Oleh: Chaidir Ashari
Masa pandemik yang disebabkan oleh Covid-19 di Indonesia sudah berlangsung lebih dari satu tahun. Keberadaan virus tersebut sangat berdampak secara komunal dan dirasakan oleh hampir seluruh masyarakat di Indonesia. Bukan hanya penduduk kota yang merasakan dampaknya, penduduk di desa-desa pun juga sangat berdampak.
Sebagai salah satu desa yang cukup terdampak, Desa Dermaji yang terletak di Kecamatan Lumbir, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah, memiliki cara tersendiri dalam menghadapi kehidupan di masa pandemik ini.
Baca Juga
Seperti dalam proses kehidupan masyarakat desa biasa, Desa Dermaji memiliki kekhasannya sendiri dalam memperkenalkan desanya ke masyarakat luar. Beragam kegiatan sering diadakan di Desa Dermaji sebelum masa pandemik Covid-19 menerpa Indonesia.
Tim Pengabdi dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia yang terdiri dari Maria Regina Widhiasti, Yudi Bachrioktora, Chaidir Ashari dan Ghilman Assilmi melakukan kegiatan pengabdian masyarakat di Desa Dermaji sebagai bagian dari tridharma peguruan tinggi berupa program pengabdian dengan judul “Teknologi dan Memori Kolektif: Pengembangan Museum Naladipa, Desa Dermaji, Kabupaten Banyumas”.
Melalui program pengabdian ini, ketua tim pengabdi Maria Regina menegaskan bahwa pendampingan ini diharapkan mampu menggali potensi kebudayaan desa untuk nantinya digunakan sebagai bahan dari desain ulang Museum Naladipa, Desa Dermaji.
“Pendampingan juga kami lakukan di dalam penerapan dan pemanfaatan teknologi digital pada museum,” imbuhnya. Diharapkan dengan munculnya kekhasan pada museum ini menjadikan Desa Dermaji memiliki alasan untuk dapat dikunjungi.
Museum Naladipa, sebagai Museum Desa pertama, digagas Pemerintah Desa Dermaji pada tahun 2013 dengan tujuan untuk menjadi sarana dokumentasi sejarah dan ruang belajar publik agar tidak melupakan kearifan masyarakat desa dengan berbagai pengetahuan sosial yang terlihat dari benda-benda koleksi museum. Sebagian besar koleksi Museum Naladipa merupakan benda-benda kehidupan sehari-hari masyarakat Desa Dermaji.
Dengan perkembangan teknologi di masa kini, tentu saja koleksi tersebut menjadi sangat berharga sebagai bentuk dokumentasi dan pengingat kepada generasi selanjutnya.
Keberadaan Museum Naladipa didukung dengan kemajuan teknologi terkini. Hal itu terlihat dari adanya label koleksi museum yang memanfaatkan Qr Code. Qr. Code merupakan bentuk label terkini berbasis internet yang para pengunjung dapat memanfaatkan teknologi aplikasi Qr.Code Scanner di smartphone masing-masing. Tentu saja hal ini salah satu bentuk menjaga kelestarian alam dengan meminimalisir penggunaan kertas.
Koleksi seperti “ani-ani” yang merupakan alat untuk memetik padi saat musim panen mengingatkan kita bahwa pada masa lampau, Desa Dermaji sangat ahli bercocok tanam dan menggunakan ani-ani sebagai alat panen.
Kemudian ada koleksi lainnya bernama “Kepis” yang biasa digunakan sebagai alat penampung wadah ikan ketika menjala di sungai. Ngonceng, ngobor, ngalun, marak, njenu adalah berbagai kalimat yang ditujukan untuk para pencari ikan dengan alat tradisional di sungai lepas.
Istilah-istilah tersebut berkaitan dengan tata cara masyarakat desa dalam mencari ikan. Istilah tersebut menunjukkan adanya kearifan lokal masyarakat Desa Dermaji dalam memanfaatkan alam sekitar desa.
Hal yang menarik yang dapat kita saksikan di Museum Naladipa adanya koleksi yang disebut Thing Thong Thing Breng yang merupakan alat musik tradisional desa yang sekarang sudah tidak bisa dijumpai di dalam masyarakat. Alat musik khas desa ini terbuat dari bahan bambu 1,5 ruas yang dicungkil pada posisi di tiga sisi dan dipasangkan semacam tali/senar di tiga titik tersebut.
Salah satu sisi diberikan lubang di tengah agar memberikan efek gaung suara dari tali senar tersebut. Konon, alat musik ini tidak bisa dimainkan oleh sembarang orang yang biasanya digunakan untuk mengiri lagu macapat dan lirik-lirik mantra Jawa.
“Museum Naladipa, merupakan museum desa Dermaji yang secara tidak langsung menjaga kearifan lokal desa. Nama Naladipa diambil untuk menghormati salah satu nama Kepala Desa (Lurah) Desa Dermaji pada masa awal berdirinya desa.
Letaknya masih berada di lantai 2 kantor Pemerintahan Desa, namun ada perkembangan selanjutnya, yakni rencana untuk membangun satu bangunan khusus untuk Museum Naladipa itu sendiri,” kata Kepala Desa Dermaji, Bayu Setyo Nugroho, S.Sos., M.Si.
Terdampaknya Desa Dermaji pada masa pandemik seperti sekarang ini juga turut serta dirasakan oleh masyarakat desa. Ditiadakannya kegiatan-kegiatan desa, otomatis mengurangi pengunjung yang datang ke Museum Naladipa maupun ke wisata alam Desa Dermaji.
Dengan berlangsungnya masa pandemik Covid-19 yang lebih dari satu tahun ini, Desa Dermaji mulai bangkit lagi dengan membangun lokasi wisata alam di wilayah desanya yang dinamakan Wisata Alam “Wanasuta”.
“Wisata Alam Wanasuta merupakan lokasi wisata alam yang dikembangkan Desa Dermaji dengan potensi Curug Wanasuta, taman payung, spot-spot instagramable untuk para pengunjung dan saat ini sedang dikembangkan lokasi camping ground dan outbond,” imbuh Kepala Desa Dermaji.
Saat ini, dengan masih berlangsungnya masa pandemik keberlangsungan ekonomi masyarakat desa sangat penting untuk tetap terjaga keberlangsungannya. Dengan potensi Desa Dermaji berupa kegiatan festival, museum desa dan ditambah dengan wisata alamnya, bagaikan intan yang sedang diasah dan setelah ditambahkan cincin emas akan menjadi nilai yang tak terhingga.
Begitu pula dengan Desa Dermaji yang pada masa pandemik ini masih bergerilya membangun semangat masyarakat desanya dengan memanfaatkan alam dan lingkungan serta kearifan lokal masyarakat desa.