Oleh : Gani Permata (Mahasiswa Universitas Persada Indonesia)
Saat ini dunia berkembang pesat berkat revolusi teknologi informasi. Media internet dan media sosial membawa kebebasan pers menjadi sulit dikendalikan.
Semua orang bisa menulis berita, tanpa sensor dan verifikasi. Maka munculah berita bohong (hoax) dan berita palsu (fake news) yang kemudian viral.
Baca Juga
Pelaku pembuat berita bohong dan berita palsu terkadang tidak mempertimbangkan dampak perbuatannya. Mereka hanya ingin menunjukkan dirinya eksis hingga mendapatkan likes, share, dan kunjungan ke situs berita bohong yang dibuatnya.
Namun di tengah pagelaran Pilpres 2019 ini, tampak bahwa semakin banyak hoax disebarkan dengan tujuan menyerang pasangan calon Capres dan Cawapres.
Bukan lagi visi-misi, rekam jejak dan program dari pasangan calon Capres dan Cawapres yang disebarkan melalui media sosial, melainkan ujaran kebencian, hoax dan fitnah.
Dengan banyaknya hoax yang beredar saat ini, ide dan gagasan tidak lagi menjadi faktor utama dipilihnya peserta Pilpres oleh masyarakat.
Politisi Partai Solidaritas Indonesia, Guntur Romli pun menilai masifnya penyebaran hoax sebagai penurunan kualitas demokrasi paska reformasi ‘98.
Melaui hoax, politik identitas yang bernuansa suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) dapat disisipkan untuk mempengaruhi opini publik. Termasuk hasil demokrasi, seperti Pemilu yang akan datang.
“Semakin banyak pendapat dan kritik, kualitas demokrasi meningkat. Karena ada pertempuran ide gagasan. Setelah reformasi harusnya kualitas demokrasi kita semakin baik. Namun karena hoax, menjadi semakin menurun,” kata Guntur.
Sementara Direktur Eksekutif Para Syndicate, Ari Nurcahyo berpendapat hoax membunuh demokrasi karena menebar kebohongan dan kebencian di tengah arus besar irasionalitas massa.
Hoax dan ujaran kebencian dinilai terbukti menyebabkan konflik antar kelompok dan menciptakan keresahan karena publik sulit membedakan informasi benar atau salah.
“Dalam kontestasi politik, penyebaran hoax bisa berakibat fatal karena menimbulkan polarisasi ekstrem di tengah masyarakat. Kondisi itu mengancam pembelahan relasi sosial dan merusak kerukunan serta kebersamaan,” ujar Ari.
Dalam jangka panjang hoax dan ujaran kebencian dapat menyebabkan krisis kepercayaan yang mengancam kualitas demokrasi Indonesia.
Sebab saat ini hoax dan politik di Indonesia telah menjadi paket tunggal yang tidak terpisahkan di tengah berkembangnya budaya digital.
Agenda politik akan diikuti suburnya hoax dan hal ini menjadi pertaruhan bagi demokrasi dan kebangsaan Indonesia.
Untuk memerangi hoax, pemerintah kini sedang berusaha mengatur alur informasi di media sosial agar tidak ada informasi palsu dan fitnah yang dapat menimbulkan ketegangan di masyarakat.
Usaha dilakukan melalui kerjasama dengan perusahaan platform seperti Google, Facebook, Twitter dan Youtube untuk menghentikan iklan pada portal-portal yang menebar fitnah.
Langkah lain yang dapat dilakukan dalam menghadapi hoax, yaitu literasi informasi untuk mendidik masyarakat agar selektif dan cerdas dalam menerima maupun menyebarkan informasi.
Selanjutnya adalah penegakan hukum untuk menindak pelanggar norma perundang-undangan agar menimbulkan efek jera.
Media massa juga memiliki peran penting dalam menangkal hoax. Standar etis jurnalisme tidak mungkin diturunkan hanya demi meraih lebih banyak audiens.
Sehingga media harus menyajikan pemberitaan yang faktual dan kritis untuk membantu khalayak membuat pilihan-pilihan tindakan cerdas, termasuk dalam kerangka partisipasi politik.