Oleh: M. Afthon Lubbi
Berpikir ilmiah, berparadigma saintifik, atau apapun istilahnya, adalah menguji kebenaran segala hal dengan segala perangkat realitas yang dimiliki oleh manusia. Tidak ada yang otomatis lebih benar atau lebih salah karena sesuatu dianggap saintifik dan lainnya dianggap tidak saintifik mengikuti standar-standar tertentu.
Pengalaman atau pengetahuan manusia di belahan bumi bagian Barat dan Timur, atau di bagian manapun, itu setara di hadapan cara pandang ilmiah. Segalanya harus diuji secara terus-menerus, tidak ada yang lebih benar atau lebih salah.
Teori yang ditemukan ratusan tahun lalu, bisa digugurkan oleh teori baru hari ini. Teori hari ini, akan ditumbangkan oleh teori baru di masa mendatang. Bisa jadi, yang hari ini dianggap tidak ilmiah, akan dianggap ilmiah di masa mendatang.
Teori geosentris misalnya, bumi sebagai pusat tata surya. Teori Claudius Ptolemeus (abad ke-2 M) yang bertahan selama 14 abad di Yunani, ditumbangkan oleh teori heliosentris. Menurut pengamatan Nicolas Copernicus (abad ke-14 M), matahari adalah pusat tata surya dan bumi hanyalah satu planet di antara planet-planet di semesta yeng mengelilingi bintang matahari. Teori ini diperkuat oleh Galileo Galilei (abad ke-15 M). Ia mendukung teori Nicolas dengan observasi menggunakan teropong bintang yang ia temukan.
Sayang nasibnya berbeda, Galileo dipenjara oleh Gereja yang memegang otoritas ilmu pengetahuan. Nicolas Copernicus bukan tidak ditolak Gereja, ia wafat setelah bukunya tentang teori heliosentrisnya diterbitkan. Galileo meneruskan teori Nicolas dan menanggung resiko karena melawan keyakinan otoritas negara.
Menariknya, konsep (bukan teori) heliosentris sudah muncul di peradaban kuno India pada abad ke-7 sebelum tahun Masehi, 9 abad sebelum teori geosentris dikemukakan oleh Ptolemeus di hadapan filsuf-filsuf Yunani Kuno, 24 abad sebelum Copernicus dan Galileo mengembangkan ilmu astronomi.
Konsep heliosentris dari peradaban India Kuno itu, tentu tidak memenuhi kriteria ilmiah jika menggunakan standar ilmiah August Comte (abad ke-18 M) yang menolak penjelasan supranatural, metafisik, dan mengharuskan ilmu pengetahuan mengikuti kaidah ilmiah yang mereka yakini, yaitu harus terukur (measurable) dan dialami (experienced). Comte meyakini, bahwa era teologis dan metafisis sudah lewat dan tidak berlaku lagi. Sekarang adalah era positivistik, percaya kepada hal yang supranatural, ghaib, metafisik, adalah cara pandang yang tidak ilmiah, tidak saintifik.
Padahal, cara pandang positivistik seperti itu juga belum final. Ia baru berusia 3 abad, dari 18 ke 21. Geosentris runtuh setelah 14 abad. Bayangkan, 1400 tahun umat manusia salah memahami, kemudian kembali kepada pemahaman manuaia 2400 tahun sebelumnya yang tidak saintifik. Belakangan, di dunia Timur, cara pandang saintifik seperti ini memunculkan gelombang atheis anak-anak muda, tidak percaya adanya Tuhan karena tidak bisa diukur, tidak bisa diindra, dan tidak bisa dialami. Percaya Tuhan adalah kepercayaan kuno orang-orang bodoh, tidak saintifik. Siapa yang pernah lihat Tuhan?
Konsep dan teori saintifik itu harus terus dan menerus dikembangkan. Tidak ada yang lebih benar atau lebih salah di hadapan paradigma ilmiah, karena manusia terus mencari kebenaran sesuai dengan realitas yang meruang dan mewaktu. Teori hari ini bisa berubah besok, lusa, atau ratusan tahun mendatang. Sebuah pandangan, konsep, atau teori, tidak ada yang mutlak dan final selama masih di atas bumi. Jika menjadi hal yang mutlak, ia justru berpotensi menjadi otoriter dan menghambat perkembangan ilmu pengetahuan. Jika tidak mau dikritik, paradigma seperti itu justru akan menindas paradigma-paradigma lain. Padahal baru seumur jagung, tapi sudah besar kepala, merasa sudah menjadi paradigma ilmu paling benar.
Di bulan Ramadhan ini, mari kita bermuhasabah diri dan bertafakkur. Mengapa Tuhan yang tak pernah kita lihat itu memerintahkan kita untuk berpuasa seperti orang-orang terdahulu berpuasa? “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, seperti orang-orang sebelum kamu juga diwajibkan berpuasa”. (Al-Baqoroh:183, diwahyukan kepada Nabi Muhammad, abad ke-7 Masehi).
Para ulama dari generasi ke generasi berusaha menafsirkan ayat ini, mengkajinya dengan mengkomparasikannya dengan ucapan Nabi. Maka lahirlah beranekarupa pemahaman indah tentang perintah puasa beserta segala yang terkait dengannya.
Berkat para ulama pewaris Nabi itulah hari ini kita bisa khusyuk, taat, dan patuh, karena memahami pentingnya berpuasa. Tanpa kesungguhan mereka dalam menyampaikan perintah Tuhan yang tidak pernah kita lihat itu, mungkin hari ini kita termasuk golongan orang-orang yang tak kenal puasa Ramadhan. Apa itu puasa? Perintah siapa? Kok mau-maunya kita diperintah oleh sesuatu yang tidak pernah kita lihat? Kok saya ikut-ikutan orang-orang bodoh yang percaya kekuatan di luar kekuatan manusia?