Menjaga Semangat Ramadhan Dengan Selalu Menjauhi Ujaran Kebencian
Oleh : Muhammad Yasin
Meskipun perayaan Hari Raya Idul Fitri 1443 H baru berakhir beberapa hari lalu, masyarakat diminta untuk terus menjauhi ujaran kebencian. Dengan terus menjaga semangat Ramadhan, pertikaian yang diakibatkan ujaran kebencian diharapkan dapat diredam atau tidak terjadi.
Baca Juga
Setelah merayakan Hari Raya Idul Fitri, justru sebenarnya tantangan terbesar adalah bagaimana menjalani kehidupan setelah bulan suci Ramadhan.
Pasalnya pada bulan tersebut, umat Muslim telah diajarkan bagaimana untuk bisa menahan nafsu termasuk juga amarah sehingga mampu mengendalikan diri sebaik mungkin. Namun jangan sampai seluruh kebaikan yang telah dijalani tersebut berakhir begitu saja setelah melewati Bulan Ramadhan.
Umat Muslim khususnya, juga harus mampu untuk menjadi pionir bagaimana menunjukkan keakraban berwarganegara dengan terus menjaga tali persaudaraan bahkan hingga pada mereka yang berbeda keyakinan sekalipun.
Sikap saling menghormati, menjaga tingkah laku dan juga termasuk tutur kata yang baik jangan lantas hilang begitu saja setelah melewati bulan Ramadhan.
Bulan Ramadhan mengajarkan banyak sekali hal, utamanya mengenai toleransi, bagaimana umat Muslim mampu untuk merasakan sulitnya dan susahnya orang-orang yang kurang mampu, selain itu juga terdapat ajaran untuk saling berbagi melalui Zakat Fitrah yang mengindikasikan bahwa memang harus ada kepekaan sosial.
Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa’adi menyatakan bahwa dengan kewajiban berpuasa di Bulan Ramadhan, sebenarnya di dalamnya terdapat banyak sekali nilai yang mampu untuk terus dikembangkan bahkan selepas Ramadhan. Masyarakat, khususnya Umat Muslim harus mampu untuk melepaskan diri dari eksklusifisme karena hanya akan menimbulkan pertentangan, perselisihan bahkan perpecahan.
Bulan Ramadhan yang telah bersama-sama dilewati tersebut harus mampu dimaknai sebagai bulan yang penuh rahmat dan juga kasih sayang. Nilai-nilai kemanusiaan sangat banyak terdapat dalam ajaran pada Bulan Suci tersebut. Bukan hanya sekedar hubungan interpersonal saja, namun secara pribadi setiap Muslim harus mampu untuk menghindari seluruh perbuatan yang zalim, menjauhi fitnah, hoaks apalagi penyebaran ujaran kebencian karena sa sekali tidak mengimplementasikan nilai-nilai Islam dan terlebih, mampu untuk memecah belah persatuan dan kesatuan NKRI.
Sementara itu, Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siroj berpesan kepada seluruh umat untuk tidak terlalu mudah menyebarkan fitnah serta ujaran kebencian, khususnya melalui media sosial karena ternyata itu semua akan menyebabkan amalan yang telah dilakukan menjadi sia-sia. Senada dengan hal tersebut, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo juga memberikan imbauan kepada masyarakat supaya segera menghentikan pertentangan antar kubu politik karena hanya akan menyebabkan kegaduhan saja.
Setelah bermaaf-maafan di Hari Lebaran, tentunya momentum untuk saling menjalin hubungan baik harus terus diupayakan antar komunitas yang mungkin selama ini berseberangan akibat sentimen politik. Seluruh pihak harus turut berperan aktif pula untuk menghentikan segala ujaran kebencian, berhenti saling melempar tuduhan serta melontarkan hal-hal yang provokatif.
Direktur Pascasarjana IAIN Metro Lampung, Dr. Mukhtar Hadi menyatakan bahwa Bulan Ramadhan sebagai bulan pendidikan agar seluruh umat Muslim mampu untuk semakin baik amal dan ibadahnya, semakin mulia akhlaknya, memiliki kedisiplinan dan kejujuran yang tinggi. Menurutnya, justru pembuktian terutama dari penempaan di Bulan Ramadhan tersebut adalah seperti apa perilaku setelah Ramadhan. Seluruh semangat kebaikan yang telah diupayakan semaksimal mungkin selama Bulan Suci tersebut harus terus dilakukan meski telah melewati Hari Lebaran.
Meskipun bulan suci telah berlalu, masyarakat diharapkan untuk terus menjaga semangat Ramadhan. Dengan terus mengaplikasikan spirit Ramadhan dalam kehidupan sehari-hari, diharapkan masyarakat Indonesia dapat terhindar dari rasa permusuhan/kebencian antar sesama anak bangsa.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute