi selaku Anggota DPRD Prov. NTB juga menyampaikan bahwa pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16-30 tahun.
Kepemudaan adalah berbagai hal yang berkaitan dengan potensi, tanggung jawab, hak, karakter, kapasitas, aktualisasi diri, dan cita- cita pemuda. Pemuda saat ini adalah generation Y yang lahir sekitar antara tahun1980-1995, generasi Y dikenal dengan sebutan generasi millenial atau milenium.
Karakteristik generasi Y yaitu merupakan generasi yang tumbuh pada era internet booming, lebih terbuka dalam pandangan politik dan ekonomi, sehingga mereka terlihat sangat reaktif terhadap perubahan lingkungan yang terjadi di sekelilingnya, menyukai keterbukaan dan trasnparansi, to the point, jelas dan kongkret, menyukai kebebasan dan ruang untuk berkembang, kurang menyukai aturan yang berbelit-belit dan kurang sistematis.
Terkait dengan karakteristik yaitu pemuda generasi Y menjadi pengguna aktif teknologi seperti email, SMS, instant messanging dan lain-lain, tertarik pada isu-isu politik, ekonomi dan sosial, reaktif dalam meganggapi informasi yang diterima, berani berekspresi bahkan tidak jarang terlihat vokal menyuarakan apa yang dirasakan atau difikirkannya, membentuk atau tergabung dalam komunitas atau kelompok- kelompok yang sevisi.
Generasi Y terhadap berita hoax karena menjadi pengguna aktif teknologi maka generasi Y dapat mengakses semua informasi dengan cepat, perubahan terkait isu-isu politik, ekonomi dan sosial dapat ia pantau bahkan secara real time, reaktif dalam meganggapi informasi yang diterima menyebabkan mereka seringkali kurang objektif dalam membuat kesimpulan terhadap berita yang diterima, bahkan terlihat mudah tersulut secara emosional terkait berita yang belum tentu kebenarannya, tidak jarang serta merta menyebarkan berita tanpa melakukan filter dan cek ricek.
Generasi Y terhadap berita hoax dan radikalisme yaitu karena berita tanpa filter yang disebarkan pada komunitas atau kelompok-kelompok yang sevisi bukan tidak mungkin menjadi pemicu persepsi yang salah dalam kelompok sehingga mendorong terbentuknya paham atau aliran radikal di kalangan tersebut, gelombang radikalisme yang semakin besar dan semakin luas menjadi susah terbendung karena menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial politik, aksi-aksi kekerasan sering terjadi sebagai bentuk keinginan akan adanya perubahan atau pembaharuan sosial politik dengan cepat atau drastis.
Bagai mana untuk menanganinya yaitu pemuda dan masyarakat secara umum, harus diberikan pengertian untuk mewaspadai penyebaran paham-paham radikal mengatasnamakan agama.
Sinergitas antara lembaga negara mutlak harus ditingkatkan, membuka ruang-ruang komunikasi dalam berbagai level melalui beragam diskusi yang sifatnya informal maupun formal, mengkampanyekan bahaya hoax dan radikalisme dalam bentuk iklan yang menarik dan ringan sehingga mudah difahami dan dilakukan, memberi ruang bagi para pemuda untuk menyuarakan pikiran dan aspirasinya melalui mekanisme atau cara-cara yang santun.