Oleh : Aldia Putra
Selama pandemi covid-19 kita dipaksa untuk mengurangi intensitas pertemuan secara fisik, sehingga kita semua diminta untuk melek teknologi. Alhasil munculah webinar dimana-mana. Namun demikian, masyarakat perlu sadar bahwa kelompok radikal terus menyebarkan gagasan pendirian khilafah dan paham anti Pancasila lainnya.
Penggunaan internet memang menawarkan kecepatan akses terhadap informasi apapun, jika dulu kita harus ke perpustakaan untuk mencari informasi tentang bagaimana cara budidaya tanaman hias, sekarang kita hanya memerlukan sebuah gawai yang terkoneksi internet untuk dapat mengakses informasi apapun.
Baca Juga
Kebebasan ini lah yang patut diwaspadai, karena tidak semua konten di internet dapat berdampak baik. Kecepatan akses internet ini rupanya dimanfaatkan juga oleh kelompok radikal untuk menyebarkan ideologi yang bertentangan dengan pancasila. Mereka tak segan-segan menyebarkan berita bohong dengan bumbu kebencian terhadap pemerintah.
Kita-pun perlu mengantisipasinya dengan upaya penguatan literasi agar tidak mudah terprovokasi ataupun terlarut terhadap penggiringan opini.
Tentu kita tidak asing dengan pemberitaan yang menyudutkan pemerintah yang seakan tidak berpihak kepada umat beragama ketika pemerintah melakukan pembatasan aktifitas ibadah selama PSBB diberlakukan.
Namun ketika pemerintah mengangkat wacana new normal, justru ada saja yang memunculkan provokasi bahwa pemerintah tidak melindungi warga dan segala macamnya.
Provokasi inilah yang masuk kedalam keresahan masyarakat untuk kemudian menggiring opini bahwa pemerintah telah berbuat dzalim, dan untuk menyelesaikan masalah tersebut solusinya adalah paham khilafah.
Padahal konsep khilafah sudah jelas bertentangan dengan indentitas bangsa Indonesia yang heterogen. Kita tentu sepakat, walaupun Indonesia merupakan negara dengan mayoritas masyarakat yang menganut agama Islam, bukan berarti Indonesia harus menjadi negara Islam seperti timur tengah.
Sementara itu wakil Presiden RI Ma’ruf Amin mengatakan bahwa khilafah memang identik dengan Islam. Namun ia menagaskan bahwa Islami itu tidak berarti harus menerapkan sistem khilafah.
Jika ada yang bertanya kenapa khilafah ditolak di Indonesia, Ma’ruf menjawabnya bahwa khilafah bukan ditolak namun memang tertolak. Hal ini karena ideologi khilafah memang tidak bisa masuk karena ideologi tersebut telah menyalahi kesepakatan nasional. Bagi umat Islam, kesepakatan itu haruslah dihormati. Sama saja dengan membawa khilafah di Arab Saudi, pasti akan tertolak juga karena di negara tersebut yang disepakati adalah sistem kerajaan.
Konten radikalisme di internet sudah tak terhitung jumlahnya. Radikalisme agama yang diagung-agungkan justru dapat menimbulkan perpecahan diantara sesama umat beragama dengan keyakinan yang sama atau dengan kelompok agama lain.
Paham radikal dalam menjalankan dan menyebarkan pemahamannya cenderung menggunakan cara yang tidak sesuai dengan apa yang sudah dijadikan pedoman kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Radikalisme terus mencoba mencekoki generasi bangsa dengan apa yang mereka pahami sebagai pedoman hidup maupun solusi atas permasalahan bangsa.
Yang tak kalah menjadi momok adalah ketika kelompok Islamc State of Iraq dan Syria (ISIS) menjadi momok baru yang menakutkan bagi kalangan generasi muda dengan berbagai provokasi serta ajakan kekerasan.
ISIS merupakan salah satu kelompok radikal yang memanfaatkan media sosial dalam menyebarkan ideologinya hingga melakukan perekrutan untuk ikut terlibat dalam gerakan politik penuh kekerasan di Suriah.
Propaganda ISIS inipun berhasil merekrut beberapa anak bangsa untuk terbang ke Suriah, sesampainya disana sebagaian diantara mereka memilih untuk menyobek dan membakar passportnya. Kalau sudah seperti ini mungkin mereka sudah tidak cocok tinggal di tanah air.
Lagian, pemerintah juga tidak menyuruh mereka untuk pergi dari Indonesia, mereka sendirilah yang memilih untuk meninggalkan Indonesia, karena tergiur dengan kehidupan ala khilafah.
Kalaupun mereka tetap dipulangkan ke Indonesia, bukan tidak mungkin mereka akan menyebarkan bibit paham radikalisme yang sempat mereka anut selama bergabung dengan ISIS. Tentunya jika mereka pulang ke Indonesia, siapa yang bisa menjamin akan rasa nasionalisme mereka terhadap Pancasila?
Kita harus hati-hati bahwa niat jihad mereka ke Suriah adalah penerapan feodalisme agama yang tidak relevan untuk masa kini.
Jangan sampai NKRI tercoreng hanya karena nafsu segolongan orang yang menginginkan perpecahan dan mengganti ideologi negara. Kita memiliki peran untuk terus menjaga pancasila untuk tetap menjadi ideologi negara, selayaknya para suporter Timnas Indonesia yang kerap menyanyikan lagu Garuda Di Dadaku.
Penulis aktif dalam Gerakan Mahasiswa (Gema) Jakarta