Oleh : Indra Kurniawan
Para pegawai yang gagal Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) tidak layak berkarir di KPK. Para pegawai yang gagal tersebut harus ikhlas melepaskan statusnya sebagai pegawai KPK.
TWK merupakan instrumen penting untuk menyeleksi calon pegawai negeri. Dari segi huku, proses pelaksanaan seleksi TWK sudah sesuai amanat Undang Undang No. 19/2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan PP No. 41/2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN, serta Peraturan KPK No. 1/2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN.
Baca Juga
Dari 1.351 pegawai KPK, yang tidak lolos TWK ada 75 orang, sedangkan yang gagal jadi ASN ada 51 orang. Sisanya yang 24 orang masih diberi kesempatan lagi untuk jadi abdi negara, dengan syarat harus mengikuti pembinaan dan pembekalan Pancasila dan nasionalisme.
Ketika 51 orang sudah gagal maka mereka tidak bisa diangkat jadi ASN. Ternyata ada kesalahan lain, selain karena gagal mengerjakan 200 soal dalam tes wawasan kebangsaan dan wawancara dengan asesor. Pertama, mereka diduga memiliki agenda politik yang meresahkan, karena sebagai pegawai KPK maupun ASN harus bebas dari kepentingan politik, sekecil apapun.
Jika pegawai KPK yang akan diangkat jadi ASN memiliki agenda politik, maka situasi akan makin panas. Terlebih banyak orang sudah ancang-ancang untuk pemilihan presiden tahun 2024. Saat anggota KPK ternyata jadi anggota parpol tertentu, maka ia bisa menyalahgunakan jabatannya untuk melakukan lobi ke pejabat tinggi tertentu.
Jika lobi itu berhasil maka ia akan kecipratan cuan, sehingga melanggar peraturan. Karena keuntungan ini tidak diperbolehkan, sebab menjadi gratifikasi bagi pegawai KPK. Sedangkan ASN dan pegawai lembaga negara tidak boleh sama sekali menerimanya, karena dikhawatirkan akan berujung pada penyimpangan aturan. Penyogokan seperti ini tentu dilarang keras oleh negara.
Sedangkan yang kedua, ada sebagian oknum pegawai KPK yang diam-diam melakukan korupsi sejak 2 tahun lalu. Korupsi yang mereka lakukan sudah terstruktur, sehingga amat bahaya, karena dari 1 orang yang melakukannya bisa ditiru oleh banyak pegawai lainnya.
Indikasi korupsi terjadi saat pegawai KPK melakukan tugas belajar (untuk kuliah S2 maupun S3, di dalam atau luar negeri). Seharusnya, menurut peraturan, mereka tidak mendapatkan gaji bulanan. Karena kenyataannya memang tidak bisa bekerja di kantor KPK, karena sedang fokus belajar. Namun untuk menunjang kehidupan, gaji diganti dengan ongkos living cost.
Akan tetapi, pada prakteknya banyak yang menerima double, yakni living cost plus gaji bulanan. Sehingga pelanggaran ini bisa merugikan negara karena uang harus dikucurkan lebih banyak, padahal harusnya untuk keperluan yang lain.
Selain kasus ini, ada pula kasus lain yang baru terungkap, yakni seorang penyidik yang ketahuan menerima uang suap senilai 1,3 milyar rupiah. Ia menerima uang itu dari Wali Kota Tanjung Balai nonaktif M Syahrial. Korupsi uang sebesar ini tentu mengguncangkan publik, karena seorang penyidik yang seharusnya melakukan operasi tangkap tangan malah menjadi incaran OTT oleh penyidik KPK lain.
Jangan sampai ada koruptor lain di KPK karena jadi sangat lucu sekaligus miris. Bagaimana ada korupsi di sebuah lembaga anti korupsi? Kejadian ini juga makin mengingatkan masyarakat bahwa keputusan untuk mengangkat pegawai KPK jadi ASN sangat tepat, karena gajinya di atas UMR. Sehingga dianggap lebih dari cukup dan menjauhkan mereka dari godaan korupsi.
Ketika 51 orang pegawai KPK tidak lolos TWK dan tersandung kasus korupsi serta punya agenda politik, maka riwayatnya nyaris tamat. Tidak ada tempat sedikitpun di KPK bagi mereka. Sebaiknya mereka melakukan evaluasi, sebelum mengeluh ke sana-sini.
Penulis adalah warganet tinggal di Sukabumi