Kenalkan KUHP Baru, Pemerintah Terus Lakukan Sosialisasi di Sejumlah Wilayah di Indonesia
Oleh: Dewi Nur Fitriana
Setelah 77 tahun merdeka, Indonesia akhirnya memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nasional buatan anak bangsa yang terdiri dari 37 Bab, 624 Pasal, dan 345 Halaman yang terbagi dalam dua bagian, yakni bagian Pasal dan Penjelas.
Baca Juga
Pasca disahkannya pada 6 Desember 2022 lalu, KUHP akan mulai berlaku efektif tiga tahun terhitung sejak diundangkan atau pada tahun 2026.
Meski sudah disahkan oleh DPR RI dan telah diundangkan pada 2 Januari 2023 sebagai Undang-Undang (UU) No. 1/2023, pemerintah tetap terus melakukan sosialisasi KUHP di sejumlah wilayah di Indonesia selama masa transisi atau adaptasi (tiga tahun ke depan) sampai UU ini benar-benar efektif digunakan.
Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) menggelar acara sosialisasi KUHP baru di Hotel Patra Semarang, Jawa Tengah, pada 1 Februari 2023. Sosialisasi ini merupakan bentuk penyampaian informasi mengenai isi dari KUHP baru.
Tujuannya adalah memberikan pemahaman dan edukasi terkait pedoman pemidanaan khususnya ketika dalam menetapkan suatu putusan.
Sosialisasi akan terus dilakukan kepada aparatur penegak hukum dan pengadilan. mengingat merekalah yang nantinya akan lebih sering memedomani KUHP baru tersebut. Tidak hanya itu, pihaknya juga menjamin bahwa pemerintah akan melakukan sosialisasi kepada masyarakat melalui kampus-kampus.
Guru Besar Hukum Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H., mengatakan, salah satu perbedaan antara KUHP baru atau nasional dengan KUHP yang lama atau Wetboek van Strafrecht (WvS) adalah sudah munculnya pembahasan beserta naskah akademiknya dalam bab atau buku tindak pidana, pertanggung jawaban pidana, serta pidana dan pemidanaan. KUHP nasional ini merupakan bentuk pembaruan atau update dari yang lama dengan mengadopsi atau mengacu KUHP WvS.
Artinya, dalam KUHP nasional sebagian mirip dengan KUHP lama, tetapi salah satu yang baru adalah munculnya pembahasan tindak pidana dengan perantara alat yang sebelumnya tidak ada.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Pidana UI, Prof. Harkristuti Harkriswono mengatakan beberapa pasal yang menjadi perhatian publik dalam KUHP baru ini diantaranya berkaitan dengan Living Law (hukum adat), aborsi, perzinaan dan kohabitasi, serta penghinaan terhadap pimpinan negara atau lembaga negara.
Pada saat penolakan kalangan mahasiswa yang mana mayoritas berasal dari para anak muda berkaitan perumusan dan rancangan KUHP ini pasal yang mereka soroti adalah perzinaan atau kohabitasi.
Satu lagi yang menarik adalah respon publik terkait pasal penghinaan kepala negara atau lembaga negara yang dianggap beberapa pihak dapat mengancam kebebasan berpendapat. Menurutnya, Presiden Joko Widodo sebenarnya pada saat berdiskusi justru tidak pernah mempermasalahkan perihal tersebut.
Terkait dengan penghinaan terhadap pimpinan negara atau lembaga negara, Presiden Jokowi bahkan menyampaikan tidak masalah adanya penghinaan, tetapi kami dari tim perumus KUHP baru pada saat itu tetap menyarankan adanya dasar hukum tidak hanya untuk presiden saat ini tetapi presiden selanjutnya sebagai simbol kepala negara yang tidak boleh dilecehkan.
KUHP yang baru disahkan ini juga mengatur alternatif sanksi selain penjara, yaitu denda pengawasan dan kerja sosial, serta perumusan tindak pidana secara jelas, ketat, dengan penjelasan yang cukup untuk menghindari multitafsir demi kepastian hukum yang mengedepankan keadilan dan kemanfaatan.
Oleh karena itu, semua pihak diharapkan berkontribusi dalam membantu sosialisasi KUHP baru dalam bentuk pelatihan dan lain sebaginya. Kemudian, penerapan sosialisasi ini seharusnya tidak akan mengganggu kepentingan masyarakat, pelaku usaha, wisatawan, maupun investor asing selama penegakan hukumnya telah sesuai dengan tujuan dari pembaruan hukum pidana melalui KUHP sebagai cerminan paling jujur dari peradaban hukum bangsa Indonesia.
Sementara itu, Guru Besar Universitas Krisnadwipayana, Prof. Indriyanto. mengatakan tindak pidana secara umum bersifat sangat dinamis mengikuti perkembangan dan dinamika global, regional, hingga nasional. Oleh karenanya perlunya pembaruan hukum pidana di Indonesia melalui KUHP nasional ini. Prof. Indriyanto menyayangkan pemahaman dari beberapa pihak terhadap KUHP nasional yang tidak secara mendalam, utuh dan rinci.
Pemahaman yang rendah dan mudah termakan isu ini yang akhirnya memunculkan mis-komunikasi dan mis-informasi publik akan pemahaman secara utuh substansi pasal-pasal yang diatur dalam KUHP.
Sudah sepatutnya kita mengapresiasi pengesahan KUHP karena merupakan momentum bersejarah dari eksistensi regulasi KUHP. Disisi lain, KUHP ini baru tidak akan ditemukan pemidanaan terhadap hal-hal yang dikawatirkan masyarakat terkait pasal-pasal kontroversial.
Waktu tiga tahun ini sangat memadai bagi diskusi dan sosialisasi publik terhadap KUHP. Sebaiknya hal ini dimanfaatkan dan dicermati oleh semua pihak agar dapat lebih memahami makna sesungguhnya dari KUHP.
Selain UU hukum pidana yang sah, KUHP baru juga harus menjadi pedoman yang bersifat dinamis bagi rakyat Indonesia. Misalnya, pencegahan dan antisipasi kemungkinan potensi kerawanan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia tergantung dari seberapa kokoh negara menjaga dan mengawal UU KUHP agar tetap efektif dan berdaya guna bagi kemaslahatan masyarakat Indonesia.
*) Penulis merupakan jurnalis dari Nusa Bangsa Institute.