Oleh : Andika Prawira (Pengamat Masalah Sosial Politik)
Kepala Penerangan Kodam Cenderawasih Kol Infanteri M. Aidi mengatakan, kelompok criminal bersenjata (KKB) melakukan serangan satu regu personel TNI dari jarak cukup jauh sekitar 100 meter dengan sistem hit and run. Penyerangan tersebut terjadi pada 24 April 2019 di halaman kantor Distrik Nirkuri.
“Mereka menyerang secara tiba – tiba kemudian menghilang melarikan diri ke dalam hutan. Pasukan TNI berusaha membalas namun belum diketahui adanya korban dari pihak KKB,” Ujarnya.
Baca Juga
Kala itu Helly dengan nomor seri HA-5179 milik Penerbad TNI AD landing dalam rangka mengantar Bahan Makanan (Bamak) kebutuhan rutin pasukan TNI yang sedang melaksanakan pengamanan Trans Papua.
Saat bongkar muat bamak pada pukul 10.45 WIT yang dilaksanakan oleh 1 regu prajurit berjumlah 10 orang yang akan menjemput bamak, tiba – tiba regu tersebut mendapat serangan dari pihak kelompok Kriminal Separatis Bersenjata yang teridentifikasi dari kelompok Egianus Kogoya.
Serangan tersebut mengakibatkan 2 orang Prajurit TNI menjadi korban, keduanya mengalami luka tembak, atas nama Serda Dedy terserempet proyektil di bagian punggung dan Prada M. Hoirul Zahman Zahri mengalami luka tembak pada betis kiri. Saat ini kedua korban sudah dievakuasi ke Timika dan dirawat di RSMM Timika untuk mendapatkan perawatan lanjutan.
Berdasarkan keterangan yang didapat dari tim medis, kedua korban tembak tersebut dalam keadaan stabil dan tidak ada ada yang mengenai organ vital.
Senada dengan kabar serupa, Dandim 1710 Mimika, juga turut membenarkan akan adanya 2 anggota TNI yang dirawat di RSMM akibat luka tembak saat menghadapi serangan dari Kelompok Kriminal Bersenjata.
“Satu orang dari Yonif Raider 321 dan satu orang Detasemen Penerbad. Secara umum kedua anggota sudah mulai membaik. Mudah – Mudahan bisa cepat sembuh sehingga bisa bergabung bersama rekannya dan melaksanakan tugas,” tutur Letkol Infanteri Pio L Nainggolan.
Insiden tersebut mendapatkan tanggapan dari Kepala Staf Kepresidenan Moledoko, yang menyoroti pemberian nama dan status penumpasan kelompok kriminal bersenjata (KKB) Papua. Moeldoko tak ingin pemberian nama kelompok kriminal membuat KKB di Papua sama statusnya dengan kelompok kriminal yang ada di kawasan Tanah Abang, Jakarta.
“Kalau kelompok kriminal bersenjata, apa bedanya yang ada di Tanah Abang, kan begitu. Ini yang perlu dipikirkan lagi,” ujar Moeldoko.
Moeldoko juga ingin agar KKB Papua disebut saja sebagai kelompok separatis. Dengan demikian, status penumpasannya dapat ditingkatkan dan tidak lagi membatasi prajurit TNI di lapangan.
“Kalau saya mengatakan tegas saja kalau kelompok separatis ya kelompok separatis, sehingga status operasinya ditingkatkan. Karena kalau kelompok kriminal malah TNI jadi santapan mereka.
TNI melihat ini kekuatan, tapi ‘wah nggak bisa gue (prajurit TNI) di depan, harus polisi’, ini masalah prajurit (di lapangan),” jelasnya.
Aksi penyerangan yang telah dilakukan oleh KKB tersebut tentu menjadi ancaman serius terhadap kedaulatan NKRI dan jalannya program pembangunan di Papua yang tengah digalakkan oleh pemerintah.
Masalah peredaran senjata ilegal yang digunakan oknum tidak bertanggung jawab, tentu menjadi PR tersendiri bagi intelijan Indonesia. Hal ini tentu harus diusut darimana asal usulnya KKB bisa mendapatkan senjata untuk melancarkan penyerangan. Penyelundupan senjata terkesan sangat mudah.
Sehingga kelompok separatis seperti KKB, Gampang mendapatkan senjata standar militer di mana – mana.
Mungkin akan muncul pertanyaan, kenapa kelompok yang sering menebar teror tersebut hanya diberi label kelompok kriminal bersenjata? Pertanyaan retoris ini juga sempat dilontarkan oleh Moeldoko.
Padahal peledakan bom di gereja sudah banyak yang menyebutnya sebagai aksi terorisme, sedangkan di Nduga, pasukan Egianus Kogoya yang tak segan – segan menembak warga sipil, mereka hanya disebut kelompok kriminal bersenjata?
Merujuk pada KBBI, teroris adalah “orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik,”. Tentu kita sepakat, bahwa apa yang terjadi di Nduga sudah memenuhi definisi terorisme seperti yang dimaknai dalam UU Antiterorisme Nomor 5 Tahun 2018.
Tentunya aksi penyerangan di Nduga, Papua, sangat patut jika tindakan keji ini tidak lagi disebut sebagai tindakan dari kelompok kriminal bersenjata, namun kita sebut sebagai terorisme dan dilakukan oleh kelompok bersenjata.