Oleh : Dandy Anugrah
Paham radikal masih menjadi momok yang patut untuk diwaspadai karena bergerak secara senyap dalam rangka menggerogoti keutuhan bangsa. Radikalisme juga menjadi virus bagi demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) karena berupaya memaksakan kehendak mendirikan negara berbasis agama dengan jalur kekerasan.
Organisasi radikal memulai debutnya pada awal era reformasi. Mereka seakan tumbuh seiring dengan berjalannya demokratisasi sejak rezim Soeharto berakhir. Gerakan organisasi radikal tersebut seakan menjadi virus yang menggerogoti semangat demokrasi di Indonesia.
Baca Juga
Sebelum reformasi dikumandangkan, organisasi kemasyarakatan berpaham radikal tentu tidak dapat menunjukkan eksistensinya. Namun ketika era orde baru menjadi sejarah, gerakan radikal marak dan menyusup secara senyap dalam forum keilmuan seperti di kampus-kampus.
Tentu jangan heran jika gerakan radikal yang berimbas pada aksi teror di Indonesia, telah melibatkan golongan intelektual. Mereka pun tak ragu untuk menyatakan bahwa pancasila itu thagut.
Penganut paham radikal justru ingin menghancurkan demokrasi itu sendiri secara demokratis, sistem demokrasi yang memungkinkan siapapun untuk bersuara, lantas dimanfaatkan untuk menyebarkan paham khilafah yang sudah jelas bertentangan dengan ideologi Pancasila.
Pengamat Politik, Boni Hargens, menghimbau kepada masyarakat Indonesia agar tidak lagi menganggap remeh gerakan radikal dan manuver kelompok teroris yang makin berkembang dengan pola gerakan atau modus operandi yang unik dan makin sulit ditebak.
Hal ini dikarenakan, gerakan radikal dan teroris yang sulit dibaca polanya, maka akan sulit pula untuk diantisipasi.
Menurutnya, modus gerakan radikal dan teroris semakin unik karena terdapat korelasi antara gerakan politik dari kelompok yang ingin meraih kekuasaan dengan cara tidak demokratis dan pertumbuhan terorisme yang semakin sukar dibaca.
Padahal radikalisme merupakan paham ekslusif yang dianut oleh segelintir orang yang memisahkan diri dari sistem demokrasi dan melakukan serangan kejam dari persembunyian.
Apalagi kita semua masih ingat, bahwa setelah politik identitas menjadi arus utama yang mewarnai gerakan demokrasi pada dekade kedua abad ke-21, terdapat perluasan paham radikal dari kelompok yang dulunya menjauh dengan demokrasi kini menyatu dengan demokrasi tersebut, salah satu caranya adalah dengan berafiliasi dengan partai politik atau ormas tertentu yang memiliki kekuatan politik.
Kaum radikal seakan memanfaatkan demokrasi sebagai arena perang untuk meraih tujuan mereka yang bertentangan dengan prinsip demokrasi dan kemanusiaan universal.
Hal ini terjadi ketika banyak framing berita yang menyatakan bahwa Wiranto hanya berpura-pura ketika ditusuk oleh orang yang tak dikenal, dimana pelaku penusukan tersebut masih memiliki keterkaitan dengan organisasi berpaham Radikal JAD.
Rasa kemanusiaan pun seakan sirna ketika melihat lawan politiknya mendapatkan aksi teror, hal ini telah menjadi bukti bahwa Radikalisasi merupakan virus yang menggerogoti semangat demokrasi di Indonesia. Sehingga jangan heran apabila gerakan khilafah masih tetap ada meski organisasi berpaham khilafah seperti HTI sudah dibubarkan.
Ketika kelompok radikal menyatu dengan partai, maka paham radikalisme akan menguat, hal ini dibuktikan dengan adanya permintaan dari sekelompok orang agar bisa memulangkan habib rizieq, padahal habib rizieq pergi ke Arab atas kemauan sendiri.
Hal tersebut tentu saja berimplikasi pada kelompok radikal yang mendapatkan dukungan secara tidak langsung terhadap militansi mereka untuk melawan negara.
Inti dari tindakan radikalisme adalah sikap dan tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan dalam mengusung perubahan yang diinginkan. Kelompok radikal umumnya menginginkan perubahan tersebut dalam tempo singkat dan secara drastis serta bertentangan dengan sistem sosial yang berlaku.
Orang yang berpaham radikal biasanya memiliki keyakinan yang kuat terhadap program yang ingin mereka jalankan, tak heran jika mereka menggunakan cara kekerasan seperti merusak warung makan yang buka saat bulan puasa. Tentu saja hal tersebut adalah bentuk dari pelanggaran HAM, karena mereka semestinya sadar bahwa tidak semua orang diwajibkan untuk berpuasa, seperti musafir, ibu hamil atau non muslim.
Alih-alih yang mereka lakukan bertujuan untuk menerapkan prinsip syariat, namun mereka yang berpikiran sempit dan anti toleransi, mereka sudah tidak peduli dengan adanya HAM (Hak Asasi Manusia).
Radikal dalam konteks beragama tentu tidak dapat dibenarkan, pemahaman tentang agama yang didapat secara instan tentu akan menjadi blunder tersendiri.
Kita pun jangan sampai menutup mata, bahwa Radikalisasi masih terjadi hingga saat ini, prosesnya bahkan terkesan senyap, tidak terendus hingga kemudian melahirkan bibit yang merusak Demokrasi dan HAM.
Penulis adalah kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI)