Oleh : Hanief Ramadhani (Penulis adalah kontributor Pustaka Institute)
Tahun 2018 silam, Indonesia dikejutkan dengan serangkaian pengeboman di 3 Gereja dan kantor kepolisian di Surabaya pada 13 – 14 Mei 2018. Ironisnya aksi tersebut dilakukan oleh satu keluarga termasuk mengorbankan remaja dan anak kecil.
Hal tersebut tentu merupakan fenomena baru dalam sejarah aksi teror di Indonesia. Kejadian tersebut jelas menjadi PR bagi aparat keamanan agar kejadian serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang.
Baca Juga
Dari informasi yang beredar Sosok pelaku Bom Bunuh Diri tersebut bernama Dita Supriyanto yang mengorbankan seluruh keluarganya tersebut ternyata sejak remaja telah terlibat dalam pengajian – pengajian kelompok ekstrem yang menganggap pemerintah itu thagut dan yang di luar kelompoknya adalah kafir. Dia juga berusaha merekrut para yunior yang sedang sedang mencari jati diri untuk masuk dalam kelompok ekstremnya.
Masuknya era reformasi menjadi pertanda dimulainya kebebasan di Indonesia, dimana kelompok – kelompok Islam transnasional semakin kencang memanfaatkan situasi tersebut untuk semakin menggaungkan ajarannya. Dimana mereka menyasar sekolah atau kampus sebagai upaya menjaring simpatisan dari para anak muda.
Survey yang dilakukan oleh PPIM UIN Syarif Hidayatullah pada akhir 2017 menunjukkan adanya potensi radikalisme di kalangan generasi z, yaitu yang lahir pada pertengahan 90-an sampai pertengahan 2000 – an. Temuannya adalah sebesar 37.71 persen memandang bahwa jihad adalah perang, terutama perang melawan non – muslim. Selanjutnya 23.35 persen setuju bahwa bom bunuh diri itu jihad Islam. Lalu yang tak kalah mengerikan 34.03 persen setuju jika ada umat muslim yang murtad maka harus dibunuh. Temuan lainnya 33,04 persen berpendapat perbuatan intoleran terhadap kelompok minoritas tidak masalah. Para generasi Z ini mendapatkan banyak materi Islam salah satunya dari Internet dan media sosial.
Kelompok radikal menggunakan internet dan media sosial dengan serius karena menjangkau warganet secara luas. Dari ratusan ribu atau jutaan yang menonton atau membaca informasi yang diunggah, dalam persentase tertentu ada yang terdoktrinasi. Dari situ, tinggal membina, membangun jejaring dan merawatnya untuk memperkuat posisi dan suatu saat dimanfaatkan bagi kepentingan kelompoknya.
Dalam aksi teror di Surabaya, terbukti terdapat sejumlah akun yang tidak mengecam atau merasa prihatin terhadap kejadian tersebut, tetapi mengembangkan teori konspirasi bahwa aksi tersebut sengaja dilakukan pihak tertentu sebagai pengalih isu atau kepentingan lain yang tersembunyi.
Para remaja dan pemuda yang kini terindoktrinasi ajaran radikal, layaknya bibit – bibit yang baru mau bertumbuh, saat ini mereka tidak menunjukkan tanda bahaya bagi masyarakat, namun semaian radikalisme yang terus dipupuk akan menjadi sangat berbahaya pada 20 – 30 tahun mendatang ketika mereka sudah dewasa, memiliki kekuasaan, sumberdaya atau akses tertentu.
Oleh karena itu pemahaman akan toleransi beragama pada generasi muda haruslah dibentuk sedini mungkin untuk menciptakan karakter yang sesuai dengan pancasila. Dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang artinya berbeda – beda tetapi tetap satu jua.
Generasi Muda di Indonesia sudah sepatutnya lebih akrab dengan Pancasila. Hal tersebut agar generasi muda khususnya para milenial agar bisa menahan terpaan ideologi global khususnya radikalisme.
Edukasi tentang ideologi pancasila untuk generasi muda juga akan lebih mengena jika dikemas dengan gaya milenial, tentunya tanpa mengurangi substansinya. Sehingga anak muda dapat menemukan formula – formula sendiri untuk memahami, meresapi dan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan kesehariannya.
Dengan memahami pancasila, maka anak muda akan dapat memilah mana yang baik bagi dirinya dan orang – orang disekitarnya, gencarnya sebaran doktrin radikalisme di sosial media tentu harus diantisipasi agar tidak meluas di kalangan anak muda.
Anak muda juga harus paham bahwa Indonesia adalah negara yang multireligi, semua agama boleh masuk, mengajak masuk agama tdak boleh memaksakan diri, apalagi merugikan dan mengganggu orang lain. Penyebaran ideologi Islam Radikal melalui jalur kampus – kampus di perguruan tinggi di seluruh Indonesia yang bercita – cita mendirikan Negara Islam Indonesia tentu sangat bertentangan dengan azas ideologi pancasila
Oleh karena itu, anak muda perlu kembali memupuk kecintaan atas ideologi pancasila, demi membendung arus radikalisme. Karena Pancasila memiliki peran dan fungsi yang jelas sekali dalam mengatur perilaku kehidupan manusia dalam bernegara dan beragama.