Oleh : Abi Triana
Sejak 2017 pemerintah melalui Dirjen Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM telah membubarkan Organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pembubaran organisasi HTI ini, bukan berarti mematikan aktivitas dalam melakukan penyebaran ideologi Khilafah kepada masyarakat. Sebalikya HTI tetap eksis bergerak bebas memanfaatkan media sosial.
Pengamat dari Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Ainur Rafiq mengatakan HTI masih melakukan manuver melalui penyebaran gagasan di media sosial. Mereka paham bahwa media sosial sangat penting untuk menyebar dan membentuk opini. HTI dalam menyebar gagasan Khilafah kerap mengklaim mendapat dukungan dari sejumlah tokoh besar dari luar HTI.
Baca Juga
Pilihan media sosial oleh ormas terlarang ini membuktikan bahwa kemampuan mereka untuk menggantikan peran media arus utama sebagai saluran penyebaran pesan-pesan yang bertentang dengan ideologi Pancasila. Mereka menggunakan media sosial sebagai katalis alat penyebaraan paham Khilafah untuk mendapatkan dukungan dari simpatisannya.
Fenomena ini menegaskan bahwa media sosial bukan hanya media untuk menghubungkan orang satu sama lain tetapi juga telah menjadi panggung politik baru bagi ormas terlarang ini. Kehadiran mereka di media sosial menciptakan kekuatan tawar dalam mencapai tujuan mereka. Dengan segala kelebihan media sosial, maka tidak mengherankan jika HTI akan berupaya untuk merekrut para pendukungnya.
Saat ini memang HTI tidak lagi menggunakan nama ormas yang telah dilarang pemerintah. Namun paham Khilafah yang diusungnya tetap bertebaran di media sosial seperti twitter dan facebook. Bahkan, sejak pandemi Covid-19 melanda berbagai negara termasuk Indonesia. Kelompok eks HTI justru terindikasi mengoptimalkan dakwahnya melalui media streaming seperti aplikasi zoom atau live streaming Instagram dan Facebook.
Satu hal yang paling penting adalah penggunaan media sosial oleh HTI bukan hanya untuk kalangan masyarakat umum saja, tetapi lebih memfokuskan kepada kalangan anak muda. Penyebabnya adalah karena anak muda dinilai cenderung mempercayai informasi yang mereka baca atau dengar di media sosial. Kepercayaan terhadap informasi atau pesan dari ormas terlarang ini dapat mepengaruhi perspektif mereka, semula antipati menjadi simpati.
Direktur Eksektuif Society Against Radicalism and Violent Extremism (SeRVE) Dete Aliah mengatakan HTI kini bertransformasi ke dalam komunitas-komunitas gaul dan menggunakan pendekatan yang gaul sesuai minat hobi anak muda. Jika dulu melalui Rohis atau yang identik dengan Islam, sekarang mereka menggunaikan passion anak muda, maka di situlah mereka masuk.
Media sosial yang mudah diakses oleh siapapun, menjadi cara yang efektif HTI untuk membentuk kembali pemuda Muslim yang memiliki pemahaman tentang anti Pancasila yang sekaligus bertujuan mendirikan Khilafah. Melalui kreativitas dan pesan-pesan yang selaras dengan anak muda, konten visual dan keterangan singkat mengenai HTI lebih terlihat menarik dibandingkan dengan pidato panjang dan teks panjang yang disampaiakan oleh pengkhotbah agama.
Hal ini juga menjelaskan bahwa anak muda yang tergabung dengan ormas terlarang yang kini tersebar diberbagai daerah dapat saling terhubung dan juga memungkinkan pengikut lain untuk bisa terhubung dengan kelompok ini. Kita patut mewaspadai sepak terjang kelompok ormas terlarang HTI ini, selama eksistensi ajaran dan ideologi HTI yang masih dihidupkan dan dikembangkan oleh para pendukungnya melalui media sosial, maka akan tetap menjadi ancaman bagi persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berazaskan ideologi Pancasila yang bertolak belakang dengan ideologi ormas terlarang tersebut.
(Penulis Pemerhati masalah Sosial dan Politik)