Oleh : Alfisyah Kumalasari
Radikalisme merupakan virus yang dapat menggerogoti kehidupan berbangsa dan bernegara. Diperlukan langkah konkret untuk membendung penyebaran radikalisme yang terus berkembang, termasuk di masa pandemic Covid-19.
Paham radikal seakan sudah menjadi seperti virus yang mampu menyebar ke berbagai hal, mulai dari pendidikan seperti kampus dan sekolah, hingga dakwah di sosial media. Paham radikal ini dilatari oleh 2 faktor yakni internal dan eksternal.
Dari sisi internal, gerakan radikalisme agama di Indonesia dapat ditelusuri ke belakang sejak era awal kemerdekaan Indonesia.
Empat tahun sejak Indonesia didekralasikan, muncul pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan Negara Islam Indonesia (NII) terjadi di Jawa Barat, Aceh dan Makasar. Gerakan pemberontakan tersebut disatukan oleh misi yang sama, yakni mendirikan negara Islam berdasar pada hukum syariah.
Gerakan tersebut berhasil ditumpas dan sejumlah tokohnya terbunuh pada 1960an. Meski sudah berhasil dibubarkan, radikalisme agama yang mereka perjuangkan masih menyisakan akar-akar yang sangat mungkin bisa tumbuh hingga saat ini.
Hal ini dibuktikan dengan adanya masyarakat yang membenturkan agama dengan pancasila.
Sedangkan dari sisi eksternal, paham radikal di Indonesia berakar dari isu konflik sektarianisme dan perkembangan ideologi islamisme di Kawasan Timur Tengah. Hal ini tampak pada fenomena gerakan radikal Islam di era Reformasi.
Hal ini berbeda dengan gerakan radikal pada era tahun 1950-an, radikalisme agama yang mengemuka setelah reformasi ini sangat tampak mendapatkan sokongan dari ormas Islam transnasional seperti Jamaah Islamiyah (JI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan lainnya. Mereka gemar mengimpor isu konflik sektarianisme di sejumlah negara Islam di Timur Tengah untuk menyebarkan gagasan khilafahnya di Indonesia.
Strategi untuk menyebarkan paham khilafah di Indonesia antaralain adalah dengan mengadu domba umat Islam dan melemahkan kepercayaan masyarakat pada negara dengan menyebarkan propaganda negatif. Salah satunya adalah menganggap lambang pancasila sebagai thagut dan hormat kepada bendera merah putih adalah Bid’ah.
Di masa pandemi covid-19, bangsa Indonesia tidak sepenuhnya lepas dari ancama paham berbahaya ini, hal ini dibuktikan dengan tertangkapnya jaringan teroris di sejumlah wilayah pada masa pandemi.
Selain itu aksi teror juga masih mengemuka selama pandemi. Tercatat pada senin 1 Juni 2020 pukul 02.15 WITA. Markas Polsek Daha Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Provinsi Kalimantan Selatan. Mendapatkan serangan dari orang yang tidak dikenal.
Kronologis penyerangan terjadi ketika anggota kepolisian jaga sentra pelayanan kepolisian terpadu (SPKT) Polsek Daha Selatan melaksanakan piket Jaga Malam.
Kepala Bidang hubungan masyarakat (kabid humas) Polda Kalimantan Selatan Komisaris Besar Mochamad Rifa’i menyatakan bahwa pihaknya menemukan kain berlogo kelompok militan Islamic State Iraq and Syiria (ISIS) dan sepucuk surat wasiat.
Pihak Kepolisian juga telah melakukan sejumlah langkah dalam menyikapi insiden ini, yakni dengan melakukan olah tempat kejadian perkara, mengamankan barang bukti, mengevakuasi OTK pelaku penyerangan ke RSUD Hasan Basyri, serta berkoordinasi dengan Detasemen Khusus (Densus) 88 antiteror.
Hasil pendalaman yang dilakukan, pihak kepolisian menemukan dokumen terkait dengan ISIS, seperti syal dan id card ISIS serta selembar surat wasiat bertulis tangan dan Al-Qur’an kecil yang disimpan dalam tas pinggang.
Kelompok radikal ini rupanya melakukan pergerakan secara senyap dengan memanfaatkan momen saat pemerintah dan masyarakat sibuk berjuang membebaskan diri dari jerat covid-19.
Para radikalis tampak mengkapitalisasi isu penanganan pandemi covid-19 untuk menyerang pemerintah dan meruntuhkan kepercayaan masyarakat kepada negara.
Meski demikian, bangsa Indonesia masih memiliki ideologi yang mampu menyelamatkan Indonesia, yakni Pancasila. Ideologi ini tentunya bisa dihadirkan di tengah-tengah masyarakat melalui corak pandag, paradigma dan perilaku.
Dalam sila pertama yakni sila ketuhanan, tentu harus bisa dipraktikkan ke dalam praktik berketuhanan dan keberagaman moderat yang toleran dan ramah pada multikulturalitas dan multirelijiusitas.
Sementara pada sila kedua yakni kemanusiaan, dapat diejawantahkan ke dalam relasi sosial keberagama yang menjiwai peaceful coexistence alias kerjasama berlandaskan perdamaian.
Kedua sila ini saja semestinya sudah bisa menepis segala bentuk radikalisme. Sehingga nilai-nilai pancasila ini bisa diibaratkan seperti vaksin yang dapat mengebalkan seseorang dari paparan paham radikal.
Paham radikal sudah jelas dampak negatif dan kehancuran yang tampak di bumi Indonesia. Keteguhan hati terhadap ideologi pancasila merupakan salah satu vaksi yang ampuh dalam melindungi diri dari ancaman radikalisme.
Penulis aktif dalam Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini
Di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, UMKM menjadi salah satu pilar utama dalam upaya percepatan…
JAKARTA - Pengamat Pemilu dari Rumah Demokrasi, Ramdansyah meminta publik untuk melihat dari berbagai perspektif…
Penghapusan Utang UMKM, Peluang Kebangkitan Pengusaha Indonesia Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor…
Presiden Prabowo Subianto terus mengokohkan posisi Indonesia dalam ekonomi global melalui diplomasi ekonomi yang…
Kunjungan Luar Negeri Presiden Prabowo Hasilkan Kesepakatan Penting Untuk Wujudkan Pemerataan Ekonomi JAKARTA — Dalam…
Apresiasi Peran Pers Tingkatkan Partisipasi Pemilih dalam Pilkada Oleh: Mohammad Jasin Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)…